Mendidik APA ADANYA bukan ADA APANYA, Keunikan Pribadi dan Perspektif Pendidikan dari Pemikiran Karol Wojtyla
Oleh RD. Patricius Neonnub, M.Phil – Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Terbit sebagai salah satu artikel dalam Menyisir Kenangan Menyusur Zaman, Ed. Yasintus Runesi, Mario Lawi, Perkumpulan Komunitas Sastra Dusun FLobamora, Kupang: 2024
Pendahuluan
Antropologi membahas manusia dan kepribadian manusia. Sejak dulu, para ahli telah bekerja keras untuk menjelaskan tentang manusia sebagai individu, makhluk berbahasa, makhluk dialektika, dan sebagainya. Tujuannya adalah mencapai pemahaman maksimal tentang manusia. Bahkan, filsuf Jacques Maritain menyatakan bahwa “seorang manusia adalah keseluruhan yang terbuka dan murah hati.”(Maritain, 1947, p. 64) Perlu diakui bahwa ini bukan tugas yang mudah.
Saat mencari pemahaman tentang manusia secara menyeluruh, para ahli harus menghadapi perdebatan eksistensial dan tantangan epistemologis. Penting dicatat bahwa usaha dari konsep awal hingga ide-ide terbaru dalam Filsafat, Antropologi, Psikologi, dan disiplin ilmu terkait tidak memberikan jawaban pasti. Mereka tidak dapat memberikan gambaran yang jelas tentang siapa sebenarnya manusia, melainkan lebih kepada postulasi yang memberikan gambaran umum tentang subjek yang sangat kompleks ini.(Kostiuchkov & Kartashova, 2022)
Dalam sudut pandang ini, tulisan ini berusaha menganalisis salah satu pendekatan ini dengan memaparkan pemahaman menyeluruh tentang manusia, sebagaimana diungkapkan oleh pemikiran filsuf Karol Wojtyla. Wojtyla melihat individu manusia sebagai satu-satunya yang memiliki kemampuan untuk merenungkan kehidupannya sendiri, memiliki otonomi.
Dia juga membedakan manusia dengan kemampuannya untuk memberikan makna pada sesuatu, menggunakan bahasa, dan membentuk pemahaman kognitif tentang realitas. Oleh karena itu, manusia dapat mengalami perubahan dan transformasi yang berkelanjutan seiring perubahan dalam lingkungan sekitarnya(Gella & Gella, 2021).
Pemahaman ini memiliki signifikansi besar bagi masyarakat secara umum, karena pribadi seseorang menjadi titik acuan untuk memahami tempat individu itu dalam dunia. Di sini, perhatian khusus diberikan kepada manusia kontemporer, yang menjadi fokus penting dalam berbagai aliran pemikiran saat ini. Kontribusi ini menekankan pemahaman bahwa realitas manusia memiliki perbedaan dengan realitas benda dan hewan.
Ini berarti bahwa manusia tidak dapat disederhanakan menjadi sekadar satu spesies individu, seperti yang dijelaskan dalam Filsafat Yunani kuno dan Filsafat Modern. Pada saat yang sama, pribadi manusia berperan sebagai subjek dan objek dari tindakan.(Wojtyla, 2021)
Konsep pribadi (persona) dipahami, sesuai dengan ide Boethius, sebagai entitas yang memiliki substansi dengan kualitas rasional dan individual. Boethius menyoroti bahwa setiap individu dibentuk oleh sifat rasional yang benar-benar membawa substansi individu, yang bersifat konkret dan non-subyektif, eksis dalam dan dengan dirinya sendiri(Burgos & Allen, 2018).
Dalam setiap manusia, individualitasnya adalah bagian dari kepribadiannya yang membentuk materi, yakni tubuh yang diberi kehidupan oleh roh. Oleh karena itu, “pribadi manusia adalah satu kesatuan; suatu keseluruhan, dan bukan bagian dari keseluruhan.”(Bertens, 2018, p. 28)