Atoin Timor Ahunut | Orang Timor Perdana

Oleh Andreas Tefa Sa’U

Pada mulanya Pulau Timor ini masih tergenang air laut. Hanya puncak salah satu gunung tertinggi dalam kompleks pegunungan: Mutis-Bobnain, Poni’m-Tu’fuf, Hanuf-Nuamolo, Sahan-Bikekneno (yang tertinggi). Yang berdiam di puncak itu adalah Kaesnai atau Tkesnai (sebuah nama dan sebutan atau gelar yang berarti melekat, berhubungan erat atau terletak merapat dengan tanah). Tsutai Neno (Sang Suami) dan Asu Neno (isterinya) melahirkan empat orang anak puteri dan seorang putera.

 

Keempat puteri itu adalah:
Taku Kesnai (sulung) yang kemudian kawin dengan Belu Mau dan kembali ke Belu, ke tempat matahari terbit (Mansesaen) atau noensaet.
Balakan Kesnai (kedua) kawin dengan Sabu Mau dan terus ke bagian barat hingga menjadi nenek moyang orang Sabu.
Roera Kesnai (ketiga) kawin dengan Rote Mau yang menjadi nenek moyang orang Rote.
Surasi Kesnai (bungsu) kawin dengan salah seorang terkemuka yang sejak mula sudah bersama-sama dengan Kesnai di Gunung Mutis yaitu: Nai Neno (Neno Tunfini, Tsanai Mnasi, Tunfini Mnasi) yang kemudian menjadi Naija Tuaf pertama di Noemuti. Putera tunggalnya adalah: Neno Kesnai yang kemudian berkembang ke mana-mana sekitar pegunungan Mutis yang sekarang keturunannya adalah Kanaf Naif di Lemun-Nu’naun, Pipma’um-Sa’tab. (Naif berasal dari kata Nai yang berarti: jantan tetapi juga Anai Pah Ma Anai  Nifu: yang membagi wilayah tempat tinggal). Bawahan atau orang-orang yang bersama-sama Kesnai adalah: Tefnai, Funai, Nesnai, Balnai, Olnai, Seunai dan Teunai.
Setelah air laut menjadi surut dan wilayah darat sudah luas mereka mulai menyebar ke seluruh daerah sekitar pegunungan Mutis mencari tempat tinggal yang layak dihuni. Sedangkan yang tetap tinggal bersama Kesnai adalah; Silbu-Baitanu, Tuna-Kune. Kune di sini bukan berasal dari da Cunha tetapi sebutan yang menunjuk pada suatu fungsi: Nkuni Ma Nai yang artinya: menimbun dan mengendapkan serta membagi. Maksud dari fungsi ini adalah mengawinkan puteri-puterinya dengan: Sonbai, Kono dan Oematan. Sekarang masih ada kanaf kune tetapi ada cabang lain yang menunjuk pada fungsi di atas yaitu : Naif di Lemun-Nun’naun, Pipma’um-Sa’tab.
Tokoh terkemuka dalam keluarga Kune Uf adalah: Fai Tsutai Kune (apakah identik dengan Tsutai Neno yang adalah Kesnai Kune di Gunung Mutis itu, para penceritera tidak membedakannya secara tepat). Pada jaman kekuasaanya datanglah Nai Faluk  (Falukis Belu) yang kemudian mengawini puteri bungsunya: Bi Jili Kune dan menjadi penguasa dan pendiri kerajaan Oenam-Bijela di Mollo-Miomaffo.
BACA JUGA :

“HEL KETA’: UPACARA REKONSILIASI ANTAR-WILAYAH DAWAN

 

Gelombang pendatang baru dari luar, dari Malaka yang dikenal dengan: Sina Mutin Malaka (China Putih Malaka) membawa serta: Hutun Rai Hat-Bobu Rai Hat, Hutun Sina Mutin-Bobu Malaka (Suku empat tanah-rakyat Malaka, Suku China Putih, rakyat Malaka). Rombongan ini di bawah pimpinan: Dato  Makerek dan Dato Badaen. Mereka terdampar di Ninobe Rai Henek mungkin di Makasar-Sulawesi Selatan sekarang, karena kerusakan kapal/perahu bambunya. Setelah beberapa saat tinggal di sana sambil membuat kapal/perahu baru, mereka lalu melanjutkan perjalanannya dan mencapai Larantuka-Flores Timur. Sebagian dari mereka mendarat dan tinggal di sana dan kemudian menjadi nenek moyang bangsawannya. Sedangkan keempat suku itu melanjutkan perjalanan dan mencapai delta sungai Benenain di Oenun-Maubeis. Namun di sana sudah ada penduduk asli orang Belu yaitu: Melus (keturunan Mau Kiak dan Bui Kiak di Marlilu artinya: yang terlebih dahulu kering). Dengan mudah mereka mengalahkan penduduk asli itu dan mulai mendirikan kerajaan dan mengintegrasikan orang Melus ke dalam struktur sosial yang baru.
 
Orang terkemuka dari keempat suku ini adalah: Taek Malaka yang kemudian kawin dengan puteri tunggal Mau Kiak dan Bui Kiak: Hoan Nain Haholek dan menurunkan:
Boki Taek (Neno Biboki, pendiri kekaiseran Biboki yang berpusat di Tamkesi).
Sana Taek  (Usfinit, Neno Maubeis atau Maubeis tuan, pendiri kekaiseran Insana yang berpusat di Maubesi)
 
Natu Taek (Ama Natun, raja yang seluruh tubuhnya berhiaskan emas dan perak dan penguasanya kemudian di kenal dengan: Banunaek, dengan kerajaannya berpusat di Nunkolo).
Nuba Taek (Ama Nuba yaitu: Nuban dan Nubatonis dengan bawahan-bawahannya: Tenis dan Asbanu).
 
Ke empat orang keturunan Taek ini disebut: Moen Ha-Nai Ha di mana Boki Taek dan Sana Taek mengambil isteri dari Belu (Maromak Oan). Sedangkan Natu Taek dan Nuba Taek mengambil isteri dari Mutis.
Penguasa ritual Belu Selatan (Wewiku-Wehali yang berpusat di Laran memakai gelar Maromak Oan (Anak Dewa) turun temurun. Sedangkan penguasa eksekutif adalah yang berasal dari Sina Mutin Malaka memakai sebutan Liurai (penguasa atas tanah). Dan dalam sejarah di kenal tiga Liurai: Liurai Likusaen (Timor Timur); Muskita (Belu Utara); dan Liurai Wewiku Wehali (Belu Selatan). Dan Sonbai adalah adik Liurai di Belu Selatan ini.
Setelah kekuasaan  Liurai Wewiku-Wehali bertambah kuat dan semakin banyak penduduk yang datang dari luar Pulau Timor maka pen
duduk asli Belu ini mulai terdesak ke arah Barat ke Wilayah Atoni hingga Kupang. Hingga sekarang identitas mereka telah membaur dengan kelompok lain sehingga semakin kabur untuk melacaknya. Pelacakan hanya mungkin dengan penelititan intensif terhadap nama/kanaf-kanaf di Timor Barat. Kelompok pendatang berikut disebut: kelompok Sila yang disebut juga: Moen ha-Nai ha (Nunuh keno ha-Baki usaf ha). Sebelum mereka tiba di  wilayah ini, terlebih dahulu dikirimkan serombongan pengintai yang terdiri dari enam orang yang terbagi lagi ke dalam tiga kelompok :


Fahi Sila dan Ifo Sila bertugas menyelidiki bagian Selatan Pulau Timor hingga Kupang.
Lius Sila dan Luku Sila bertugas menyelidiki bagian Utara Pulau Timor hingga Kupang.
Mane Sila dan Anitu Sila bertugas menyelidiki bagian Tengah Pulau Timor hingga Kupang. Kelompok ketiga inilah yang berhasil menemukan tuan tanah asli Pulau Timor (pah tuaf ahunut) di pegunungan Mutis-Bobnain: Tsutai-Kune, (Tsutai Neno=Kesnai?) dan orang-orangnya. Hasil penyelidikan itu kemudian dilaporkan kepada Liurai di Belu maka berangkatlah rombongan mereka menuju Timor Barat. Rombongan itu di bawah pimpinan: Moen ha-Nai ha, yang terdiri dari:
Liurai Sila (kemudian kembali ke Belu dan menjadi penguasa di Wewiku-Wehali turun temurun).

  Sonbai Sila (yang secara turun temurun menjadi penguasa ternama di daerah Atoni mulai dari sekitar Gunung Mutis sampai ke seluruh penjuru wilayah Timor Barat. Kerajaannya adalah: Oenam-Bijela, yang baru diruntuhkan pada jaman penjajahan Belanda.
Benu Sila (Ama Benu, pendiri kerajaan Ambenu, yang terpecah belah pada jaman penjajahan Portugis.
Foan Sila (Ama Foan yang mendirikan kerajaan Amfoan).
Mungkin sebelum mereka datang yang sudah lebih dahulu datang adalah: Besi Uf  (Nai Besi Tlela) dan Jabi Uf (Nai Jabi) yang juga tinggal di Gunung Mutis. Nai Jabi adalah sebutan atau ucapan lidah Atoni terhadap Jawa, yaitu seorang raja yang berasal dari Jawa. Nai Jabi ini apakah tinggalan dari pasukan: Jabas-Bijokis, Bugis Makasar yang ikut serta dengan Sultan Mudafar di bawah panji: Pen pene Makasar-Lub luba Makasar, agaknya belum jelas. Sultan ini dikenal dengan: Kraeng Tallo, penguasa juga dalam kerajaan Goa di Sulawesi Selatan, yang hadir di Timor sekitar tahun 1640-an. Selain itu, apakah Nai Jabi ini termasuk salah saorang pendatang dari Jawa ke Timor yang mencari kayu cendana, juga belum dapat dipastikan. Hanya saja ada ceritera dari Fai Manasi di Maonsasi-Kecamatan Miomaffo Barat kepada penulis bahwa ketika Nai Jabi dan Nai Besi hendak meninggalkan Mutis untuk datang ke Kupang, diadakan sebuah perjanjian dengan penguasa di sana mengenai hubungan perdagangan kayu cendana. Perjanjian itu dibuktikan dengan sebuah lempengan perak disepuh emas dan sebuah timbangan (tnais ma ‘noin bena).

Ada ceritera lain yang kelihatan lebih tua dan berkembang di sekitar Mutis berasal dari kepala desa Tasinifu yaitu bapak Lazarus Thaal, bahwa pengusa pertama di wilayah ini adalah: Sila Manas, Sila Uf. Pada mulanya ia bersama-sama masyarakatnya tinggal di Taktolen, puncak tertingi di Gunung Bobnain. Tetapi karena tidak tahan terhadap derasnya hujan dan kencangnya angin serta cuaca yang sangat dingin maka mereka memutuskan untuk tinggal di Keba-Kuafeus, Bnao Naek Naikaki-Sapa Naek Naikaki (Keba-Kuafeun, kapal/perahu besar Naikaki dan Haik besar Naikaki). Ada beberapa catatan tentang ungkapan ini: 
                  (1) keba adalah sebuah kata yang tidak terdapat dalam pengertian Atoni kecuali nama orang. Tetapi dalam bahasa Jawa, Keba artinya: alun-alun, pelataran atau tempat pertemuan. (2) Bnao Naek-Sapa Naek, menurut ceritera dari masyarakat, dulu ada sebuah kapal/perahu terdampar di lereng gunung Bobnain yang bentuknya seperti Haik/tempat air dari daun lontar. (3) Naikaki berasal dari Nkaki-Nain: menabur tanah atau Nai Makaki artinya tanah yang ditabur. Pada mulanya Kanaf Tnines adalah orang yang ditugaskan oleh penguasa di Keba-Kuafeun itu untuk menyelidiki Taes a’punu-Nifu a’punu (deru laut dan kolam yang bergelora). Dan pada suatu saat, laut menjadi surut dan kolam pun mulai surut tinggal genangan-genangan saja yang dibatasi oleh daratan. Maka ia mengambil abu/tanah (Afu-Naijan) lalu ditaburkan ke dalam genangan-genangan air hingga muncul daratan yang adalah Naikake sekarang. Penguasa di Keba itu dikenal dengan: Tnin Uf (Tnines Nim Belo dan hulubalangnya di sebut: Tnines To Asu). Pada mulanya ia berasal Timur tetapi setelah sampai di Keba-Kuafeun ia dijadikan pelayan istana: a’bena ‘nahe-asium lo’et ahoit ai-apin paku.

Ceritera-ceritera ini kemudian berkembang dan dihubungkan dengan rombongan Gajah Mada yang mendarat dengan kapalnya di lereng Gunung Mutis Bobnain. Dia bersama permaisuri dan para pendampingnya tinggal di Keba-Kuaefun. Sedangkan, kedua orang ajudannya: Pau Malapa dan Pau Malaset dibunuh oleh: Fallo-Fobia dan Kofi-Anunut (Meo-meo terkenal dari kerajaan Uis Kono di Miomaffo). Keduanya dikuburkan dalam gua terpisah yakni di Maonsasi dan Batnes.

Orang kedua dari keturunan Sonbai adalah: Nai Nati, yang juga belum bergelar Sonbai. Pada jamannya, datang rombongan dari Belu: Nai Ebo Belus (Fahi Belek) yang kemudian dikenal dengan: Kono; Kono adalah sebutan nama yang diperoleh setelah melemparkan sebilah tombak tepat pada lubang tiang lumbung serta menembusi tiang itu. Bersama dengan Kono adalah: Nai Iuf Belus (Iuf Belek) yang kemudian dikenal dengan Oematan. Oematan adalah orang yang berhasil mencabut kelewang Sonbai yang ditancapkan di tanah dan setelah dicabut, muncullah satu sumber air.

Sebelum mereka datang, ada dua orang yang diutus ke sekitar Mutis untuk mencari tahu apakah masih ada tempat yang layak huni. Kedua orang itu adalah: Natun-Tamelab yang disebut: Naotnima-Tamelnima. Natun-Tamelab inilah yang kemudian membakar hutan di lereng gunung Bobnain yang disebut: Pahkoto sebagai suatu isyarat/tanda kepada rombongan Kono-Oematan. Rombongan yang datang memboncengi Kono-Oematan adalah Atoin Lulai dan Tub Lulai dari Tonnebawa tepatnya Kamuno Klakam. Keduanya pada suatu waktu ditemukan oleh rombongan Sonbai di puncak Gunung Bifelmnasi (daerah Tunbaba). Namun pendapat lain mengatakan bahwa justru orang-orang pertama di Tunbaba yang kemudian mendirikan kerajaannya adalah: Neti Mataus dan Saku Mataus. Keduanya  kakak beradik yang kemudian menjadi penguasa/raja di Tunbaba yaitu: Ukat (adik) dan Sakunab (kakak).

Nai Nati ini tinggal di Bikauniki yang disebut: Fatu Pup Molo Bikauniki-Haube Pupmolo Bikauniki karena kaya akan lebah yang memenuhi puncak-puncak kayu dan bukit batu. Se
telah Nai Nati, datanglah Nai Lele (raja kebun), yang juga belum bergelar Sonbai. Tetapi dialah yang memperkenalkan padi dan jagung kepada rakyat Timor yang kala itu hanya makan dari hasil hutan (buah-buah dan umbi-umbian). Dalam ungkapannya disebut: To ma tafa alaha nah mate ma niun mate, nah boen fua ma bub fua, nah fia mate ma lali mate (seluruh rakyat Timor hanya makan mentah, makan buah aren/enau dan buah beringin, makan umbi-umbian dan keladi mentah. Menurut hemat penulis, ini suatu taraf kebudayaan masyarakat nomaden, perpindah-pindah dan hanya meramu dan mengumpulkan hasil hutan. Pada jaman Nai Lele, di daerah Atoni sudah berkuasa delapan raja (usif faon-naijuf faon). Kedelapan raja ini telah mendirikan sebuah lumbung bersama tempat pertemuan yang disebut: uim ni fanu lop ni fanu (rumah delapan tiang, lumbung delapan tiang) di Mutis-Bobnain, Fet’in Leolfui yang disebut: Mutis Bobnain, Lemun-Nu’naun, Pipma’um- Sa’tab, Netnonjam-Oela’foan, Fet’in-Leolfui.

Melihat kesengsaraan rakyat Timor yang masih dalam taraf kebudayaan nomaden itu Nailele memutuskan untuk berangakat ke seberang lautan mencari padi dan jagung. Setelah ia kembali ia mengundang ke delapan raja itu untuk berkumpul di Uim nifanu-Lop nifanu untuk membicarakan bagaimana caranya mengajar orang Timor menanam padi dan jagung. Kedelapan raja itu adalah;
-Benu Sila-Foan Sila (Ambenu dan Amfoan).
-Nuba Sila/Taek-Natu Sila/Taek (Amanuban dan Amanatun).
-Besi Uf (Ama Besi-Nai Besi=Kopan) dan Jabi Uf (Nai Jabi-Amabi).
-Koro Uf (Amarasi) dan Tafoe Uf (Semau).

Bersama dengan Sonbai/Nai Lele merekalah yang disebut: Ulan fua faon – Sen-sene fua faon (hujan delapan butir dan hujan es delapan butir). Mereka pulalah yang ikut mengajar masyarakatnya mengerjakan kebun, mengolah sawah dan mengiris/ menyadap Lontar dengan Tofa futu faon-Besi futu faon (alat pembersih rumput delapan ikat dan pisau penyadap lontar delapan ikat).
Pada waktu itu kedelapan raja dari matahari terbit (neon saet) dan matahari terbenam (neno tesan) dari Utara (taes bife) dan Selatan (taes Atoni) mengerahkan masyarakatnya, mengerjakan kebun di: Etu Batnun Bisunimnasi, Lele Batnun-Bisunimnasi. Tempat itu sekarang disebut: Aenmao (dari kata Ane Nmau= padi menjadi lapuk karena melimpah hasilnya). Dalam narasi adat, Aenmao ini disebut: Tua tanoina-lele tanoina (lontar tempat belajar dan kebun tempat belajar). Sebagai tandanya, dibangunlah sebuah altar: baki yang sampai sekarang disebut: Baki Sonbai, dekat Aenmau, semuanya di Kelurahan Nifuboke, Kecamatan Noemuti, Kabupaten Timor Tengah Utara.

Ada beberapa catatan tentang kedelapan raja ini. (1) Benu Sila, Foan Sila, Nuban Sila dan Natu Sila adalah para pendiri kerajaan atau komunitas politis perdana di Ambenu, Amfoan, Amanuban dan Amanatun. Sedangkan keempat raja yang lain Besi Uf-Jabi Uf, Koro Uf dan Tafoe Uf, sebelum mendirikan kerajaan atau komunitas politis mereka semua berada di Mutis-Bobnain. Di satu pihak ada pendapat yang mengatakan bahwa Nai Besi berasal dari Rote. Tetapi dipihak lain, Nai Besi mempunyai hubungan dengan nenek moyang/pendiri kerajaan Kupang: Nai Kopan, yang nama aslinya Tanam Maubeis, yang pada mulanya tinggal di Fatukopa. Sementara Nai Jabi (Jabi Uf) mungkin seperti yang telah diceriterakan di atas. Nai Besi dan Nai Jabi ini tidak jelas kapan mereka datang. Pada suatu saat membuat ulah di Mutis-Bobnain karena mereka tidak mendapat bagian tanah tempat tinggal. Mereka memberontak lalu raja Sonbai dengan orang-orangnya mengejar-ngejar mereka dari Mutis ke Nefo Nai Jabi dekat Faot Koko di Mollo kemudian ke Kupang. Lalu Koro Uf yang berasal dari keturunan Nai Nafi-Rasi (Amarasi) pada mulanya dari Belu Selatan. Kemudian mengambil isteri dari Mutis dan mendirikan kerajaan Amarasi yang berpusat di Tunrain-Bunraen, Buraen sekarang. Dan akhirnya Tafoe Uf (penguasa Semau) dan sebutan lain untuk Nai Kopan, pada mulanya datang dari Timur, tinggal di dekat Maurisu, (wilayah kecamatan Miomaffo Timur Sekarang).

Setelah Nai Lele baru datang Nai Faluk (Falukis Belu) yang setelah beberapa waktu lamanya bertualang, menemukan puteri-puteri Nai Kune. Oleh karena beberapa tindakan yang menakjubkan ia dianggap sebagai putera langit (Neno Anan) dan kemudian mengawini Bi Jili Kune (puteri bungsu). Ketika bersama Bi Jili Kune  menghadap sang ayah, ia disapa dengan Muson’e bai he ntam (berikanlah dia jalan untuk masuk). Apakah dari ucapan Nai Kune ini ia kemudian disebut Sonbai, belum dapat dipastikan. Pada versi lain yang mengatakan bahwa nama Sonbai muncul dari bentuk rumah delapan tiang (Uim ni fanu, lop ni fanu) di Leolfui yang menyerupai perahu atau palungan terbalik. Istana itu oleh masyarakat disebut: Sonaf Bai (istana berbentuk palungan atau perahu terbalik). Bentuk rumah ini untuk pertama kalinya diperkenalkan atau dibangun oleh delapan raja (usif faon-naijuf fauon) yang berbeda dengan bentuk rumah orang Timor asli pada dasarnya bulat (ume suba). Dengan mengawini Puteri Nai Kune, Nai faluk ini adalah orang pertama yang mendirikan kerajaan Oenam di Letasi-Bijela.

Orang kelima dalam dinasti Sonbai adalah: Nai Tuklua. Dia juga penguasa di kerajaan Oenam-Bijela dan karena kesaktiaannya pula, ia disebut: Be’i. Pergi ke istananya, orang mengatakan: Tnao On Sonaf Be’i dan ditafsirkan bahwa nama Sonbai muncul dari ungkapan: Sonaf Be’i (disingkat Sonbe’i) tetapi yang terpenting bagi orang Timor, sebuah nama muncul dari suatu peristiwa istimewa di masa lampau. Pengalaman itu kemudian diaktualisasi dalam sebuah tanda. Demikian halnya dengan nama Sonbai. Pengalaman khusus dan istimewa Nai Faluk ketika berjumpa dengan puteri-puteri Nai Kune, sampai dengan pertemuan dengan sang ayah di istana, yang meminum air dari daun talas mengawali identitas dan kebangsawan Sonbai. Karena setelah meminum air itu berbinar-binarlah seluruh tubuhnya seperti seorang pangeran yang baru turun dari langit. Dari daun keladi ini, sampai turun temurun, dinasti Sonbai menjadikan bentuk daun talas sebagai bentuk cap atau malak untuk hewan: sapi dan kuda. Bentuk daun talas adalah simbol eksistensi kesukuan Sonbai.

Dalam komunitas politis perdana: Kune Uf (mertua Sonbai) adalah: feto (pemberi isteri) dan Sonbai sendiri adalah: mone (yang menerima isteri). Maka kedudukan dan fungsi Kune Uf adalah: Atupas (Kaiser, raja pasif, yang hanya makan, minum dan tidur). Sedangkan Sonbai adalah: Usif (raja aktif, penguasa eksekutif), atau penguasa wilayah luar yang didukung oleh: Kono-Oematan, Mela-Sanam. Atas dasar inilah berdirilah kerajaan Oenam-Bijela yang berpusat  di Letasi-Bijela.

Oenam adalah nama sebuah gunung batu keramat milik keluarga Sonbai yang diagungkan dengan nama Paeneno Oenam (yang artinya: Meo Neno, atau Meo Naek Oenam), pahlawan besar dan ksatria dari Oenam. Sedangkan Letasi-Bijela adalah nama tempat yang dijadikan pusat kerajaan
Oenam. Dan semua keturunan Sonbai selalu disapa: Oenam Tuakin (pemilik dan penguasa Oenam).

Kune Uf, sejak mula dianggap sebagai tuan tanah asli dan penduduk perdana di gunung Mutis-Bobnain. Nama kune tidak menunjukkan sebuah marga, tetapi berasal dari sebuah fungsi, kedudukan dan peranannya sebagai orang yang pertama kali berdiam di Gunung Mutis. Anggapan yang mengatakan bahwa Kune adalah bentuk metathetis dari da Cunha, tidak benar. Nama itu berasal dari Nkuni ma Nai (Nkuin pah ma nkuin nifu, Nai pah ma Nai Nifu). Nkuni berarti menimbun, merangkul dan mengendapkan; sedangkan Nai artinya membagi. Lebih jauh pengertian ini berarti: mengawinkan puteri-puterinya dengan para penguasa yang datang mencari tempat tinggal di sekitar Gunung Mutis. Jadi Kune (Nai Kune), nkuin Sonbai, Kono dan Oematan (mengawinkan puteri-puterinya dengan Sonbai, Kono dan Oematan dan sesudahnya memberi tempat tinggal, wilayah kekuasaan kepada mereka). Kune dan Naif (suku terkemuka di Lemun-Sa’tab) adalah dua pasang suku utama dan asli di gunung Mutis. Lalu Kesnai (Kese Naif ) yang disebut-sebut sebagai penduduk perdana di Gunung Mutis, mungkin saja adalah Kune dan Naifini.

Setelah berdirinya kerajaan Oenam-Bijela, antara Sonbai dan Liurai diadakan pembagian wilayah yang didasarkan pada keturunan, wilayah daratan, pengikut dan perkawinan. Dengan demikian, dua penguasa asli Timor: Liurai di Belu Selatan dan Sonbai di Gunung Mutis (Timor Barat), membagi wilayah kekuasaannya menjadi: Bagian luar (mone) dan bagian dalam (nanan).
Wilayah Liurai meliputi:

Liurai nanan (dalam): (Wewiku, Hatimuk, Dirma dan Lakekein). Sedangkan Wehali adalah tempat tinggal Maromak Oan (penguasa/raja sakral).
Liurai Mone (Luar): (Natu Taek-Amanatun; Nuba Taek-Amanuban; Sana Taek-Insana; dan Biboki Taek-Biboki).
Wilayah-wilayah di bawah kekuasaan Sonbai terdiri dari:

Sonbai Nanan (dalam): Kono-Miomaffo; Oematan Mollo; Babu dan Bifel di bawah kekuasaan Kono.
Sonbai Mone (Luar): Benu Uf-Ambenu; Kune Uf (Mutis); Foan Uf-Amfoan; dan Lasi Uf-Amarasi.
Dan dengan melihat pembagian ini terkesan bahwa otoritas Liurai dan Sonbai di Wilayah kekuasaan masing-masing menunjukkan sistem konfederasi, yang menyatukan kerajaan-kerajaan atau komunitas politis tradisional  yang otonom dan membangun struktur dan sistem kekuasaan sendiri.

Di Let’asi – Bijela, Sonbai mencapai puncak kekuasaan dan kebesarannya. Namun di kemudian hari, penerus-penerus kekuasaan dinasti Sonbai ini harus berhadapan dengan keruntuhannya karena nafsu gila hormat, serakah dan lalim, walaupun selalu dipuja-puja sebagai Neno Anan (putera langit, putera dewata). Peristiwa keruntuhan kerajaan Oenam dalam sejarah dikenal dengan: pemberontakan Letasi-Bijela. Sebab musabab pemberontakan ini adalah Uis Kono, yang adalah pangeran dari Miomaffo dituduh menzinahi isteri-isteri Sonbai. Sementara Sonbai sendiri meminta agar dipersembahkan kepadanya gadis-gadis muda belia untuk melayaninya di Istana. Dari Miomaffo, Bi Taha Lake dan dari Fatule’u adalah Bi Kolo Pitai yang diserahkan menjelang peristiwa pemberontakan. Kono Ana, utusan dari Miomaffo yang ikut ke istanatidak sampai hati menyaksikan tindakan amoral Sonbai di luar perikemanusiaan itu. Namun, Kono Ana-lah yang sebaliknya ditiduh meniduri isteri-isteri Sonbai. Kono Ana lalu ditangkap dan kemluannya dipotong ; buah pelirnya diisi ke dalam senapan tumbuk dan ditembakkan seperti peluru. Hukuman dari raja Sonbai ini menimbulkan kemarahan para penguasa dan seluruh rakyat Miomaffo sehingga memberontak dan menyerang istana kerajaan di Letasi-Bijela. Pemberontakan ini didasarkan pada: Fanu (mantera dan sumpah adat): Tefu Sufan Napau Neno, Uki Napan Napau Naijan (Bunga tebu menikam langit, jantung pisang menikam tanah-bumi). Dari pemberontakan dan penyerbuan ini semua laki-laki di lingkungan istana dibasmi, kecuali seorang bayi laki-laki yang selamat dan dilarikan keluar Letasi-Bijela. Setelah revolusi Letasi-Bijela setiap tahun pulau Timor dilanda kemarau panjang yang mengakibatkan paceklik (kelaparan) yang berkepanjangan. Masalah ini dipandang masyarakat sebagai bencana yang langsung dikaitkan dengan revolusi tersebut karena bagaimanapun Sonbai adalah Neno Anan, anak dewata bagi orang Timor.

Beberapa tahun kemudian, tatkala bayi ini telah menjadi dewasa, penghormatan kepadanya sebagai Sonbai Neno Anan berkembang lagi di Bikauniki, tempat di mana bayi itu dulu disembunyikan. Kemunculan kembali Sonbai di Bikauniki sangat mengejutkan masyarakat di kerajaan Oenam, Miomaffo dan sekitarnya. Masyarakat langsung saja percaya bahwa anak itu adalah penjelmaan kembali Sonbai. Jadi harus ditahbiskan, disucikan, diakui dan dipuja lagi seperti sediakala, karena tidak tahan lagi terhadap bencana kelaparan. Dengan demikian, pusat kerajaan Sonbai berpindah dari Letasi-Bijela ke Bikauniki hingga terjadi lagi revolusi di Bikauniki, Belanda sudah turut campur tangan hingga kerajaan Sonbai runtuh sama sekali setelah perang Penfui November 1749. intervensi Belanda terhadap revolusi Bikauniki berakibat dengan tertangkapnya Sobe Sonbai III bersama Meo Naek: Toko Mella dan Biloto, kemudian dibuang ke Sumba; dan baru wafat pada tahun 1922, dan dimakamkan di Fatufeto. Revolusi di Bikauniki inilah yang menimbulkan perpecahan di dalam keluarga bangsawan Sonbai hingga ada yang berdiaspora mencapai Kupang (Sonbai Nisnoni).

Fanu (mantera dan sumpah adat): Tefu Sufan Napau Neno, Uki Napan Napau Naijan kemudian terulang lagi dalam versi lain antara Belanda dengan Tnin Uf di Keba-Kuafeun. Bahwa setelah Belanda meruntuhkan kekuasaan Sonabi di Bikauniki, ada instruksi dari pihak Belanda yang disampaikan kepada Tnin Uf di Keba-Kuafeun untuk kerja rodi di Batavia. Tnin Uf menolak instruksi tersebut dengan mengatakan : “Au atoni ‘po muti kam ukan ma muplenat kau. Ho mok ho tob ma ho tafa, mbalis bin hopa ma ho nifu. Au ok  ma au tafa ‘balis nbin au pah ma au nifu. Kalu mnao aum ma mtanhai aum, maut he tefbe sufan napau neno, ukje napan napau naijan. Lof keba ma kuafeun, kolbe ntanhaije nuni leu, manbe ntanhaije nuni leu”. Tnin Uf demi bertahan terhadap ancaman serangan Belanda, maka bersama rakyatnya membangun jaan raya naik ke Keba Kuafeun.

Kupang adalah sebuah nana yang berasal dari gelar sorang raja: Nai Kapan. Orang Helo(ng) sendiri menyebut Kupang dengan: Kaisalun yang artinya: kayu cendana. Nai Kopan yang sebenarnya bernama Tanam Maubeis pada mulanya datang dari Belu bersama dengan orang-orangnya. Pertama kali mereka bertempat tinggal disebuah gunung batu yang bentuknya seperti kapal atau perahu (bahkan seperti kapsul) di wilayah Amanuban Timur yang disebut: Faot Kopa (atau Fatu Nai Kopa). Dalam bahasa dawan: Faot berasal dari kata: fatu yanga artinya batu, bukit atau gunun
g. Pengertian “kopa” ini mirip dengan sebuah kata dalam bahasa Rote yaitu Kofan yang juga berarti: perahu atau kapal. Sedangkan Kopa dalam bahasa Tetun artinya perahu atau kapal. Jadi Faotkopa dalam bahasa Tetun dan juga dawan  artinya batu, bukit batu yang berbentuk seperti kapal atau perahu. Setibanya mereka di gunung batu Fatukopa sudah ada penduduk di bawah kekuasaan suku-suku: Fallo-Soinbala. Dan karena ada kehilangan tiga ekor kuda milik penduduk perdana maka orang-orang Nai Kopan dicurigai sebagai pencurinya. Lalu timbullah perang, pertikaian di antara mereka sehingga Nai Kopan dan orang-orangnya dikejar-kejar oleh meo-meo Fallo-Soibala. Mereka akhirnya lari ke arah Barat dan mencapai daerah sekitar Kupang.

Setelah itu Amarasi datang di bawah pimpinan rajanya: Nai Nafi Rasi  (Ama Lasi) bersama dengan orang-orangnya yang kemudian mendirikan komunitas politis/kerajaan Amarasi. Perjalanan mereka berawal dari Belu Selatan, menyinggahi beberapa tempat tinggal sementara di pedalaman Timor dikawal oleh seorang hulubalang Ome Pajarnama. Tempat tinggal pertama rombongan ini adalah: Nonua (sebelah Selatan wilayah Nai Kopan). Pusat wilayah kekuasaan mereka adalah di Tunrain-Bunrain dengan suku terkemuka adalah: Buareni. Kedatangan Nai Nafi Rasi bersama-sama orang-orangnya yang diperkirakan bersama-sama dengan Nai Kopan (Helong) sekitar tahun 1380-an diikuti oleh suku: Soreni di bawah rajanya Nai Pono (Ama Pono)  yang menempati Sumlili (sebelah Barat Bakunase). Apakah dalam perjalanan ini Amarasi pernah singgah di Mutis sehingga memperoleh isteri dari Sila Manas, Sila Unu, di Keba Kuafeu, belum jelas. Dalam versi ceritera lain, Amarasilah yang berhasil mempersunting puteri bungsu Sila Manas, karena dialah yang memenangkan sayembara dengan berjalan di atas seutas benang. Sayembara itu diikuti oleh beberapa raja: Ama Nuban, Ama Natun, Ama Kono, Amfoan dan Ama Benu. Dan yang berhasil dalam dua bentuk sayembara itu adalah: Ama Kono (melempar tombak menembusi lubang tiang lumbung); dan Amarasi (berjalan di atas seutas benang  yang direntang di antara dua ting lumbung).

Dalam bukunya: Trecktochten van Timorese Groepen (Wanderings of Timorese Groups = pengembaraan kelompok-kelompok suku Timor) Middelkoop (1952) menceriterakan tentang kedatangan orang-orang Portugis Hitam (Topasses, Mestizos) yang diterima oleh Nai Besi (Nai Kopan)  dan Nai Lasi  (Amarasi). Atas persetujuan dengan kedua raja ini, orang-orang Portugis Hitam itu mulai mendirikan sebuah benteng (rumah) di bawah pimpinan seorang imam Dominikan bernama Frei Antonio de Santo Jasintho, OP. Sebelumnya memang sudah ada orang Portugis Hitam yagn datang berkunjung kesini, tetapi tidak menetap. Kedatangan mereka diperkirakan sejak tahun 1460. Pastor  Dominikan yang selanjutnya terus berkunjung kesini tetapi  tidak menetap adalah Padre Frei Antonio Taveria, OP. Pembangunan benteng ini dimaksudkan untuk dapat melindungi diri dengan dari incaran  Belanda terhadap Pulau Timor dengan Kupang sebagai pintu gerbangnya. Namun setelah Willem Van der Beeck mengunjungi Kupang pada tahun 1647/1488 ia menemukan hanya sebuah rumah kecil dengan penghuninya tiga atau empat orang. Benteng ini kemudian di beri nama Maadu Lasi  yang artinya perseteruan atau juga berarti pertengkaran. Pertentangan ini telah menimbulkan  perang terus menerus antara Amarasi dengan Kupang  (Helong) hingga kedatangan Belanda tahun 1613.

Secara kronologis para penguasa di Kupang dan sekitarnya dapat diurutnya sebagai berikut: pada mulanya Nai Kopan (Tanam Maubeis); yang diperkirakan bersama-sama dengan Amarasi (Nai Nafi Rasi); menjelang kedatangan Portugis Hitam, Semau datang yang setelah mengganti Nai Kopan  sebagai penguasa menjadi Nai Besi (Ama Besi); Portugis Hitam; (mungkin lebih dahulu datang); Belanda; Mardijkers; Funay (Fonay) di Oepura; BAKi Toamnanu (Baki Nisnoni-yang berasal dari klan Oematan di Miomaffo dan menjadi nenek moyang Nisnoni; Amtaran (Amtiran-Nai Pono, Ama Pono); dan Amabi (Abi Neno) yang kemudian tinggal di Liliba. Selanjutnya pada abad ke-18, berdatanganlah orang Arab dan etnis China, Kisar dan seterusnya membangun/membentuk kota Kupang. (selanjutnya ikuti penjelasan di bawah ini).

Menjelang kedatangan Portugis Hitam Semau datang dengan orang-orang dari sebelah Timur di bawah pimpinan Linssin Bissing sebagai kepala suku utama. Mereka datang melalui Belu Selatan dan bertempat tinggal sementara di bagian Selatan Insana sekarang atau kemungkinan di dekat perbatasan Manlea dengan Noemuti. Setelah sampai di Kupang Linssing Bissing (putera mahkota yagn kemudian mengganti Nai Kopan dengan nama: Nai Bessi, Ama Bessi. Tentang Nai Bessi ini ada versi ceritera lain yang mengisahkan tentang Nai Besi Tlela dan Nai Jabi di Mutis-Bobnain. Pada mulanya mereka tinggal bersama-sama dengan Kune Uf. Tetapi pada waktu pembagian tempat tinggal dan wilayah kekuasaan, seperti halnya Kono-Oematan, Amfoan, Ambenu dan Amarasi, maka kedua-duanya memberontak melawan Nai Kune. Keduanya lalu dikejar-kejar oleh Sonbai dan orang-orangnya. Nai Bessi lari ke arah Barat hingga mencapai Kupang. Sedangkan Nai Jabi dan orang-orangnya lari ke arah Selatan dan menempati gunung Mollo di dekat sebuah danau dan bukit batu yang disebut Nefo Nai Jabi dan Faot Koko. Setelah lama berkeliling, akhirnya ia juga datang ke Kupang dan bersama-sama dengan Nai Kopan mendiami Kiututa-Boinbeti (Bonepoi sekarang)
Pada tanggal 18 April 1613, Apollonius Scotte merebut benteng Hendricus di Lohayong, pulau Solor, dengan dua kapal: Ter Veer dan Halve Maan. Benteng yang mulai dibangun kurang lebih tahun 1500-an dan di dalamnya sudah ada bangunan Gereja dan Sekolah seminari dihancurkan sama sekali dan menjadi pusat otoritas Belanda hingga tahun 1657. Pada tanggal 27 Pebruari 1652, Willem Jacobz datang ke Kupang dan menyaksikan bahwa terdapat kerjasama yang baik antara raja-raja Kopan, Amarasi dan Ama Pono dan membangun benteng di Kupang itu. Namun jauh sebelumnya, Belanda sudah secara teratur datang ke Kupang dalam rangka perdagangan kayu cendana dan Lilin, yang menujuk pada tahun 1632, 1636 dan 1637. Dengan jatuhnya benteng Lohayong (1613) Belanda merasa yakin bahwa mereka akan dengan mudah menguasai perdagangan di wilayah ini. Tetapi dalam kenyataan, harapan dan keyakinan ini terbentur dengan perlawanan gigih baik dari Portugis Hitam maupun raja-raja lokal yang pada waktu itu telah membangun komunitas atau kerajaan yang otonom dan teratur.

Di antara tenggang waktu pembangunan benteng Maadulasi di Kupang oleh Portugis atas dukungan Nai Kopan, Amarasi dan Ama Pono dan kunjungan berkala Belanda, dari Solor datanglah Sonbai Nisnoni (Sonbai bergigi emas). Orang pertama dari Nisnoni yang datang pertama ke Kupang adalah Baki Toamnanu. (seorang keturunan dari suku Oematan). Kaum Oematan di Kupang yang kawin dengan wanita dari Suku Baki menggunakan nama Saubaki (orang yang mengawini Baki, atau menjadikan baki sebagai mertua). Agaknya Baki Toamnanu yang adalah nenek moyang Nisnoni, mempunyai hubungan kekerabatan pula dengan Saubaki di Kupang ini. Keturunan Baki Toamnanu adalah Nai Baki Nisnoni atau Baki Bena Sonbai yang kemudian menerima Belanda untuk mendirikan koloninya di Kupang. Dengan kedatangan Willem Van Der Beeck dan atas dukungan dari keluarga Nisnoni maka benteng yang telah dibangun Portugis itu dengan mudah direbut. Lalu leh Belanda benteng i
tu dibangun lagi pada tahun 1653 dan baru selesai pada bualn Februari 1657, oleh Kapten John Burgens. Benteng itu kemudia diganti namanya menjadi Fort Concordia yang berarti Markas Besar. Sejak Belanda memperkuat kedudukannya di Kupang ditambah dengan dukungan dari Nisnoni; karya misi Posrtugis Hitam tersingkir keluar Kupang bersama keruntuhan benteng Maadu Lasi. Misalnya, pada tahn 1630, Friar Luis dengan Faizao, seorang misionaris Dominikan yang datang ke Kupang untuk mengunjungi Ama Pono, salah satu dari kedua penguasa Helong yang memohon untuk dibabtis. Namun , ia ditangkap oleh Nisnoni dan di bunuh.

Dalam bulan Agustus 1657 Belanda mulai memindahkan hoofd kantoornya dari Fort Hendricus di pulau Solor ke Fort Concordia di Kupang. Orang-orang Belanda yang datang ke Kupang waktu itu terdiri dari para pejabat pemerintah, tentara, padagang dan pendeta (penyebar agama Protestan Calvinis). Penduduk Kupang waktu itu terdiri dari rakyat Nai Kopan, (Semau, Helong, Funay, Amabesi, Amabi,………(hal 42) serta Nisnoni, Saubaki dan orang-orang Belanda).
Pada waktu itu terjadilah wabah demam Timor (Mena Pe’u) yang menyerang masyarakat Nai Kopan dan orang-orang Belanda tanpa pandang bulu. Wabah malaria atau demam Timor itu sangat ditakuti karena memakan banyak korban jiwa. Kupang (kopan) waktu itu dirasakan seolah-olah neraka karena wabah ganas itu. Orang Belanda sendiri mengatakan Timor Ligt aan dengan overkant van der graf (Timor terletak di seberang liang kubur). Karena kalau mulai terserang pilek dan demam panas di malam hari sudah pasti akan menjadi mayat di pagi harinya. Nai Kopan segera meminta bantuan Belanda untuk memindahkan rakyatnya   ke Pulau Semau. Lalu diadakan suatu permufakatan di Oelnunah yang kemudian berubah nama menjadi Oemanba’an-Oebaan dan akhirnya Oeba yang artinya mata air tempat memberi pesan dan kesan. Rombongan yang berangkat ke Semau dilepaspergikan di Namosain yang sebenarnya berasal dari Mnao Musain (pergi menghantar ke tengah jalan).

Belanda menempati benteng Concordia sebagai markas besarnya. Nai Kopan/Nai Besi yang mulanya bertempat tinggal di Kiututa-Boinbeti (Bonepoi sekarang) berpindah dan tinggal di kantor daerah sekarang. Nai Jabi berpindah ke Liliba sedangkan Nisnoni menempati Bakunse (Noah tunafinit-puah tunafinit, Lilo-Baoknaes, Kopnam-Olain). Funay dan Saubaki menempati Oekana-Faotkan: Oepura (sumber air dari Tua Pura) yang juga berasal dari Timur. Selanjutnya danag pula irang-orang Arab dan menempati daerah pantai Oeba. Setelah datang  orang-orang dari Kisar dan juga Mardijkers (pasuka pembantu Belanda), dan orang-orang China, maka orang-orang Arab ini berpindah ke daerah sekitar Airmata hingga sekarang.

Walaupun diterima oleh Nisnoni, kehadiran Belanda di Kupang tidak mendapat simpati dari raja-raja lain di Timor Barat. Misalnya dalam tahun 1651, Komandan benteng Hendricus di Solor Adrian Van de Volte memimpin pasukannya memasuki Kupang. Namun ia ditangkap dan dibunuh oleh Don Matheos da Costa (pemimpin Portugis Hitam). Raja-raja yang paling gigih melawan Belanda adalah Sonbai (Sobe Sonbai II dan III, raja dari Kerajaan Oenam Bijela dan kemudian Bikauniki); Don Alfonso (raja kerajaan Amarasi) dan kerajaan-kerajaan lain di seluruh Timor Barat yang sudah bekerja sama dengan Portugis Hitam. Dalam tahun 1659 pecahlah perang Amarasi di mana Amfoan, Amabi, Amanuban dan Ambenu membantu Amarasi melawan Belanda yang lengkap persenjataannya. Namun dalam perang itu, kekalahan tidak dapat dihindarkan dari pihak Belanda sehingga terpaksa harus mundur sampai ke Eerste Paal (paal satu) di sekitar Kupang Barat. Kekalahan inilah yang justru mendorong Belanda untuk mencari bantuan pada orang-orang pribumi (Rote, Sabu, Timor dan Solor). Yang kemudian di kenal dengan sebutan Mardijkers (orang-orang merdeka).

Perlawanan Portugis Hitam dan raja-raja Timor Barat menentang Belanda di Kupang berpuncak pada perang Penfui, bulan November 1749. Portugis Hitam di bawah pimpinan Letnan General Gaspar da Costa dan pasukan kerajaan-kerajaan lokal berjumlah sekitar 40.000 pasukan. Pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Mone Kana (pasukan mardijkers) dan pasukan Belanda semuanya berjumlah beberapa ribu orang. Namun apa daya, Belanda dengan persenjataan yang lengkap berhasil membasmi pasukan gabungan Portugis Hitam dan raja-raja Timor. Letnan General Gaspar da Costa sendiri akhirnya mati terbunuh di Pahluman di wilayah Amarasi. Dan perang Penfui mengakhiri sudah dominasi Portugis Hitam atas Timor Barat dan selanjutnya masing-masing raja di Timor Barat ini berjuang secara sendiri-sendiri, sehingga mudah di adu domba oleh Belanda.

Berhubung dengan segala kekejaman Belanda yang melampaui batas perikemanusiaan maka pada tahun 1752, raja Amarasi dan rakyatnya memberontak melawan Belanda. Pasukan Belanda menyerang dan berhasil menundukkan Amarasi di Banteo atau Pahluman. Bagian wilayah yang dulunya direbut dari raja Helong dirampas kembali oleh Belanda dan dibagi-bagikan kepada keempat raja baru di sekitar Kupang yang menjadi sekutu setia Belanda. Raja Amarasi bersama puteranya dan beberapa orang hulubalangnya ditangkap dan dikurung dalam Straf Kwartier (penjara) di Kupang, yang bagi rakyat Amarasi di sebut Kartel. Menurut ceritera dari bapak Alfons Nisnoni (bekas raja Kupang) raja Amarasi yang tertangkap itu dihukum mati dengan kepalanya di pancung dalam Kartel. Raja Kupang yang berkuasa waktu itu lalu meminta Belanda agar jenasah raja Amarasi diserahkan kepadanya untuk dimakamkan di pekarangan Sonaf raja Kupang di Kuafeu, di Bakunase. Dan sebagai balas jasa  dan tanda terima kasih dari rakyat dan raja Amarasi, dihadiahkan kepada keluarga Nisnoni sebidang tanah di desa Oematmuti (yang terkenal dengan Saha) di wilayah Kerajaan Amarasi. Letaknya kurang lebih 6 Km sebelah Selatan kota Baun dan sampai dengan saat ini masih tetap dimiliki dan dikuasai keluarga Nisnoni. Sesudahnya putera raja dibebaskan dan di angkat sebagai raja. Tetapi kemudian membangkang lagi dan tetap memusuhi Belanda. Pada tahun 1843 Belanda terpaksa kembali menyerang Amarasi dan berhasil menundukkannya; lalu ditempatkan seorang Posthouder (setingkat camat) guna mengawasi gerak-gerik raja.

 

Kepustakaan
Dillistone F.W.: Daya Kekuatan Simbol. The Power of Symbols. Pustaka Filsafat. Kanisius Yogyakarta 2002
ErckenbrechtCorinna. Traumzeit. Di e Religion der Ureinwohner Australiens. Kleiner Bibliothek der Religionen. Band 8. Diedit oleh Adel Theodor Khoury.  Herder, Freiburg 1998.
Eliade Mircea. Das Heilige und das Profane. Vom Wesen des Religioesen. Insel. Frankfurt am Main 1990.
EliadeMircea. Patterns in Comparative in Religion. Sheed and Ward, London 1976.
< b>Eliade Mircea: Die Religionen und Das Heilige. Elemente der Religionsgeschichte. Insel. Cetakan kedua. Frankfurt am Main 1989
Sawu A.: Koroleilei: SKM DIAN, 34 / XXVII/ 20-26 Agustus 2000, 9

 

Baca Juga  Tiga Hari di Nusa Bungtilu (Bagian 2)

Tinggalkan Balasan