Kebebasan dalam Pendidikan dan Merdeka Belajar ala Mas Nadiem
Oleh : Patricius Neonnub, L.Ph (Dosen Fakultas Filsafat Agama Unika Kupang)
Penindasan di dunia pendidikan sulit berakhir sebagaimana terlihat dengan munculnya berbagai problem pendidikan yang tidak terselesaikan. Kebijakan Ujian Nasional, komersialisasi pendidikan yang tersistematis, hingga masalah kekerasan dalam pendidikan adalah bentuk ketertindasan.
Sepertinya dunia pendidikan kita menutup mata akan adanya konsep pendidikan Paulo Freire. Dia adalah salah satu tokoh pendidikan Brazil yang diakui dunia karena prestasinya. Melalui karya pemikirannya tentang pendidikan, Freire mampu mengangkat dunia pendidikan Brazil yang sempat terpuruk.
Paulo Freire walaupun tidak memiliki latar belakang keilmuan di jalur pendidikan, akan tetapi ia banyak belajar tentang filsafat bahasa dan pendidikan secara mandiri. Jika ditelisik, genealogi pemikirannya lahir dari persentuhan pengalamannya sehari-hari dan masa saat penjajahan di Brazil. Pada masa 1929, Brazil dan negara-negara di sekitarnya dihantam oleh amuk gelombang yang namanya krisis ekonomi.
Freire sendiri mengalami secara langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa itu, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan ikut membangun pandangan dunia pendidikannya yang khas.
Kritik pendidikan yang dilancarkan oleh Freire meliputi beberapa poin utama di antaranya: kegiatan pendidikan yang ada lebih berorientasi menjadikan murid sebagai pekerja bukan sebagai insan terdidik. Sehingga pendidikan tak lagi dipandang sebagai subjek kemanusiaan, tetapi malah diproyeksikan untuk mencetak orang-orang pekerja yang hanya dimanfaatkan untuk nilai tambah ekonomi dan produksi.
Kemudian, pendidikan juga dipandang sebagai alat pengukur struktur sosial masyarakat. Ia dijadikan sebagai kontrol, maksudnya, pengetahuan-pengetahuan yang diberikan oleh penjajah kolonial mengontruksi alam sadar seseorang dan menegaskan mereka sebagai individu yang terjajah.
Gaya pendidikan ala kolonial ini yang dikecam keras oleh Freire, karena niatnya tak murni lagi untuk memanusiakan manusia. Akan tetapi, sekolah sebagai ruang pencerdasan ini hanya dijadikan untuk kepentingan lumbung para penjajah. Tidak ada yang namanya saling tukar aspirasi, alih-alih memerhatikan kesejahteraan rakyat yang dijajah. Sama sekali tidak ada.
Agenda-agenda seperti pengaburan nilai dan budaya juga digencarkan oleh kolonial. Mengapa hal ini dilakukan? Sebab hanya dengan cara inilah dia—seorang hasil didikan kolonial— akan kehilangan jati dirinya. Sehingga ia akan asing dengan dirinya sendiri, teralienasi di lingkungan masyarakatnya dan mengakibatkan ia tumpul tak bisa berbuat apa-apa.
Konstruksi yang sedemikian ini makin melanggengkan asumsi superioritas para penjajah dan inferioritas bangsa terjajah. Lalu, apa yang mesti diperbuat? Atau bagaimana seharusnya sikap yang mesti diambil?
Pertama, pendidikan haruslah dipahami sebagai ajang komunikasi dua arah yang dialogis dan setara. Tidak ada yang namanya otoritas sumber pengetahuan yang absolut. Guru tidak dipandang sebagai satu-satunya ladang informasi. Sedangkan murid hanya sebagai gelas kosong yang tak punya pikiran dan hanya boleh menerima. Murid tak lebih dipandang secara picik sebagai objek yang harus dicerdaskan.
Akibat buruk adanya klaim memperadabkan para siswa ini akan menimbulkan kesadaran kolektif adanya yang kuat dan yang lemah, dan adanya subjek dan objek.
Selain itu, dampak pendidikan yang oleh Freire disebut ‘ala bank’ akan berujung pada kejumudan dan impotenitas, dalam artian ia tidak mampu melakukan proses reproduksi pengetahuan disebabkan tidak adanya dialektika yang berjalan dan akhirnya mudah dikuasai oleh mereka yang dianggap berpengetahuan.
Ada sentilan begini “Orang miskin dilarang pintar” kalimat satire ini aslinya hendak membongkar tujuan asli pendidikan. Bahwa pendidikan adalah hak bagi siapa saja, ia tidak diperuntukkan untuk orang-orang berpunya belaka.
Baik yang kaya maupun yang miskin, baik bagi konglomerat maupun orang melarat, semuanya layak mencicipi pendidikan. Pendidikan tak mengenal status sosial, ras maupun jenis kelamin.
Jadi akses pendidikan haruslah dibuka selebar-lebarnya dan tidak dijadikan seperti tempat wisata, hanya yang punya uang yang boleh masuk.