Daruratkah Pendidikan di Kab. Kupang?

BERITA58 Dilihat
Oleh : Simon Seffi, S.Pd*

Dari kunjungan belajar yang dilakukan Komunitas Belajar
Matematika (KBM) pada tanggal 6 Juni – 16 Juni 2016 di 10 SD se kecamatan
Fatuleu Barat, didapati hal – hal yang menunjukkan daruratnya kualitas
penyelenggaraan pendidikan, yang kami duga juga relativ mewakili kondisi
objektif pembangunan pendidikan di kabupaten Kupang, yang mesti jadi perhatian
pemangku kepentingan dan seluruh elemen masyarakat terkait, yakni; Hingga
hampir tamat SD (siswa kelas V dan IV), kami dapati sedikit siswa di hanya
beberapa sekolah yang kecepatan membacanya terkatogeri B dan C, sedikit siswa
terkategori D, dan mayoritas sisanya terkategori E, bahkan tidak sedikit yang
belum bisa baca sama sekali.

Oleh karena berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa
kemampuan dan kecepatan membaca berkorelasi positif terhadap pemahaman atas isi
teks/bacaan, dengan kondisi ini, kami yakin bahwa upaya konstruksi pemahaman
materi (kognisi) terhadap adik – adik pelajar tidak akan maksimal dan secara
kumulativ berdampak pada buruknya kualitas SDM jauh waktu ke depan.
Berikut, beberapa pengaruh yang kami dapati sebagai
faktor penyebab:
PihakSekolah
1. Tidak ada upaya serius untuk membantu siswa kelas IV dan V yang belum lancar
baca. mayoritas siswa kelas III yang bahkan belum bisa baca tulis juga dibiarkan.
Umumnya, sekolah (guru) hanya menyarankan orang tua agar membantu mengajari
anaknya membaca di rumah. Sebab, menurut hampir semua guru dan kepala sekolah,
mereka harus menyelesaikan materi pembelajaran sesuai arahan program dan
kurikulum.
2. Kebijakan untuk tidak menaikkan siswa yang belum bisa
baca tulis ke kelas V dan VI jadi pilihan hampir semua sekolah, walupun, rata –
rata siswa dinaikkan hingga kelas IV meski belum bisa baca. Akhirnya, terkesan
seolah – olah siswa melewati jenjang pendidikan SD hanya sekedar untuk tahu
baca tulis. Akibatnya, upaya konstruksi pemahaman/kemampuan dasar materi
pelajaran jadi tak maksimal. Tak heran, tidak sedikit siswa di sekolah lanjutan
jadi kesulitan memahami materi lanjutan dalam pembelajaran.
3. Ada siswa yang bahkan baru lulus SD setelah berusia
hampir 18 tahun. Siswa tersebut ditahan 2 tahun di setiap kelas. Meski
demikian, menurut pengakuan kepala sekolah, siswa tersebut   belum bisa baca tulis ketika tamat SD.
4. Hampir semua guru masih menggunakan metode pembelajaran
yang konvensional. Siswa kelas 1 diajari baca tulis dengan metode ceramah dan
menghafal.
5. Tidak dilakukannya penilaian kinerja terhadap guru
baik saat aksi/pembelajaran di kelas maupun penilaian kelengkapan/perangkat
pembelajaran.
6. Tidak sedikit yang siswa merasa tidak nyaman saat
pembelajaran berlangsung. Sebab, hampir semua sekolah masih menerapkan hukuman
fisik ketika pembelajaran berlangsung. Siswa yang tidak tahu atau tidak bisa
menjawab dikenai hukuman berupa; Cubit di telinga, cubit di paha, tampar,
disuruh berlutut di atas meja, dan dimarahi.
7. Tidak sedikit guru yang melihat RPP dan perangkat
pembelajaran lainnya sekedar sebagai syarat administratif. Fungsi RPP sebagai
pengarah agar pembelajaran jadi runtut dan terarah diabaikan. Akibatnya, tidak
sedikit guru yang mengakui sama sekali tidak menggunakan RPP saat pembelajaran.
sebab, menurut mereka, kegiatan pembelajaran di kelas sulit mengikuti
skenario/desain pembelajaran dalam RPP yang mereka salin dari buku RPP yang
disiapkan sekolah (tinggal diubah dan disesuaikan dengan buku sumber yang guru
gunakan saat tulis ulang RPP).
8. Perkembangan hasil belajar siswa hanya dikomunikasikan
bersama orang tua saat penerimaan Laporan hasil belajar (Report). Kalaupun ada
komunikasi personal, juga hanya untuk menyampaikan kelemahan anak pada orang
tua agar ada upaya dari orang tua sendiri.
9. Keberadaan perpustakaan di beberapa sekolah belum
dimanfaatkan secara maksimal, bahkan ada yang tidak memanfaatkannya sama sekali
karena berbagai alasan teknis.
10. Hampir semua siswa bahkan tidak memiliki satupun buku
bacaan, termasuk tak adanya buku cetak pendukung materi pembelajaran. Ada
sekolah yang kasih buku cetak saat jam pembelajaran saja. Setelah selesai
pembelajaran, buku dikumpulkan dan tidak bisa dibawa pulang oleh siswa.
Peran Orang Tua dan Komite
11. Hampir semua orang tua siswa tidak mengontrol/mengikuti perkembangan
pembelajaran anaknya secara rutin.
12. Banyak siswa yang seolah ditelantarkan orang tuanya.
Mereka dibiarkan sendirian di rumah, urus diri sendiri. orang tua mereka lebih
banyak berada di kebun/ladang.
13. Hampir semua siswa mengakui tidak pernah dibantu
orang tua/saudara untuk belajar di rumah.
14. Hampir semua orang tua tidak menyediakan buku bacaan, buku cerita, komik,
atau sejenisnya bagi anaknya.
Untuk itu, kami coba sarankan rekomendasi perbaikan
(bersurat ke pemangku kepentingan) yang bisa disikapi oleh pemangku kepentingan
demi perbaikan pembangunan manusia di kabupaten Kupang, antara lain:
1. Di tahun pelajaran baru (2016/2017), semua SD di
Fatuleu Barat (juga Kabupaten Kupang) mesti mengagendakan proses pembelajaran
selama tenggang waktu tertentu hanya khusus untuk penguatan kemampuan baca
tulis siswa di seluruh kelas sesuai kebutuhan. Kebijakan ini mesti didukung
(ditetapkan atau sejenisnya) oleh pemerintah melalui dinas PPO sehingga target
penyelesaian materi pelajaran sesuai arahan kurikulum tidak jadi masalah buat
sekolah dan guru.
2. Sekolah/guru mesti menerapkan pembelajaran baca tulis
di kelas 1 dengan pendekatan bermain sehingga sesuai dengan situasi psikologis
peserta didik. Pembelajaran di kelas lain juga harus didekati dengan pendekatan
yang selain melibatkan partisipasi aktif siswa, juga membuat siswa nyaman,
merasa dihargai, dan menyenangkan. Hukuman fisik saat pembelajaran berlangsung
harus dihilangkan. Bila perlu, tindak tegas oknum guru yang masih mengenakan
hukuman fisik dan hukuman sejenis lannya ketika pembelajaran berlangsung, yang
malah membuat siswa malu, tidak percaya diri, serba takut, dan dampak negatif
turunan lainnya bagi perkembangan siswa.
3. Pemerintah melalui dinas PPO harus mengarahkan
pimpinan tiap satuan pendidikan dari SD hingga SMA agar efektiv melakukan
penilaian kinerja guru secara rutin dan terukur. Menurut pengakuan tidak
sedikit sekolah, PKG baru dilaksanakan beberapa waktu lalu tetapi tidak terukur
secara profesional karena hasil PKG hanya digunakan oleh pihak tertentu sebagai
salah satu syarat administrativ mendapatkan tunjangan sertifikasi.
4. Dinas PPO atau pihak sekolah harus memberikan
pelatihan kepada guru mengenai pembuatan perangkat pembelajaran yang praktis
tetapi akomodativ dan merangsang partisipasi aktif siswa.
5. Pemerintah harus menyiapkan tenaga ahli untuk
memastikan status keterbelakangan mental bagi anak yang punya indikasi
berkebutuhan khusus di sekolah – sekolah se kabupaten Kupang agar mereka tidak
diperlakukan sama dengan siswa normal lainnya. Yang kami dapati, tidak sedikit
anak di tidak sedikit sekolah yang berulang kali ditahan kelas karena katanya
tidak bisa baca tulis meski diajari berulangkali. Jika anak dengan kondisi
seperti ini ternyata ABK, dia tidak harus diperlakukan secara seragam dengan
anak lainnya.
6. Kemudahan akses siswa terhadap buku – buku bacaan dan
buku materi pelajaran mesti dimaksimalkan pemerintah dan sekolah. Setiap siswa
harus memiliki minimal beberapa buah buku bacaan seperti buku cerita anak,
komik, dan bacaan sejenisnya.
7. Pola relasi dan komunikasi sekolah dengan orang tua
siswa mesti dibenahi sehingga perkembangan pembelajaran anak bisa diikuti
secara rutin dan terukur. Perlu dibentuk komite khusus atau sejenisnya
melibatkan berbagai pemangku kepentingan (sekolah, komite, pemerintah desa,
pemuka agama, pemuka adat, dan pihak keamanan) agar memantau aktifitas siswa
diluar kegiatan sekolah. Siswa yang hanya menghabiskan waktunya di tempat
nonton televisi, bermain, termasuk yang seolah ditelantarkan orang tua bisa
diperhatikan secara khusus.
Demikian, Saatnya seluruh elemen
masyarakat kabupaten Kupang diajak untuk peduli dan ramah terhadap kepentingan
dan kebutuhan anak.

Tinggalkan Balasan