GURU TAK BERJIWA GURU
* Oleh; PENJAGA SEKOLAH
Janganlah menjadi guru karena terpaksa…, Hanya menunggu bunyi SMS banking pertanda TPG masuk rekening…,
Jangan selalu meminta hak, lupa akan kewajiban…., Ingat TPG di waktu sulit, masuk kelas terlupakan…,
Di tahun 80-an seseorang yang akan menjadi guru minimal harus masuk SGB (Sekolah Guru Bawah) dan lanjut ke SGA (Sekolah Guru Atas) yang dipersiapkan mengajar di SR (Sekolah Rakyat/SD).
Selanjutnya di era tahun 70-an berdiri SPG (Sekolah Pendidikan Guru) setingkat SLTA saat ini, pun dipersiapkan mengajar SD.
Adapun D1, D2, D3 di era 80an dipersiapkan untuk mengajar SLTP/SLTA dengan ikatan dinas, dan bisa melanjutkan jenjang S1 dengan akta IV. Tidak bisa menjadi guru tanpa ijazah dari Institut/Fakultas Keguruan.
Kemudian di era 90-an sarjana non kependidikan yang berminat jadi guru bisa mengambil akta IV di Fakultas Keguruan selama 2 semester (1 tahun).
Di era saat ini, untuk menjadi guru tak perlu lagi masuk fakultas keguruan, sarjana apapun bisa daftar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), jika lulus maka ikut PPG (Pendidikan Profesi Guru) selama 1 tahun, maka jadilah seorang guru !
Tak sulit untuk menjadi seorang guru. Sorotan penulis bukan persoalan kebijakan, namun menitik beratkan pada seorang “guru” yang seharusnya berjiwa sebagai guru.
Kalaulah bertugas hanya “sekadar” mentransfer ilmu pengetahuan, saat inipun _google_ sudah jauh lebih bisa dan pandai, tidak terlalu dibutuhkan keberadaan guru di depan kelas.
Keberadaan guru menjadi mutlak dibutuhkan, ketika _google_ tak bisa memberikan panutan moral, internet tak bisa (tak akan bisa) menjadi sosok teladan yang digugu dan ditiru, mesin aplikasi games tidak bisa memberikan edukasi.
Peran inilah yang tidak akan bisa tergantikan oleh android atau aplikasi apapun, guru di depan kelas dan lingkungan sekolah merupakan sumber inspirasi bagi peserta didik.
Sangat ironis, jika masih ada guru yang tidak atau belum menyadari fungsi keberadaannya di kelas maupun lingkungan sekolah.
Tidak layak seorang guru berkata dan berinteraksi kepada peserta didik dengan tidak memperhatikan aspek edukasi, apalagi jika datang terlambat pulang cepat, dengan berbagai alasan “rutin” yang dikemukakan.
Tidak mungkin jika guru plus sebagai kepala sekolah datang terlambat mau menegur gurunya (yang juga terlambat), tak mungkin (jika) guru datang terlambat akan mau menegur siswa yang datang lambat juga. Kedisiplinan itu dimulai dari atas, bukan dari bawah.
Kedisiplinan ini harus ada pada sosok guru, tak bisa digantikan oleh mesin _google_ di android. Bisa jadi saat masuk kuliah (dulu) tak berminat jadi guru, namun untuk memenuhi tuntutan belanja nasi, jadi guru merupakan jalan cepat, karena banyak pengangkatan CPNS formasi guru.
Sudahlah, menjadi apapun itu merupakan hak dari setiap individu, tak ada yang salah, namun yang menjadi permasalahan itu ketika telah mejadi *guru, tidak berjiwa guru !*
Ayo…, bagi guru yang belum berjiwa guru, “kembalilah ke jalan yang benar”, jika sudah ditakdirkan menjadi seorang guru, lakukan yang terbaik, lakukan tugas-tugas secara maksimal, mengajarlah dengan jiwa, dengan kasih sayang.
Jangan mau peran guru digantikan oleh mesin _google_, jangan sampai siswa kita lebih “nurut” kepada internet daripada guru.
Di dunia ini pada prinsipnya hanya ada “3 hari” yaitu, kemarin, saat ini dan besok.
Kemarin tak bisa terulang, hari ini menanam untuk besok, besok harus lebih baik daripada hari ini.
Wassalaam…., tabe. 🙏🏻🙏🏻 ___________________________
Aceh 4.08. 19 * Kepsek SMK N ACEH * Sekum PGRI Prov Aceh https://www.facebook.com/jubir.mak