Apa hendak dikata, begitulah hukum negeri. Ahok dengan ikhlas menerima putusan hakim demi keademan negeri. Ahok menjadikan peristiwa tersebut sebagai pengalaman iman kristiani yang luar biasa. Jika orang bersalah dihukum, itu soal biasa, tetapi orang rela dihukum tanpa salah, menjadi inspiratif.
Lalu, bagaimana dengan potongan ceramah Ustadz Abdul Somad (UAS) yang memberi jawaban atas pertanyaan dari seorang umat sehubungan dengan simbol agama Kristen-Katolik tentang patung dan salib yang berisi jin kafir?.
Terlepas dari apakah pernyataan UAS merupakan perbuatan penistaan agama atau tidak, jika dilihat dari gaya atau bahasa tubuh, ekspresi wajah dan pilihan kosa kata yang UAS lantunkan (haleluya..dst…, dibarengi dengan lantunan bunyi sirena ambulance: wiu..dst… sekaligus memperagakan jari-jarinya sebagai simbol salib), maka tampak naluri UAS sangat berkehendak mencemooh objek pembicaraannya yakni simbol-simbol agama Kristiani-Katolik.
Jadi, sesungguhnya tampaklah UAS bukan hanya memberi jawaban atas pertanyaan tersebut, melainkan telah bertendensi untuk merendahkan dan mencela simbol-simbol agama lain.
Keluh-kesah Anak Bangsa
Manisfestasi perjuangan negeri ini menjadi suatu bangsa besar dan berdaulat di tengah-tengah bangsa lain di dunia bukanlah oleh suatu golongan saja, melainkan dibangun dan diperjuangkan oleh seluruh anak-anak bangsa yang berbeda suku, etnis, agama dan kepercayaan. Ken
datipun negeri ini sudah 74 tahun merdeka disinergikan dalam keutuhan Kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI) yang dibingkai dalam Bineka Tunggal Ika dan berlandaskan Pancasila, namun hingga saat ini tidak sedikit warganya masih terkungkung dalam kefanatismean yang picik.
Menyelisik kehadiran putra-putri bangsa dalam kehidupan beragama, bahwa secara empiris tidak sedikit anak-anak negeri yang bukan hanya sebagai warga biasa, melainkan sekalipun mereka sebagai tokoh agama tetapi pola pikir dan perilakunya ke luar dari link Pancasila, pada hal sebagai negara yang berdaulat rakyat Indonesia mengakui Pancasila sebagai pedoman dan pegangan hidup berbangsa karena didalamnya mengandung seluruh aspek kehidupan, termasuk sendi kehidupan beragama.
Agama merupakan prinsip kepercayaan kepada Tuhan, sehingga dalam sendi kehidupan beragama tidak ada agama yang membolehkan membully atau mencemooh sesembahan penganut agama lain
Tidaklah dapat dipungkiri, bahwa anak-anak bangsa di negeri ini masih banyak yang apatis tentang pentingnya saling menghormati, saling menghargai dan saling bertoleransi.
Tidak sedikit penghuni negeri ini, mengganggap hanyalah kelompoknya atau golongannya saja yang pantas sebagai anak negeri karena mereka sebagai komunitas mayoritas sehingga di daerah-daerah tertentu masih sangat sulit menerima kehadiran warga yang berbeda agama denganya atau di daerah tertentu masih sulit melakukan kegiatan beribadah, apalagi mendirikan rumah ibadah, bahkan tidak asing lagi bagi kita masih ada rumah ibadah yang sengaja dibakar.
Sampai kapankah anak-anak bangsa ini saling berperang, saling mengejek tentang keyakinan; tentang agama; tentang etnis; dan tentang suku?
Adakah agama yang memberi jaminan kepada si penghotbahnya atau pendakwahnya akan masuk surga ketika ia dapat memberi humor atau lelucon dengan menggunakan materi atau substansi simbol-simbol agama lain yang dengan demikian umat atau sipendengarnya menjadi pembenci agama lain atau sebaliknya karena humor tersebut justru umat atau sipendengarnya membenci si pendakwah atau si penghotbah?
Sadarlah dan berhentilah membenci keyakinan, agama, etnis dan suku lain yang ada di dunia ini, karena semuanya itu sebelum engkau ada Sang Khalik sudah merancang-Nya.
Dia tahu kebaikan dan kedengkian hatimu, karena siapapun engkau: umat, sipendakwah atau si penghotbah semuanya hasil karya-Nya yang bahannya dari debu tanah.
Penistaan Agama dan Penegakkan Hukum
Pro dan kontra tentang penyelesaian hukum pidana sehubungan dengan potongan ceramah UAS yang isinya menyinggung perasaan dan menghina simbol agama Kristen-Katolik menjadi persoalan rumit dan sensitif.
Satu sisi, UAS dan kelompok sepahamnya merasa tidak ada persoalan atas penggalan ceramahnya karena isi ceramahnya sesuai dengan ajaran agamanya dan dilakukan dalam komunitasnya, sehingga baginya tidak melanggar hukum pidana dan tidak memenuhi elemen penistaan agama sebagaimana diatur dalam KUHP, sedangkan sisi lain, pihak penganut agama Kristen-Katolik, bahkan tidak sedikit penganut agama Islam-pun menganggap potongan ceramah UAS terebut sudah memasuki ranah penistaan agama, karena isi ceramah UAS telah menerobos substansi agama lain dan bertendensi bersifat mencemoohkan simbol agama lain.
Terlepas dari pro-kontra mengenai potongan ceramah UAS tersebut, yang jelas Indonesia sebagai negara hukum, tentu jika ada persoalan yang tidak dapat diselesaikan secara non penal maka dapatlah diselesaikan secara penal.
Sehubungan dengan hal ini, karena UAS tidak merasa bersalah, sehingga ia tidak perlu meminta maaf sekalipun ada penganut agama lain yang merasa terhina dan tersinggung atas penggalan ceramahnya tersebut, maka kehadiran hukum melalui penegak hukumnya tentu diharapkan dapat menyelesaikan persoalan ini dengan arif sesuai dengan aturan yang ada.
Jika mendasarkan pada elemen Pasal 156 a KUHP, yakni: barang siapa; dengan sengaja; di muka umum; mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan bersifat permusuhan; penyalahguanaan; atau penodaan terhadap suatu agama, maka hanya elemen dengan sengaja dan elemen di muka umum saja yang tidak mudah membuktikannya sebagai dasar untuk menentukan perbuatan UAS dapat diduga sebagai penista agama atau tidak.
Elemen sengaja. Sebagai subjek hukum pidana, UAS mengetahui dan sangat sadar apa yang ia kemukakan untuk menjawab pertanyaan seorang umat tentang patung dan salib.
Kendatipun jawaban atau pernyataan tersebut masih relevan dengan teologi ajaran agama Islam, namun UAS pun tahu dan berkehendak (sengaja) bahwa apa yang ia kemukakan tersebut mengandung naluri untuk mencemooh simbol agama orang lain.
Elemen di muka umum. Secara subjektifitas, UAS dan sepahamnya memandang bahwa ceramah di dalam komunitas agama Islam bukanlah termasuk di muka umum, karena audiensnya menurutnya semuanya pemeluk agama Islam.
Lalu, bagaimana dilihat secara objektifitas, di muka umum dapat juga dimaknai sebagai tempat yang dapat dilihat dan dikunjungi oleh orang banyak (lihat, penjelasan Pasal 154 KUHP oleh R.Soesilo).
Jadi, kata umum yang dimaknai dalam hal ini berkenaan dengan jumlah orangnya, jika banyak orangnya berarti umum.
Dengan demikian, maka di muka umum dapat juga dipahami sebagai tempat orang banyak yang walaupun satu komunitas tetapi belum tentu sepaham tentang objek dan konteks pembicaraannya, yakni mengenai simbol agama.
Ketika simbol-simbol agama telah dinodai, dicemooh oleh siapa saja, maka patutlah terhadap pelakunya dikenakan sanksi yang setimpal.
Semoga!