Sastra Lisan Atoni Pah Meto (atoin meto)

BERITA111 Dilihat

Berikut ini beberapa bentuk sastra lisan dalam Bahasa Atoin Meto [bahasa Dawan, Uab Meto, Uablaban] yang dikumpulkan oleh Pater Andreas Tefa Sawu, SVD

  1. Nu’an.
Nu’an adalah cerita-cerita lisan berbentuk prosa yan mengisahkan tentang tempat, manusia dan peristiwa yang terjadi di masa lampau atau jaman dewa-dewi (In primeval times-afi unu). Nu’an sama dengan ceritera-ceritera mitis dan legendaris yang tidak ada kepastian tentang waktu berlangsungnya karena melibatkan peranan nenek moyang, dewa-dewi dan kekuatan gaib yang mengendalikan hampir seluruh proses.
Beberapa Nu’an dan sastera lisan Atoin Meto seperti:
Nu’an tentang munculnya tanaman padi, jangung, kayu cendana, lilin dan tanaman-tanaman lain yang bertumbuh dari jasad Bi Laof Le’u Sonbai yang dibunuh oleh saudara-saudaranya demi menyelamatkan Atoin Meto dari kelaparan. Sebelumnya masyarakat/Atoin Meto hanya makan dari hasil hutan dan kemurahan alam (Nah maet-niun maet, nah boenfua ma bubfua, nah fia mate ma lali mate). Lalu dengan ini Atoin Meto mulai naha mtasa-ninu mtasa, ntof lele ma nlel tua. Artinya mulai mengenal api, memasak makanan dari hasil kerja kebun dan pengolahan sawah.
Nu’an tentang Bikomi yang muncul dari nama: Bi Komi Sanak. Saudari Taupik  Sanak ini berubah rupa (beremanasi) menjadi buaya yang kemudian disembah sebagai pelindung tanah  dan masyarakat manusia Bikomi.
Nu’an tentang perjalanan Fatu Sinai (Sebuah batu karang putih di tengah laut Oepoli-Amfoan Utara. Dalam ceriteranya dikisahkan bahwa batu ini pada mulanya berada di Supul-Oelet dekat Niki-Niki. Tetapi karena setiap tahunnya hanya diberi korban kambing dan ayam maka ia menjadi marah dan pergi ke bagian Barat melalui wilayah Mutis.
Nu’an tentang Faotkopa (Sebuah gunung berbentuk kapal di wilayah Amanuban Timur). Gunung ini dikisahkan berasal dari sebuah kapal yang terdampar.
Nu’an tentang Ni Neonbali (Balineno) seorang manusia bertubutuh besar dan tinggi seperti raksasa yang menyelamatkan umat manusia dengan memisahkan langit dan bumi.
Nu’an juga dapat merupakan ceritera mithis tentang kepahlawanan (epos), dunia binatang (fabel) dan legende (tentang terjadinya sesuatu tempat). Nu’an pada prinsipnya merupakan ceritera-ceritera mithis yang terjadi di luar konteks sejarah. Sesuatu yang terjadi di jaman prasejarah.
2. Pi’ot
Pi’ot adalah ceritera tentang sejarah masa lampau yang walaupun berhubungan dengan nenek moyang namun masih dapat diperkirakan waktu dan tempat terjadinya. Bagi masyarakat Atoin Meto, Pi’ot hanya diperbolehkan pada orang tertentu yang mendapat restu dan pengakuan adat atau menerima kharisma untuk berceritera. Dalam bahasa Atoni/Laes Meto ceritera seperti ini disebut: Pio Pah ma Pio Nifu (Ceritera tentang tanah, wilayah dan manusia sebagai subyeknya). Penceritera (Api’ot) haruslah orang tertentu yang dapat berceritera dengan benar, jujur dan tidak terputus-putus karena ceritera itu sendiribersifat sakral. Penceritera harus dapat membedakan di jalur mana ia berada, dan berceritera agar tidak terkena sanksi adat berupa bencana, malapetaka dan kematian. Jalur-jalur ceritera itu disebut: Lal Usif (Jalan raja-raja) dan Lal Naijuf (Jalan/jalur tuan-tuan tanah). Misalnya:
= Pi’ot (ceritera) tentang awal mula kedatangan Liurai-Sonbai dan suku-   suku ke Timor Barat.
= Pi’ot (ceritera) tentang kepahlawanan Sonbai dan raja-raja lain di Timor Barat malawan kaum penjajah (Portugis dan Belanda).
= Pi’ot (ceritera) awal mula terbentuknya sebuah kerajaan (seperti Oenam Bijela, Amarasi, Amfoan, Ambenu, Kupang dan sebagainya).
= Pi’ot (ceritera) tentang sesuatu peperangan disertai sumpah adat (Fanu) yang diucapkan agar sampai turun temurun tidak boleh dilanggar. Misalnya: Manekat Oni-Mabun di Noemuti yang diceriterakan dengan sangat hati-hati atau hanya dibisik-bisikkan saja.
= Pi’ot (ceritera) tentang kebengisan raja Sonbai yang menyebabkan timbulnya Perang Letasi-Bijela dan Perang Bikauniki dengan Fanu: Tefu sufan napau neno, uki napan napaun naijan = bunga tebu menikam langit dan jantung pisang menikam tanah). Konon, Sonbai turun temurun yang kejam mengorbankan manusia pada upacara persembahan hasil panen (Mausufa). Dan juga selalu meminta untuk diberikan gadis-gadis muda belia agar melayaninya di istana.
Dan tentu saja masih terlampau banyak ceritera serupa tentang Timor yang terus ditradisilisankan dari generasi ke generasi.
3. Takanab / Natoni
Takanab artinya: memberi nama kepada sesuatu; dan Natoni artinya memanusiakan atau mempersonifikasikan sesuatu seperti manusia. Jadi, Takanab atau Natoni adalah sebentuk puisi, balada atau prosaliris yang berisikan ucapan selamat; ceritera tentang asal usul sesuatu tempat; pujian kepada seorang raja yang dicintai rakyatnya; kepahlawanan atau kisah epos seseorang (Naijuf/tuan tanah) atau asal usul suku terkemuka yang menjadi cikal bakal pendiri kerajaan atau kampung. Di dalam Takanab /Natoni, penggunaan kata-kata (kata benda atau kata kerja selalu disertai padanan kata atau sinonim). Takanab/Natoni haruslah dibawakan oleh orang tertentu yang telah ditentukan dan diakui secara adat karena bersifat atau mengandung unsur sakral. Bagi Atoin Meto, Takanab/Natoni disebut: Ta’tuna Pah ma Ta’tuna Nifu (sanjungan kepada tanah dan air, wilayah) atau Ta’tuna Kanaf ma ‘Bonif (Pujian kepada sebuah nama/tokoh terkemuka). Isinya berupa sebuah ceritera yang disampaikan secara puitis dalam rithme dan intonasi khusus.
4. Nel
Ne (Nel) adalah syair-syair lagu yang terdiri dari kalimat-kalimat puitis yang diungkapkan menurut nada, irama/rithme tertentu oleh seorang solis (Amnait Ne) yang kemudian dinyanyikan oleh koor (Ataes). Ne ini biasanya dibawakan dalam tarian Bonet yaitu sejenis tarian rikatenda berbentuk lingkaran di mana para penari terdiri dari kaum pria dan wanita. Dalam tarian Bonet ada dua orang pembawa Ne yang mendapat kesmpatan bergantian. Pembawa (Amnait) Ne pertama memimpin satu episode tarian dan lagu dengan syair-syairnya berhubungan satu sama lain membentuk sebuah ceritera utuh. Kemudian pada episode berikutnya Amnait Ne kedua membawakan syair-syainya dengan cara seperti di atas. Tetapi yang terpenting adalah bahwa rangkaian syair-syair itu dari permulaan sampai akhir harus merupakan jawaban sekaligus peneguhan terhadap rangkaian syair-syair pertama. Amnait Ne juga adalah orang yang diakui dan disyahkan secara adat atau mendapat kharisma sehingga tidak melakukan kesalahan. Sebab kalau sampai keliru atau salah dan dikunci oleh Amnait Ne yang lain  (Tutusuan) maka dianggap akan mendatangkan bahaya  dan malapetaka bagi dirinya (nkeut uane). Namun kalau memang harus terjadi dilakukan upacara damai di antara kedua Amnait Ne itu sehingga bahaya dan malapetakadapat dihindarkan. Kalimat atau syair-syair Ne sudah diformulasikan sejak sediakala maka dianggap mengandung kekuatan gaib/sakral yang dapat membahayakan seseorang. Karena itu dikenal beberapa macam Ne/Nel seperti; Ne Naijuf (Hanya mengisahkan tentang seorang tuan tanah); Ne ‘Siu (Syair yang berisikan kritikan, menyinggung perasaan seseorang atau mengalihkan perhatian seseorang ke hal lain). Selain pada tarian Bonet, Ne/Nel juga dibawakan pada tarian Koroleli (Sejenis kegiatan menumbuk padi untuk mempersiapkan pesta kenduri untuk seorang terkemuka). Tarian ini hanya dikenal pada masyarakat Noemuti dan Insana sehingga ada kemungkinan berasal dari orang Portugis.
5. Kle’at
Kle’at adalah perumpamaan dengan bentuk kalimat puitis/metaforis yang terdiri dari dua kalimat-empat kalimat atau lebih. Isinya berupa pendidikan tingkah laku (moral-etika); pembentukan watak; kritikan atau sindiran. Dua kalimat pertama adalah sampiran dan kalimat-kalimat berikut adalah isi atau maksud dan pesan yang hendak disampaikan. Kalimat-kalimat sampiran biasanya menyebut nama bintang, tumbuhan, benda-benda langit dan sebagainya  dalam tingkah laku tertentu. Dan dua kalimat berikutnya adalah isi dan pesan yang disampaikan dengan harapan adanya pemahaman dan perubahan tingkah laku dari sasaran yang dituju oleh Kle’at itu.
Contoh sebuah Kle’at:
“Manse naot nao ‘hahake
Nhaek he npao Timor’nope ntaone lasi.
Li’muin leko msilaul ta msu’om
Om he mnen bab’neka”.
6. Maka’nuan
Maka’nuan artinya pantun bersahut-sahutan. Maka’nuan ini biasanya dibawakan pada acara persiapan perkawinan atau kematian dan pesta kenduri. Pembawanya terdiri-dari dua orang yang mewakili dua kelompok yang pada dasarnya mempunyai hubungan kekerabatan erat (Bae feto-bae mone). Pihak-pihak pertama menyampaikan satu bait pantun yang berisikan pertanyaan dan menuntut jawaban dari pihak kedua berupa pantun juga, begitu seterusnya sampai akhirnya rangkaian pantun-pantun itu mengungkapkan sebuah kisah/ceritera yang mengandung makna dan nilai moral-etika, edukatif dan sebagainya.
Contoh: “Uik lua kole nmoen es si’uf noele nonon
Nalua ma na’ba on aifa skau manikin
Om he msen ho noah tok Belu
Om he msen ho puah tok Belu”.
Kiube ‘liknoni tun toenetes
Toe mtanetet bol ho luan
Toe mtanetet bol au luan
Mlilo ma muk’beti nane hobe kum”.
7. Naijuf
Naijuf adalah teka-teki yang biasanya disampaikan dalam bentuk satu kalimat yang membutuhkan jawaban singkat. Isinya dapat berupa kritikan, sindiran atau pendidikan tingkah laku. Tetapi lebih banyak hanya mau menguji kecerdasan seseorang menangkap sesuatu pesan, maksud atau arti dari sesuatu hal.
Contoh: Lus fatu tunan tilun hue’le nanan, naknit no’fa tnakua sufa.
Artinya: orang kaya yang murah hati.
8. Fanu
Fanu adalah mantra atau sumpah adat. Maksud susunan perkataan atau uacpan puitis yang mengandung kekuatan gaib dan diucapkan oleh seorang dukun, pawang atau tuan tanah. Mantera, sumpah adat itu dilakukan sebagai suatu kesepakan untuk menetapkan batas wilayah yang dipersengketakan oleh dua pihak  atau juga karena masalah lain yang membawa korban jiwa. Fanu ini sebagai tameng untuk melindungi, menahan atau menandingi kekuatan mantera dari pihak lain. Atau juga mentera yang disepakati dan diucapkan bersama sebagai suatu perjanjian suci yang harus ditaati manusia hingga turun temurun. Di sini Fanu berarti kesepakatan adat (Berupa perjanjian) yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun agar tidak mendatangkan bahaya kematian mendadak (mati konyol). Maka berlakunya Fanu ini tidak terbatas pada waktu kecuali di kemudian hari terdapat pelanggaran yang mengakibatkan bahaya, malapetaka sehingga keduabelah pihak sepakat untuk meninjau kembali atau diadakan upacara penolakan bahaya, yang disebut: tHel Keta (Upacara penarikan lidi di daerah perbatasan keduabelah pihak yang menetapkan Fanu). Fanu  (sumpah adat) ini mengandung kekuatan gaib yang mematikan/membahayakan karena pada saat diucapkan, nenenk moyang, Wujud tertinggi, roh-roh tanah dan air diundang sebagai saksi sekaligus sebagai hakim yang menyaksikan, mengadili dan memvonis manusia.
Contoh:
Fanu untuk Perang Bikauniki antara Sonbai dengan Miomaffo:
Tefu sufan napau neno, uki napan napau naijan.
b. Fanu manekat Anleko-Anfafi antara Noemuti dan Amanuban:
Tufe ‘tet menu fauba m’faotkopa
Faelele ‘tet menu fauba m’faotkopa.
9. Onen
Onen (Tiab) artinya doa dan penyampaian, yang diucapkan dalam rupa kalimat-kalimat puitis dan sinonim yang berisikan maksud atau permohonan. Onen mengungkapkan kerendahan hati dan keterbatasan hati dan eksistensi manusia. Yang menjdi sentrum kultus/ upacara doa dan persembahan adalah: baki-ainuan, hau monef-ni ai naf, faotkana-oekana, natan-naukele, hauteas-faotbena netu-tubu, o’of-tilun. Hewan korbannya disebut: Mu’it ma osa. Perlengkapan doa adalah lilin, siri pinang sebagai sarana komunikasi doa (nin’e tuk’ es paku talus, puahe pis’es maonse tuk es). Sasaran doa adalah: nenek moyang (be’i-na’i); roh-roh (uis pah-uis oe); wujud tertinggi (uis neno-banfena-taeneno); dan wujud-wujud lain. Tetapi nenek moyang baik mitis-legendaris maupun historis menjadi tikih perantara doa yang selalau diharapkan dan disapa pada awal setiap kesempatan doa. Tujuan doa adalah memohon berkat  dan perlindungan, keselamatan, harmoni hidup, kesembuhan dan sebagainya. Atoin Meto tidak dapat berdoa tanpa persembahan walaupun sederhana sekali, asal saja ia dapat mengkomunikasikan harapan-harapan dan kerinduan hatinya.
10. Basan
Basan (Laes mafainekat –mapainonot) adalah serangkaian kata-kata puitis yang berisikan nasihat atau petuah pada upacara perkawinan (matsaos); perdamaian (‘hoe, hoeb fefa); dan sebagainya. Basan biasanya dibawakan oleh orang yang dituakan dan menjadi tokoh panutan dalam masyarakat.
11. UabPolin
Uab Poulin artinya peribahasa atau buang bahasa. Artinya seuntaian kata-kata dalam kalimat beupa kiasan yang menyebut sesuatu tapi sebenarnya dimaksudkan hal lain. Uab Poulin ini sebenarnya lebih banyak ditujukan kepada sesorang yang bertingkah laku  tidak sesuai dengan norma-norma dan aturan hidup dalam masyarakat.
Contoh: 1. Nasnin koit kenat tomio ana
Nasni koit suni tefu no’o
Fun kanken he munel pah
Fun kamoet he munel pah
Ditujukan kepada orang yang sombong.
2. Kirab afmolo noele nonon
pan bi’ ba’u nitam nalua neune’
Ditujukan kepada wanita murahan.
Dari semua uraian di atas ternyata bahwa betapa kayanya nilai pendidikan (edukatif), kehidupan (moral-etika), dan keagamaan (religius) yang terkandung di dalam bahasa Atoin Meto (Laes Meto, Uab Meto dan Molok Meto). Tentu masih terlampau banyak bentuk ungkapan yang tidak termuat dalam tulisan ini namun yang terpenting bahwa dengan memahami bahasa, kita dapat memahami apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan dan apa yang dilakukan sebagai pengungkapan kepribadian dan jati diri Atoin Meto. Apakah satu aspek ini menjadi titik tolak pemberdayaan Atoin Meto agar semakin berpartisipasi dalam pembangunan? Mungkin saja.

Baca Juga  Kisah Berakhirnya Kekuasaan Raja Sonbai Kedelapan

Tinggalkan Balasan