Krisis Ekologis : Suatu Masalah Moral

OPINI73 Dilihat
romo ansel leu
*Oleh : Rd. Drs. ANSEL  LEU, Lic.Theol.

KRISIS EKOLOGI: SUATU MASALAH  MORAL                  

Krisis ekologi merupakan suatu persoalan moral. Orang Kristen harus menyadari bahwa tanggungjawab atas keseimbangan tatanan ciptaan adalah unsur esensial iman. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat diterima kalau merusak tatanan alam yang berkelanjutan. Demikian pesan Sri Paus Yohanes Paulus II pada perayaan perdamaian sedunia, 1 Januari 1990.              

Untuk itu sesungguhnya kita membutuhkan laki-laki dan perempuan yang sungguh-sungguh berjiwa religius dalam menghadapi seluruh lingkungan alam semesta.

Mereka adalah orang-orang yang rela berjanji setia menjawab belas kasih Allah mempelainya secara luas dan mendalam sampai pada seluruh alam ciptaan-Nya.

Itu berarti mencintai,  menghormati, menjadi pramugari yang baik, singkatnya menjadi berkat bagi seluruh lingkungan hidup demi kelestarian dan pengembangannya.

Baca Juga  Mencegah Bola Liar Isu Pemotongan TPP Guru di Kabupaten Kupang (Catatan Redaksi)

“Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” diperdalam dan diperluas pada semua makhluk ciptaan Tuhan besar atau kecil; yang sebagai ciptaan Tuhan menjadi sesama manusia.

“Teladanilah cara hidup St. Fransiskus dari Asisi; manusia adalah saudara semua makluk  Ciptaan Allah di  dunia ini”.

Demikian pesan Paus Yohanes Paulus II yang telah menjadi orang Kudus dalam tradisi iman Gereja Kristen Katolik.              

Memang pewahyuan Kristen acap kali dijadikan biang keladi krisis lingkungan hidup. Sangat disayangkan bahwa kesaksian iman alkitabiah acap kali hanya diartikan semata-mata pada dominasi manusia terhadap alam semesta.

Allah meniptakan segala sesuatu baik adanya. Akan tetapi mengapa di mana mana  ada hal ‘yang tidak baik”.              

Menghadapi krisis lingkungan hidup dewasa ini, setiap kaum beriman dipanggil untuk bersama-sama berpartisipasi dalam kedatangan Kerajaan Allah; bersama-sama bangkit menghayati imannya dengan segenap hati, segenap budi dan dengan segenap kekuatannya, seperti digambarkan dalam Kitab Suci. “Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu.

Baca Juga  Asal Usul Kerajaan AMANATUN

Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya itu” (Kej. 2: 2-3). Dan “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik”.              

Semua ciptaan Tuhan, termasuk manusia, diberkati bersama agar masing-masing menjadi berkat satu dengan lainnya. Tuhan menciptakan, memberkati (bara, kata kerja dari berkat; bara juga berarti menciptakan (bahasa Ibrani)  setiap makluk untuk menjadi berkat bagi orang lain. “Just to be is a blessing” demikian harapan Abraham Heshel, seorang teolog Yahudi.              

Baca Juga  Kebebasan dalam Pendidikan dan Merdeka Belajar ala Mas Nadiem

Dalam konteks itu kita mengenal Yesus yang lahir dan bertumbuh dalam suatu lingkungan hidup tertentu. Ia tidak berkembang sendirian. Ia diasuh, dididik dan diarahkan. Singkatnya, Ia berkembang di dalan dan oleh lingkungan.

“Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Luk 2: 52).              

Yesus memaklumkan dan melaksanakan hukum Tahun Belas kasih Tuhan (Tahun Yubile) dalam pelayanan dan kehidupan-Nya sendiri. Proklamasi Kerajaan Allah yang didatangkan oleh Yesus Mesia sekaligus merupakan proklamasi Tahun Belas kasih Tuhan untuk selama-lamanya.

Ini berarti dimulainya era baru, Sabat baru (Bdk. Kejadian 2: 2-3) yaitu dipulihkannya hubungan baru antarmanusia dan hubungan baru antarmanusia dengan alam semesta (Rm 8: 18-22).