Cerita Rakyat: Asal Usul Nama Barate
Pada zaman dahulu, sebelum daerah Kupang dikenal seperti sekarang, terdapat sebuah pantai sunyi di wilayah Desa Poto, Kecamatan Fatuleu Barat. Pantai itu belum memiliki nama yang dikenal luas. Hanya para nelayan dan masyarakat sekitar yang sesekali melewati tempat itu.
Suatu hari, sebuah kapal asing berlayar melintasi laut luas dan akhirnya bersandar di pantai tersebut. Kapal itu bukan kapal biasa—muatannya sangat tinggi, penuh dengan barang-barang dan peralatan. Tumpukan muatan itu menjulang, hingga membuat orang-orang di daratan terheran-heran.
Para awak kapal sebenarnya punya rencana besar. Mereka ingin membangun kota atau sebuah peradaban di pantai itu. Selama beberapa hari, mereka turun ke darat untuk melihat keadaan sekitar. Namun setelah melakukan survei, mereka menemukan bahwa daerah itu tidak memiliki sumber air yang cukup. Padahal, air adalah syarat utama untuk membangun kehidupan dan kota yang besar.
Karena itu, kapal asing tersebut memutuskan melanjutkan pelayaran. Mereka meninggalkan pantai itu dan menuju ke pantai lain Pantai Kopan / Lahi – Lai Bissi Kopan, kini dikenal dengan nama Pantai Tedis, tempat berdirinya Kota Kupang sekarang.

Masyarakat sekitar yang menyaksikan peristiwa itu tidak melupakannya. Mereka masih teringat jelas bagaimana kapal besar itu bersandar dengan muatan yang begitu banyak dan bertumpuk-tumpuk. Dalam bahasa setempat, mereka menyebutnya “Bau/Baut a’ Latas” atau “Baut/ Bau a’ Latan”, yang berarti barang atau muatan yang bertumpuk.
Seiring berjalannya waktu, penyebutan itu mengalami perubahan bunyi. Dari “Bau a Latan” / Bau a’ latas, perlahan-lahan berubah menjadi Barate / Barati. Sejak saat itulah, daerah pantai itu dikenal dengan nama Barate, sebuah nama yang lahir dari kisah kapal asing yang pernah singgah, walau akhirnya tidak menetap. Pantai Barate ada dalam Wilayah Desa Poto, Kecamatan Fatuleu Barat.
Demikianlah asal-usul nama Barate, cerita yang masih hidup di kalangan masyarakat, Kecamatan Fatuleu Barat, Kabupaten Kupang.
Cerita ini dituturkan oleh Bapak Bernardus Pitay, seorang yang mewarisi kisah lama tentang sejarah dan budaya.








