Tarian Bonet Atoin Meto Bagian 2

KEBUDAYAAN196 Dilihat

Jenis-jenis bonet:


1. Upacara memperkenalkan anak kepada masyarakat:
  „tapoin liana/anah“.
2. Pesta Rumah  baru: Ume fe’u
3. Perayaan pemasukan persembahan kepada raja: Tatama ‘maus
4. Pesta syukur panen atau  hasil kebun baru: Mnahat fe’u
5. Menyongsong kembalinya seorang pahlawan perang:
  ote nakan / nis nakan
6. Orang mati: boen nitu  di Maubesi dan marga [kanaf] Nismuti
7. Pesta Kenduri: Talasi nitu

BACA : TARIAN BONET ATOIN METO Bagian 1

Pantun-pantun dalam bonet : Banyaknya pantun-pantun bonet sama seperti orang ingin menghitung pasir di pantai. Jumlahnya sangat banyak dan variasinyapun tidak kurang.

Uskup Agung Kupang, MGR. Petrus Turang, Menari Bonet bersama umat Stasi St. Yohanes dari Salib Oekiu – Fatukopa TTS

Dari satu pihak dunia pantun Dawan masih sangat terselubung dan cukup asing di depan mata orang bukan Dawan, karena itu belum dikenal dan dipahami orang-orang luar.

Di dalam pantun-pantun itu terungkaplah kemampuan bersastra orang  Dawan. Dalam hal ini sastra puisi, tanpa harus menyebut kehebatan mereka dalam bersastra prosa.  Di sini dicantumkan beberapa macam pantun guna menyingkap tabir dunia bonet, walaupun hanya beberapa hal saja. 

1. Pada Kesempatan Sabung Ayam (Fut manu – seif manu)

Sering terjadi bahwa bonet dibuka dengan pantun-pantun khusus yang dinamakan Fut manu ma seif manu, mengikat ayam dan melepaskan ayam. Bonet memakai futmanu untuk peserta-peserta yang berasal dari dua kampung misalnya tarian bonet diadakan di kampung Tuatenu, daerah Maubesi, Insana.

Pemuda-pemudi dari kampung Naip datang sebagai tamu ke kampung Tuatenu. Pemuda-pemuda kampung Tuatenu sebagai tuan rumah membuka bonet dengan menggunakan pantun futmanu, sebagai tanda menyalami tamu-tamunya. Secara harafiah ungkapan itu mengandung pengertian mengikat ayam. Lalu tamu-tamu tersebut memberikan jawaban dengan mengangkat pantun-pantun seif manu sebagai balasan terhadap para penerima tamu atau tuan rumah.

Secara harafiah ungkapan itu mengandung pengertian membuka atau melepaskan ayam. Dengan cara demikian tuan rumah memberi isyarat bagi tamunya bahwa komunikasi antar mereka baik dan tidak ada kesulitan atau halangan sehingga kegiatan itu bisa dilanjutkan.

Apakah artinya atau latar belakang dari kiasan-kiasan tersebut di atas? Maksud kiasan itu diperjelas dengan menyuguhkan sirih pinang sebagai tanda penghormatan tuan rumah kepada tamu-tamu mereka.

Pada umumnya pantun-pantun tersebut berisikan tata adat sopan santun yang selalu diulang terus menerus yaitu minta maaf dengan berbagai alasan seperti pinang kami tidak bagus, kekurangan sirih, kurang ini, kurang itu, dan seterusnya.

Kepedulian Para Pemerhati Budaya Almarhum Pastor Vincenz Lechovic SVD dan Almarhum Pater Stefanus Mite SVD berusaha mengumpulkan berbagai jenis pantun dari beberapa daerah.

Ternyata dari kumpulan yang telah diperoleh terdapat banyak persamaan, di samping variasi-variasi kecil pada setiap tempat. Kalau seandainya kita memiliki juga kumpulan pantun-pantun dari setiap daerah, maka lengkaplah dan jelaslah gambaran ini.

Yang menarik perhatian ialah cara penggunaan nama-nama kampung dalam bentuk singkatan yang berlainan dari struktur administrasi kepemerintahan.

Baca Juga  Sbo Ma'ekat, Tarian Perang Simbol Keperkasaan Atoni Pah Meto

Dari daerah Kabupaten Timor Tengah Utara kami mendapat beberapa contoh menarik: * Eban disebut BiKati; Nilulat disebut BiNilu; Oèolo disebut BiNili; Bijaepasu disebut BiLipu;  Oèkusi disebut BiLoki  atau juga BiBesi; Biloto disebut BiJoba atau BiSoni; Benlutu disebut BiLutu;  Boèntuka disebut BiTuka.

Beberapa nama diambil dari nama batu yang merupakan simbol penghuni-penghuni daerah itu. Di daerah Amanuban ditemukan nama yang biasa dipakai oleh pemerintah.

Apa maksudnya kata bi? Dugaan semula bahwa bi, di, menunjukkan tempat. Tapi ternyata dugaan itu tidak mendekati kebenaran isi dan maksud penggunaan kata itu.

Barangkali bi ini berhubungan erat dengan bi yang dipakai untuk menyapa dengan sopan nama seorang wanita seperti: bi Tefa; bi Kusi. Melihat kedudukan wanita dalam adat sebagai makluk yang selalu merendahkan diri dan selalu menjadi penjaga rumah, sementara kaum lelaki pergi ke luar untuk mencari kebutuhan kehidupan keluarganya, maka pemakaian bi untuk nama kampung menunjukkan kerendahan hati si pembicara kepada tuan rumah.

Orang Benlutu memperkenalkan dirinya dengan menggunakan ucapan puitis ini: hai bi lutsin, kami orang-orang Benlutu.

Penggunaan atribut “Bi” dan “Ni” di depan setiap nama tempat atau nama pribadi manusia menunjuk pada klasifikasi jenis kelaminnya. “Bi” selalu dirangkaikan dengan nama pribadi wanita atau perempuan dan sebaliknya “Ni” selalu dirangkaikan dengan nama pribadi laki-laki.

Hal yang sama berlaku juga dalam penggunaannya pada nama tempat sebagaimana lasimnya bagi masyarakat Dawan umumnya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa atribut itu digunakan untuk  menjelaskan status kata di depannya.

Pada umumnya nama tempat dirangkaikan dengan atribut “Bi”, yang menunjuk pada klasifikasi jenis kelamin feminis. Sedang orang lain menyapa orang-orang Benlutu dengan menggunakan ungkapan berikut: Hi muin lut, kamu adalah orang-orang Benlutu.

Jadi bukan hi bi lutsin.  Hi muin Lut artinya kalian, para pemuda dan pemudi dari Benlutu. Hi adalah orang kedua jamak: kamu. Muin berasal dari kata munif yang berarti muda, orang muda. Sin semacam kata kerja bantu „adalah“. Selalu digunakan dalam bentuk jamak. Ada pantun juga yang bersifat ejekan dan teguran. 

2. Pantun Ejekan Dan Teguran

Dalam masyarakat yang mengenal dan menggunakan pantun-pantun, terdapat juga pantun yang sifatnya mengejek atau menegur orang atau kelompok lain, karena sikap atau prilakunya yang tidak sesuai dengan tata adat yang berlaku umum dalam kalangan budaya Dawan umumnya.

Jenis pantun seperti itu sebut pantun provokasi atau Nel (Ne) màsiu (artinya pantun yang memprovokasi orang lain). Di Amanatun pantun seperti itu disebut Nel (Ne) klaib. Sementara itu di tempat lain seperti di Beunsila (….) disebut Nel (Ne) khata, yang artinya bersifat mengganggu atua mengusik bahkan bersifat ejekan.

Baca Juga  TIMOR IN GEOLOGICAL PERSPECTIVE

Di daerah Noemuti disebut Nel (Ne) Makaleat, yang juga mengandung persertian yang hampir sama dengan pantun khata; di Maubesi disebut Nel (Ne) makhaba. Pantun perkara di Amanuban Nel (Ne) lasi. Setiap wilayah dialek Dawan terdapat istilah atau ungkapannya masing-masing untuk menyebut hal atau maksud yang sama.

3. Pesan-Pesan Dari Pantun

3.1. Pantun Bersifat Sejarah

Disebut bersifat sejarah karena pantun-pantun tersebut diciptakan untuk mengenang dan menghormati seseorang dari antara mereka, yang mati sebagai pahlawan, dalam arti dan kalangan yang sempit.

Pantun seperti dibagi dua macam yakni pantun yang berkaitan dengan tanah atau disebut Nel (Ne) pah dan yang lainnya berkaitan dengan pantun pujian atau pengagungan, yang biasa disebut Nel (Ne) matoula (Matuna) <mengagungkan> atau Nel (Ne) mapules <memuji>.

3.2. Pantun Teka-Teki: Nel matekan


Satu kelompok peserta bonet membawakan suatu teka-teki yang harus diterka oleh kelompok lain. Di sini kita dapat mengenal kecerdasan dan ketelitian orang Timor dalam memperhatikan hal-hal kecil. Di dalam teka-teki sering terselip humor dan ironi yang halus maupun kasar. Kemajuan di dalam bidang teknik juga tak luput dari perhatian mereka.

Contoh:
* In he ntup nok manas – in he nbe nok fai.
Dia ingin tidur waktu siang – berjaga-jaga pada malam hari.
Jawaban: Lampu-lampu mobil/ kendaraan.

* Otbes nem neik loko – Otbes nem neik sulat
Mobil yang satu datang membawa rokok.
Yang lain membawa surat/pos.

Jawaban: Daun muda pohon beringin, waktu masih muda kelihatannya tergulung seperti rokok, kemudian terbuka seperti surat, ketika sudah semakin mendapat panas matahari.


Suatu contoh lain tentang teka-teki yang disampaikan dalam bonet. Kelompok pertama mengangkat pantun:

Kaesle ntup mone ka ntao sonaf
Pangeran yang menginap di luar rumah tidak membutuhkan  istana.

Feotnai ntup sonfa ma ntae kean
Permaisuri tidur di istana dan melihat dan mempersiapkan kamar.

Kelompok kedua berusaha menerka isinya. Jika mereka tidak dapat menerka isinya, maka mereka balik bertanya kepada kelompok pertama yang memberikan teka-teki itu:

Nisbi sao nmonit une saan
Pohon apakah yang daunnya demikian?

Ma’be nput-putu nsae ntui lalan
Rumput yang terbakar memberikan petunjuk arah jalan.

Toit palmis he mtu’in kau fe kleo
Saya meminta kepada kalian untuk memberikan pendasaran sedikit kepadaku.

Menyusul setelah pertanyaan ini, pengangkat teka-teki dari kelompok pertama berusaha untuk memberikan penjelasan sedikit:

Lim – lim besi na aik aon bian-bian
Pisau yang berkilat itu tajam sebelah menyebelah

Kelompok kedua harus berusaha lagi untuk menerka. Jika ternyata tidak bisa, mereka harus menyerah.


Arti dari teka-teki tadi ialah bahwa batu asah (akik) yang besar biasanya diletakkan di luar rumah. Sedangkan batu asah (akik) yang kecil selalu disimpan di saku atau di dalam tempat sirih laki-laki.

Baca Juga  The peopling of Timor: the linguistic evidence

Sebuah contoh lain lagi:
Lus sun fatu nanuin tain mautuf
Rusa bertanduk keras seperti batu tidak makan perut halus

Muknit ma’u mtao neu sa?
Kemanakah rumput disimpan setelah dikunyah?

Jawaban: Perkakas pemisah biji kapas ( bahasa Dawan bninis) dari isinya.

Di samping teka-teki umum, sering dipakai juga teka-teki yang diambil dari Kitab Suci. Umat Protestan di TTS suka mengisi waktu menjaga jenasah dengan memakai teka-teki semacam ini. Orang-orang saling menguji pengetahuan tentang Kitab Suci dan kecerdasan.


Kumpulan Bonet ini sebenarnya terdiri dari dua jilid. Tetapi yang dikerjakan ulang sekarang ini hanyalah jilid kedua. Dalam jilid I sudah dimuat banyak teka-teki tentang Kitab Suci. Jilid II juga memuat lagi beberapa contoh lain yang bagus dari Kitab Suci.

Pete nao nitu nsi.
Peti mayat yang menyanyi.
Jonas yang hidup di dalam perut ikan.

Guru agama, Kornelis Tapatab dari Kapela Oèhala, yang umatnya berjumlah tiga orang, mengarang banyak pantun sesuai dengan judul-judul Kitab suci. Pendidikannya hanya kelas tiga Sekolah Dasar.

Pantun-pantun ini kebanyakan berasal dari Desa Naip, Amanuban Selatan di Timor Tengah Selatan yang dikumpulkan oleh guru agama Martinus Napa. Pantun lain diperoleh dari Bapak Petrus Ena dan Silvester Bois.

Bila di dalam pengolahan naskah ini disebutkan atau digunakan ungkapan “guru agama” maka yang dimaksudkan adalah pribadi-pribadi yang dulu dipercayai oleh para pastor perintis pewartaan untuk mewartakan kabar keselamatan menggunakan sebuah katekismus sederhana yang disusun oleh pastor.

Mereka ini tidak mendapatkan pendidikan khusus seperti sekolah pendidikan guru agama (SPGA) atau yang sejenisnya.

Uraian singkat mengenai bonet ini bermaksud untuk mengundang perhatian pembaca sekaligus meminta bantuan pembaca untuk melengkapi bahan-bahan tersebut.

Apabila para karyawan di bidang pastoral (baca: pastor, katekis) ingin memahami dan menyelamatkan nilai-nilai budaya orang Dawan, orang harus terlebih dahulu mengumpulkan bahan-bahan kebudayaan orang-orang Dawan di wilayah tersebut.

Pada tahun 1923 seorang pendeta H. Krayer van Aalst mencatat di Kapan suatu ceritera tentang seorang raja Aimetan dan isterinya Leolkase. Ceritera itu dimiliki dalam bahasa Belanda.

Kami mencari orang tua-tua yang mungkin masih bisa mengingat ceritera itu di seluruh daerah Molo. Tapi semua orang melupakan cerita tersebut.

Lima puluh tahun lamanya Pendeta Pieter Middelkoop mengamati pantun-pantun bonet sebagai kekayaan yang menarik untuk bisa digunakan dalam bidang pewartaan sabda Allah. “Het spreekt vanself, dat deze dingen / pantun / van groote waarde zijn voor de Evangelie prediking.” 

“Jelas sekali bahwa bonet dengan pantunnya amat berharga untuk perwartaan Injil”.  Kita harus mengakui kebenaran pendapatnya dan mulai melaksanakan pekerjaan yang dilalaikan atau kurang diperhatikan oleh pewarta-pewarta Sabda   Allah lainnya.

Soè, 19 Juli 1978.
Alm. P. Vinzensius Lechovic, SVD.
Alm. P. Stefanus M i t e, SVD.