Oleh : Rd. Anselmus Leu, Lic.Theol
Daftar Isi
Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Perjalanan pertanian modern, konvensional yang sarat dengan pupuk kimia dan pestisida (agrokimia) di seluruh dunia termasuk Indonesia dan termasuk pula “Pah Meto” dalam kurun waktu 40 tahun ini ternyata telah membunuh bumi dan kaum tani.
Hal ini diungkapkan dalam Konferensi Internasional Pertanian yang diadakan di oleh PBB (FAO) di kota Den Bosch, negeri Belanda pada tahun 1991, sebagai persiapan KTT Bumi di Rio de jeneiro, 1992 (Brasil).
Permasalahan-permasalah pokok yang dibahas dalam KTT Bumi di Rio de Jeneiro tahun 1992 yang disebut dalam Agenda 21 yang terkenal itu ialah
Konferensi tersebut menghasilkan Deklarasi Den Bosch yang menyarankan “Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lestari”.
(1) Pemanasan bumi; (2) Perlindungan terhadap aneka ragam sumber hayati (biodiversity) dan pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lestari berikut Pola Produksi dan Konsumsi Lestari.
Yang penting ialah dalam KTT Bumi semua pihak berusaha mencari etis, moral dan spiritual relasi: Manusia, Bumi dan kegiatan Ekonomi.
Dengan lain kata: Hubungan Tuhan, Manusia, Bumi dan Kegiata Ekonomi harus mejadi prioritas pembangunan.
Revolusi Hijau dalam jangka pendek telah berhasil mengupayakan swasembada pangan melalui budidaya pertanian yang sarat agrokimia.
Sudah saatnya kini kita beralih pada pembangunan pertanian yang berwawasan lingkungan dengan pelbagai pola produksi dan konsumsi lestari serta memberi perhatian pada aneka ragam sumber hayati.
Karena dalam kenyataannya oleh revolusi hijau bibit padi asli petani telah banyak dipunahkan diganti dengan IR (berasal dari IRRI –International Rie Research Intitute, Filipina).
Dari poligens menjadi monogenes yang sangat riskan dan merusak lingkungan, sekarang dikembalikan lagi ke Poligenes yang melestarikan lingkungan.
Kearifan para petani tradisional yang akrab dan bermitra dengan alam perlu digali dan diteliti kembali (penggunaan pupuk kandang, pupuk hijau, pupuk kompos, varietas lokal/asli dsb).
Tanpa mengurangi pentingnya peneltian ilmiah, alam sendiri menjadi guru yang bijak.
Upaya-upaya Menyikapi Pasar Bebas dan Pemberdayaan masyarakat Tani
Pasar bebas buah GTTT dengan International of Labor sebagai falsafah dasar para Goliat bisnis, tidak akan bermurah hati pada para Daud kecil, para petani, nelayan, peternak dan sebagainya. Namun apakah kita hanya tinggal pasrah dan taat begitu saja?
Untuk ini dibutuhkan terobosan-terobosan alternatif demi pemberdayaan masyarakat tani di “pah Meto”.
Pangan terkait erat dengan kuasa, budaya, dan berdayanya masyarakat. Untuk itu diharapkan bisa dibangun sistem pengadaan pangan yang memperkuat asas swadaya masyarakat: Oleh masyarakat, dari masyarakat, dan untuk masyarakat.
Dalam masyarakat desa prose situ berkembang melalui asas musyawarah. Pada akhirnya masyarakat tani sendirilah yang harus menjadi protagonist, pemeran utama dalam upaya pemberdayaan diri. Menjadi jelas bagi kita bahwa betapa penting sektor pertanian dalam mengupayakan swasembada pangan dalam era industrialisasi ini.
Namun upaya tersebut jarang sampai mengurbankan petani dan lingkungan. Dengan kata lain membangun pertanian dan pedesaan lestari (pertanian berwawasan lingkungan) dalam rangka swasembada pangan dan pemberdayaan masyarakat tani. Swasembada pangan jangan dimengerti sebagai hanya swasewmbada beras, tetapi bersama jenis-jenis makanan lain yang ekwivalen dengan berasa sebagai sumber zat tepung, seperti jagung, sagu, ubi dan sebagainya.
Diversifikasi makanan pokok khas masing-masing daerah tetap dipertahankan dan dikembangkan. Swadaya masyarakat menjadi faktor penting swasembada pangan.
Untuk membebaskan petani dari ketergantungan terhadap bibit, pupuk dan pestisida perlu diupayakan tumbuhnya bank-bank bibit local (tempat pengumpulan jenis-jenis padi local/asli.
Untuk itu dibutuhkan kebun uji coba (trial farm), alih teknologi dari para ahli bibi untuk menumbuhkan pembibit-pembibit local di pedesaan di “pah meto”. Untuk itu para ahli diharapkan berperan serta dan LSM bisa berperan serta dalam dukungan dana.
Dengan menemukan kembali kemampuan dalam hal pengadaan bibit asli sendiri masyarakat desa di “Pah Meto” lambat laun akan semakin bisa mengurangi ketergantungan pada pupuk-pupuk kimia dan pestisida yang dampaknya dalam revolusi hijau sangat negative baik bagi bumi maupun kaum tani sendiri.
Pertanian Lestari/Organik (Pertanian Berwawasan Lingkungan), Pertanian Masa Depan
Pertanian lestari/organic akan semakin meluas di dunia bukan hanya demi hasil bumi dan makanan yang aman dan bermutu, tetapi juga demi keselamatan manusia dan masyarakat termasuk lingkungan (holistic).
Pelestarian lingkungan kini semakin disadari sebagai kewajiban moral. Oleh karena lingkungan kini semakin disadari sebagai kewajiban moral. Jadi, gerakan pertanian lestari bukan hanya semata gerakan sosial-ekonomi tetapi sekaligus gerakan moral.
“Malapetaka yang besar dalam sejarah manusia” demikian Wendel Berry dalam bukunya, A Continuous Harmony, “karena manusia mengasingkan kesucian dari dunia, mengasingkan Tuhan dari ciptaan-Nya.
Dengan hati dan pikirannya manusia bisa berdoa dengan tenang ke Surga tetapi seraya tangannya membunuh bumi dan sesama”
Sumber
1. Arturo Paoli, Meditation on Saint Luke (Maryknoll, N.Y.,: Orbis Books, 1977.
2. COMPASION di dalam The Encyclopedia of Jewish Religion, R.J. Zwiwerblowsky, 28 (N. Y. Holt, Rinehart and Wiston, 1965).
3. Hermen E. Daly, Toward a Steady State Eonomy (San Francisco: W.H. Freeman &o., 1973)
4. J.H.Boeke, Eonomi Poliies of Dual Soieties, AMS Press, Inc. New York, N.Y. 1978
5. Jose Miranda, eksegit Amrika Latin, di dalam Marx and The Bible (Maryknoll. N.Y.: 1977).
6. Musicus Anton Weber, dalam karya musiknya yang berjudul “Armer sunders, du” (Opus 17, Webern).
7. Sritua Arief, “Globalisasi dan Kita”, Majalah REfleksi, 01(XIX/Maret/1996
8. PITY” di dalam The Universal Jewish Encyclopedia, ed. (N.Y,: KIAV Publisher, 1969.)
Watkins, K., Fixing the Rules: North Saouth Isseues in International Trade an The GATT Urugyay Round, Catholich Institute for International Relations, London, 1992.
Penulis : Imam Katolik, Pastor Paroki Sta. Helena Lili – Camplong, Kab. Kupang