Tradisi Panen Lebah Madu di Amfoang

BERITA128 Dilihat
Oleh Simon Seffi, S.Pd**

Madu Amfoang yang terkenal dengan manisnya, punya cara dan tradisi sendiri untuk dipanen oleh masyarakat di daerah tersebut.  Berikut saya bagikan untuk anda sesuai apa yang ditulis oleh seorang Guru dari Amfoang. Sinon Seffi, S.Pd. Semoga bermanfaat. !

Hingga hari ini, Madu masih merupakan salah satu hasil hutan yang menjadi ikon Amfoang, wilayah bekas swapraja Amfoan yang terletak di ujung timur wilayah kabupaten Kupang, Propinsi NTT dan berbatasan langsung dengan negara Republik Demokrat Timor Leste.
Madu Amfoang memiliki rasa yang khas, mungkin karena sari madunya diambil dari bunga berbagai jenis tumbuhan tropis di Amfoang. Oleh masyarakat Amfoang, madu disebut onij atau oni haug (oin hau). Oni artinya gula, sedangkan haug (hau) maksudnya pohon.
Menurut pengalaman dan pemahaman masyarakat Amfoang yang diwarisi secara turun – temurun, Madu Amfoang dibagi menjadi 3 jenis menurut waktu panen dan jenis sari madunya, yaitu; oni tolo, oni hu’el, dan oni manas.
Oni tolo adalah sebutan untuk madu yang dipanen pada akhir Desember hingga awal Januari. Tolo’ artinya tunas atau kuncup. Mungkin karena biasanya berbagai jenis tumbuhan mulai mengeluarkan tunas baru saat panen sehingga di sebut oni tolo. Pada madu jenis ini, proses dimulai dari lebah bersarang hingga panen membutuhkan waktu sekitar 1 hingga 1 bulan lebih. Sari madu untuk oni tolo berasal dari campuran segala jenis bunga, didominasi sari bunga asam dan tuba/tufel.
Oni hu’el dipanen pada akhir Mei hingga akhir Juni. Sari madunya berasal dari kayu putih (Eucalyptus sp) yang disebut hu’el dalam bahasa Amfoang dan campuran sari dari berbagai jenis rumput. Berdasarkan pengalaman para pemanen/pemotong yang disebut ahelit (e bunyi elang), jika dipanen tepat waktu, penghasil madunya didominasi oleh sari bunga pohon hu’el sehingga rasanya sangat manis dan kandungan airnya sangat sedikit sehingga madunya kental dan agak pekat. Madu jenis ini juga memiliki aroma yang wangi dan khas. Jika dipanen terlambat, oni hu’el sudah tidak memiliki aroma wangi dan tidak terlalu kental. Lebah membutuhkan waktu 3 hingga 4 bulan dimulai dari waktu bersarang hingga menghasilkan madu jenis ini (oni hu’el).
Sedangkan oni manas dipanen pada pertengahan bulan September hingga awal bulan Oktober. Rasa madu jenis ini agak asam karena sari madunya dominan diambil dari sari bunga pohon kusambi. Madu jenis ini lebih encer dibanding oni tolo dan oni hu’el. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan madu dihitung dari saat lebah mulai bersarang hanya 1 bulan, sebab lebah pekerja mengambil sari madu pada siang dan malam hari saat bulan bersinar.
Hanya oni hu’el yang paling kental, aromanya wangi dan rasanya lebih lezat dibanding 2 jenis yang lain. Hasil penelitian beberapa pihak menunjukkan bahwa kandungan air dalam madu amfoang hanya sekitar 16 – 17 % dan debu 0,6 %. Padahal, standar ekspor madu dunia tidak boleh lebih dari 18 % kandungan air dan 1 % kadar debu. Sehingga, Madu hutan yang berasal dari Amfoang diakui sebagai madu yang kualitasnya sangat baik menurut standar ekspor dunia.
Pohon yang biasa dihinggapi lebah disebut Pohon Fanik. Jenis pohon fanik yang biasa dihinggapi lebah, dalam bahasa setempat, antara lain pohon bonak, besak, nekug, nunuh, nekel/kapuk hutan, nisa, angkaij, aklaog, dan hu’el (kayu putih). Tidak semua pohon dari jenis pohon ini dihinggapi lebah. Hanya di lokasi tertentu saja. Di pohon kayu putih (hu’el) biasanya paling banyak hanya ada 2 sarang lebah. Lebah lebih banyak bersarang di pohon Nisa, Nekel, dan Nunuh. Bisa sampai 200 sarang atau lebih tergantung dari besar pohonnya.
Peralatan yang digunakan dalam pemotongan/panen lebah antara lain: 
1) Lug/nug, merupakan alat yang digunakan untuk mengasapi lebah agar lari meninggalkan sarangnya sebelum dipotong/diambil. Lug/nug dibuat dari sabut kelapa yang diikat bercampur dengan batang rumput suf muti atau batang rerumputan lainnya. Lug/nug dibentuk memanjang lebih dari 1 meter dengan diameter rata – rata sebesar paha orang dewasa. Tali diikat di kedua ujung lig/nug agar dipanggul ahelet saat naik ke pohon. 
2) Pisau potong.
3) Kola onij, sejenis bakul yang dipasangi tali di 4 titik. Sekarang sudah ganti dengan ember yang dipasangi tali. Digunakan untuk menampung sarang lebah yang akan diturunkan. Juga digunakan untuk mengirimkan lug/nug kepada ahelet jika lug/nug yang digunakan di atas pohon sudah habis terbakar. 
4) Tali, digunakan untuk menurunkan kola onij yang berisi sarang lebah. Biasa aktifitas ini disebut a’nono (sistem katrol manual). 
5) Anabat, tali kecil yang digunakan untuk mengikat oni mauf, bagian sarang lebah yang berisi larva.
Biasanya, sementara yang lainnya menyiapkan peralatan potong/panen, ada kelompok lain yang ditugaskan memasang tangga dan membersihkan rerumputan di sekitar pohon fanik. Dulu, sebelum agama dikenal, semua akan berkumpul dan melakukan ritual adat sebelum tangga dipasang.
Ada semacam kepercayaan, orang pertama yang memasang tangga hingga mendekati dahan utama pohon biasanya menjadi figur penting yang dapat mempengaruhi komunikasi dengan dewi lebah saat proses pemotongan/panen madu berlangsung. Selain Dia, orang yang akan melakukan basan, syair adat, sebelum para ahelit naik ke atas pohon juga menjadi figur kunci. Ahelit juga dituntut tidak boleh menyimpan masalah, kebusukan hati, dan hal sejenis lainnya yang berkaitan dengan hubungannya dengan sesama. Keyakinan semacam ini masih tetap mengakar, sebab hingga saat ini, lebah masih dianggap sebagai saudari perempuan, feto naij/feot naij, dalam kehidupan sosial masyarakat Amfoang yang menginginkan kemurnian hati.
Jika pemasang tangga termasuk yang basan memiliki hati yang tidak baik, misalnya suka selingkuh, suka mencuri, atau sementara menyimpan kepahitan hati dengan sesama saudara, feot naij di atas pohon tidak akan ramah. Sengatannya akan terasa menyakitkan, hingga meresap ke dalam sum – sum dan tidak akan cepat berlalu rasa sakitnya. Bahkan, khusus ahelit yang hatinya tidak baik, selain sengatannya menyakitkan, resiko kecelakaan hingga meninggal tidak akan jauh darinya. Ada semacam lelucon yang masih ada hingga saat ini, jika ada ahelet yang enggan untuk naik pada musim panen lebah, bisa jadi Dia punya selingkuhan.
Karena itu, hele onij (panen madu) dianggap sebagai ritual yang sakral. Sebab, feot naij menuntut kemurnian hati. Feot naij juga tidak suka wewangian. Makanya ahelet dilarang menggunakan sabun mandi ketika mandi selama beberapa hari sebelum hele onij. Wewangian seperti parfum atau minyak rambut juga menjadi barang pemali buat ahelit.
Bukan berarti feot naij tidak akan menyengat sama sekali jika ahelet memiliki hati yang murni. sengatan feot naij tetap dirasakan para ahelit. Hanya, dirasa tidak menyakitkan jika dibanding dengan yang hatinya tidak bersih terutama pada lelaki yang memiliki selingkuhan. Selain itu, rasa sakitnya tidak akan bertahan lama. Kadang – kadang, bahkan ada ahelet yang merindukan sengatan lebah karena badan menjadi lebih segar setelah itu.
Proses Panen (Heli Onij) dimulai ketika masing – masing ahelit mulai menaiki pohon. Yang mengikat tangga mendapat giliran pertama. Di atas pohon, selain ahelit (pemotong/pemanen), juga ada anonot, petugas yang khusus untuk menurunkan oni mauf dan oni nakaf untuk diterima oleh yang bertugas di bawah pohon.
Masing – masing ahelit mulai berjalan atau merayapi dahan pohon yang ada sarang lebahnya.
Biasanya, setiap ahelit akan memastikan kelenturan pohon dengan cara menekuk ranting sebesar lengannya sebelum mulai bergerak ke arah sarang lebah. Jika ranting tersebut patah, ahelit tidak akan berani merayap hingga ujung dahan yang kecil. Selain itu, goyangan dahan juga diperhatikan ahelet. Ketika dahan bergoyang atas bawah saat ahelit bergerak mendekati ujung, artinya dahan yang dilewati tidak lentur dan gampang patah. Jika demikian, sarang lebah yang ada di ujung dahan akan dibiarkan. Sebaliknya, jika dahan bergerak kiri kanan, kelenturannya tidak diragukan sehingga sarang yang terletak diujung dahan juga akan dipanen.
Ahelet akan memulai mengasapi lebah dari sarang pertama yang dilaluinya. Sarang lebah diasapi satu persatu dimulai dari yang paling dekat cabang utama hingga ujung dahan. Lebah akan meninggalkan sarangnya begitu diasapi. Setelah semua sarang lebah dalam dahannya telah diasapi, ahelet mulai melakukan pemotongan sarang lebah.
Umumnya, sarang lebah berukuran paling kurang sekitar 80 cm x 50 cm. Bagian sarang lebah yang biasa dipotong ada 2 bagian, yakni oni mauf dan oni nakaf. Oni mauf merupakan bagian yang berisi larva lebah, terletak dibagian bawah. Jika larva dalam oni mauf sudah tua, dibuang saja. Jika larvanya masih kecil seperti ulat, akan diambil untuk dimakan.
Oni nakaf sendiri merupakan bagian sarang lebah yang berisi madu. setelah madunya diperas habis, sisanya digunakan untuk diolah sebagai lilin. Ada bagian tertentu di oni nakaf yang disebut palel, merupakan tampungan sari makanan yang belum terpakai sehingga belum ada madunya. Bagian ini biasanya dibuang. Palel sendiri adalah kumpulan sari makanan yang menjadi makanan lebah. Jika palelnya habis, madu yang sudah dihasilkan akan dimakan kembali oleh lebah hingga madunya habis dan lebah akan terbang/berpindah ke tempat lain. Makanya lebah mesti dipanen sebelum palelnya habis.
Pemotongan dimulai dari sarang yang paling ujung atau paling terakhir diasapi. Oni mauf yang akan dipotong lebih dahulu, kemudian digulung untuk diikat menggunakan tali kecil. Setelah oni mauf dipotong dan digantung didekat oni nakaf, kola onij akan diikat menggunakan simpul tertentu tepat di bawah oni nakaf yang mengandung madu. Oni nakaf segera dipotong dan ditampung di kola onij. Begitu selesai, tali kola onij yang terikat di dahan dan terhubung dengan tali utama ditarik oleh ahelet menuju sarang lebah berikut hingga sarang terakhir di dekat cabang utama. Lalu, kola onij ditarik menuju anonot untuk diturunkan menggunakan tali dan kola onij besar atau ember besar pada yang bertugas di bawah pohon. Kadang – kadang, oni mauf dari semua sarang di dahan yang sama dipotong lebih dulu dan diantar ke anonot baru oni nakaf dipotong. Tetapi khusus pemotongan oni nakaf, harus selalu dimulai dari sarang diujung dahan hingga yang dekat dengan cabang utama. Ini dimaksudkan agar ahelet tidak melewati dahan yang sudah terlumuri madu sebab sangat licin. Ahelet yang biasanya lebih tahu teknisnya seperti apa.
Ada pohon tertentu yang lebih cocok heli onij dilakukan pagi hari atau bulan terang. Biasanya ini diketahui berdasarkan pengalaman. Jika dipotong pada pagi hari, ada satu petugas lagi yang namanya Ana’ Lu Bokog atau pemegang lug induk. Lug yang dipegang olehnya adalah lug yang paling besar yang diameternya setengah meter dan memiliki panjang 1 meter lebih. Dia hanya duduk di dahan yang diperkirakan terletak di tengah – tengah pohon dan memudahkan pengaturan asap agar asapnya menyebar seimbang diantara ahelet.
Di bawah pohon, oni mauf yang diterima akan dikumpulkan untuk dibagi – bagi setelah heli onij selesai. Sedangkan oni nakaf akan diremas kuat, seperti meremas santan dari kelapa, sehingga madunya keluar. Proses meremas dilakukan dalam ember. Madu yang tertampung dalam ember kemudian dimasukkan dalam botol atau jerigen yang ada. Ampas dari oni nakaf bisa diolah lebih lanjut menjadi lilin.
Sejak ahelet mulai menaiki pohon tadi, lantunan syair yang kami sebut nel sudah memenuhi langit malam. Nel dinyanyikan dengan irama dan ritme tertentu, hampir seperti lagu rap tetapi lebih lambat dan intonasi suaranya mendayu – dayu.
Nel yang dinyanyikan dalam proses heli onij dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan isi syair dan tujuannya. Yakni nel masi’uf jika isi syairnya berisi saling olok dan saling sindir antar ahelet ataupun antara ahelet dengan yang di bawah pohon. Misalnya ada ahelet yang ingin mengolok – olok rekannya yang tidak bisa naik pohon, maka dia melantunkan nel masi’uf.
Jenis nel yang lain adalah nel oe oni. Isi syairnya berupa puja – puji kepada lebah sebagai feot naij agar lebah tidak berpindah tempat dan kembali pada musim panen/potong kali berikut. Selain itu, nel juga dimaksudkan untuk mengimbangi rasa sakit akibat sengatan lebah sekaligus membangkitkan moral ahelet bahwa proses hele onij yang sementara dilakukan merupakan ritual yang sakral dan terhormat. Sebab, hanya pemilik sah tanah ulayat termasuk pohon fanik yang ada lebahnya yang melakukan nel saat heli onij. Para pencuri madu biasanya tidak akan melakukan nel. Mereka heli onij diam – diam. Jika pemilik pohon fanik tahu dan mengancam akan melakukan sumpah adat no’en fanug baru mereka akui dan dikenai denda adat. Biasanya para pencuri akan mencuri madu di pohon fanik yang jarang dipanen oleh tuannya.
Dalam kehidupan sosial masyarakat Amfoang, pohon fanik melambangkan kehormatan dan kekuasaan. Setiap suku asli, terutama yang merupakan amaf (pimpinan naidjuf/klan), pasti punya pohon fanik. Dalam setiap perjanjian adat antara suku asli dengan suku pendatang (misalnya dalam perjanjian adat dengan warga dari nonot Nebenu di Amfoang Barat Daya, atau nonot Oenames dengan Kaesmetan di Amfoang Timur), ada kalimat dalam tuturan adat (basan) yang selalu menekankan bahwa suku pendatang dilarang keras untuk melihat ke atas yang memiliki makna bahwa yang bersangkutan tidak boleh mengklaim kepemilikan terhadap pohon fanik sebagai sentrum kepemilikan lahan ulayat. Dalam tuturan adat biasa disebut mes ka nabe fa he ho mail mekem sae yang berarti ‘kamu tidak boleh melihat ke atas’. Pada posisi ini, nel sekaligus menunjukkan pengakuan bahwa yang heli onij merupakan pemilik ulayat yang sah.
Baca Juga  Yupiter Loinati Desak Pemkab Bayar TPP Guru

**Penulis Adalah Putra Amfoang, Guru Matematika di Fatuleu Barat

Tinggalkan Balasan