“HEL KETA’: UPACARA REKONSILIASI ANTAR-WILAYAH DAWAN

BERITA104 Dilihat
Oleh : 
(Andreas Tefa Sa’u)
admin matatimor

Pengantar: Dalam kehidupan bermasyarakat manusia selalu bukan hanya berusaha menciptakan hal-hal dan tindakan yang baik dan terpuji. Manusia dengan kehendaknya yang bebas dan merdeka juga menjatuhkan pilihan utnuk merencanakan tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan banyak orang lain, yang tidak termasuk dalam lingkungan budaya atau lingkungan kerabatnya.

Etimologi Istilah. Thel Keta’ adalah sebuah ungkapan bahasa Dawan, yang terdiri dari dua kata, yakni tHel dan Keta’. tHelartinya menarik atau membatasi. Keta artinya  lidi lontar atau lidi kelapa. Namun keta yang dimaksudkan  di sini adalah lidi lontar. tHel keta artinya menarik atau mengabaikan lidi lontar yang sudah ada.  Pada umumnya lidi yang dibutuhkan ada dua jenis yakni jenis laki-laki ( yang lurus saja) dan jenis wanita (yang bercabang).
Tujuan Upacara.
Upacara religius tHel keta’ adalah sebuah perayaan rekonsiliasi antar-wilayah dalam daerah Dawan. Dikatakan bahwa dahulu nenek moyang setiap kampung, wilayah dan etnis, ketika dunia belum aman seperti sekarang ini, mereka saling memerangi satu sama lain dengan terlebih dahulu mencuri hewan atau barang-barang milik sesama. Akibat peperangan tersebut maka terjadi banyak korban dari kedua belah pihak. Pengalaman-pengalaman seperti itu mendorong mereka untuk membangun sebuah  halangan secara budaya bahwa mereka tidak akan saling mengawini satu sama lain. Karena alasan peperangan itulah mereka mengambil sikap untuk pergi mengambil isteri atau suami di tempat atau daerah lain sama sekali. Hal itu sudah terjadi pada zaman dulu. Kini zamannya sudah berubah dan anak-anak sudah saling mengenal dan juga di antara mereka terdapat rasa cinta seagai manusia normal dan memutuskanuntuk membangun sebuah keluarga baru, yang dengan demikian menyatukan kembali kedua keluarga atau marga atau daerah yang dulu bermusuhan satu sama lain.
Orang mengatakan bahwa upacara rekonsiliasi tersebut dimaksudkan untuk mengabaikan atau menghilangkan beb’e katan ma asu nisin.  Ungkapan taaib beb’e katan ma asu nisin adalah halangan-halangan yang telah terjadi karena berbagai pengalaman peperangan dan permusuhan tersebut. Upaya mengabaikan atau menghilangkan halangan itu yang disebut taaib beb’e katan ma asu nisin. Secara harafiah kata taaib artinya mengelakkan atau mengesampingkan sesuatu. Beb’e katan secara harafiah adalah duri-duri dari pelepah lontar atau gebang, yang bisa melukai seseorang kalau tidak atau kurang diperhatikan: Sedangkan asu artinya anjing dan nisin artinya gigi. Asu nisin artinya gigi anjing. Kedua ungkapan itu merupakan simbol bahaya, yang bisa ditimbulkan dari perkawinan antara dua anak manusia dari dua daerah yang berbeda dalam wilayah Dawan tanpa sebuah upacara rekonsiliasi tHel Keta’.
Tempat Upacara.
Dalam upacara tersebut segala sesuatu yang sudah dibawa harus diselesaikan di tempat upacaranya. Tidak boleh membawa pulang sisa makanan, baik nasi maupun daging dan minuman. Tempat upacara adalah sebuah sungai, yang airnya mengalir. Mengapa dibutuhkan sungai yang airnya mengalir? Dikatakan bahwa ketika hewan korban yang disembelih, darahnya harus dibiarkan menetes turun ke dalam air yang sedang mengalir, dengan maksud untuk dialirkan pergi ke laut. Keadaan darah hewan korban yang dialirkan ke atas air sungai yang sedang mengalir itu adalah tanda bahwa segala kesalahan dan perbuatan jahat yang merugikan dan menghalang dengan demikian sudah dibawah pergi oleh air sungai itu ke laut.
Selain sungai tertentu yang airnya terus dan sedang mengalir, tidak ada tempat lainnya. Dan ada beberapa sungai yang biasanya disepakati untuk dijadikan sebagai tempat upacara sekaligus tempat pertemuan kembali orang-orang yang saling berperang dan saling bermusuhan. Sungai-sungai tersebut ditentukan berdasarkan asal usul pasangan yang akan membangun rumah tangga baru. Misalnya. Bila salah satu pasangan itu berasal dari Noemuti dan seorang lainnya dari Bikomi atau Tunbaba, atau Insana atau Biboki, maka tempat upacara rekonsiliasi tersebut adalah sungai Noemuti. Bila seorangnya berasal dari Bikomi dan pasangannya berasal dari Insana, maka tempat upacara tersebut adalah Noemeto, di pinggiran Kota Kefamnanu. Bila salah seorang calon itu berasal dari Meumafo dan seorangnya berasal dari Biboki, maka tempat upacaranya adalah sungai Noe Bitefa.  Jika salah seorang berasal dari Noemuti dan pasangannya berasal dari Timor Tengah Selatan, maka tempat upacara adalah sungai yang menjadi batas terdekat antara kedua wilayah, atau sungai yang disepakati bersama.  
Sarana Yang Dibutuhkan.  
Ada sekian banyak sarana yang dibutuhkan demi terlaksananya upacara tersebut. Hewan korban (babi atau kambing sedang, yang harus bisa dimakan sampai selesai), sirih pinang di tempatnya, sebotol sopi kampung, lidi lontar masing-masing (simbol femini dan maskulin) sesuai dengan jenis kelamin calon pasangan baru. Inilah bahan-bahan yang dibutuhkan untuk melaksanakan upacara religius tersebut. Bila upacara itu tidak bisa dilaksanakan di dalam sungai air sungai yang sedang mengalir, maka upacara itu bisa dibuat pada sebuah tempat, asalkan dibuat sebuah simbol penghalang atau rintangan seperti  dua potong kayu yang ditanam di tanah dan di atas kedua kayu itu diletakkan sebatang kayu berduri (bahasa setempat disebut kisin) dan kedua belah pihak berdiri p
Baca Juga  Ini Makna Tali Toga Dipindah Saat Wisuda

ada pihaknya masing-masing bersama dengan segala bawaan mereka.

Selain itu ada bahan-bahan lainnya, yang sudah disiapkan untuk makan minum bersama setelah upacara selesai, seperti, kayu api, nasi secukupnya, sopi kampung secukupnya.
Jalannya Upacara.
Ketika masing-masing rombongan tiba di tempat upacara, mereka tidak boleh menyentuh air, yang dimasuki untuk pelaksanaan upacara tHel Keta’ itu. Rombongan kedua belah pihak berdiri bekelompok masing-masing di sebelah sungai kiri dan kanan, yang dipisahkan oleh air yang sedang mengalir. Anggota dari kedua kelompok terpisah tersebut tidak boleh saling mengunjungi selama upacara itu belum dilakukan. Seorang pembicara dari setiap pihak membuka pembicaraan sebagai awal jalannya upacara tersebut. Wakil dari pihak Laki-laki memegang ketmone (lidi simbol lelaki) dan pihak wanita memegang ketfeto (lidi simbol wanita) bersama pembicara masing-masing dan rombongannya masuk ke dalam air dan berhenti di tengah aliran air, lalu diawali dengan tutur adat dari salah satu pihak (contoh pembicaraan adat itu terlampir). Ketika itu kedua pembicara memegang bersama kedua jenis lidi tersebut dan dibicarakan dalam bahasa adat, lalu kedua jenis lidi itu diletakkan di atas air yang sedang mengalir untuk dibawah pergi ke laut atau ke tempat  yang jauh. (Bila upacara itu dibuat di lapangan yang bebas tanpa air, maka tiang perintang dipotong dan segala yang lain bisa dipertukarkan). Sesudah lidi lontar ditukarkan masing-masing sebuah Kabi’ berisi sirih pinang bersama segenap isinya (kadang-kadang juga sejumlah uang dalam jumlah yang tidak terlalu besar), bersamanya juga hewan korban, yang hendak dibunuh untuk kepentingan upacara religius itu.
Setelah penyerahan tersebut masing-masing atau salah satu pihak mengungkapkan tutur adat secara singkat sebelum hewan korban itu disembelih. Tetesan darah dari binatang korban tersebut dibiarkan menetes dalam air yang sedang mengalir untuk dibawa pergi. Sesudah itu para hadirin boleh berjabatan tangan dan saling berbaur satu sama lain untuk mengurus binatang korban itu, yang harus dibakar saja, dan tidak boleh dimasak atau direbus, agar dihabiskan di tempat pertemuan atau upacara itu. Kedua rombongan berbaur sambil duduk berbincang-bincang menanti waktu santapan bersama yang disiapkan oleh para ibu dan beberapa lelaki, yang membakar hewan korban tersebut.
Contoh sebuah TuturAdat  tHel Keta’:
Lasi uhoebe neit ulasbe neit
Fun feto mone sufkinim kaukinim, hoinkini ma taokini
Makison man’etan, mansinmakan ma mataimenin
Maaunun ma malomin
He mauimnin ma mabaelnin.
Mes natuin fai ahunut neonahunut
Be’i ma na’i  kente pun-punu ma naonem,
suin’e tas-tasam ma naonem.
Es mieku mitef nbi  noe in nonon ma ini’sain,
he mihoeb mani ma milasab mani,
he kente tmatapa, suin’e tmatapa.
Henati sufa ma kauf, honif ma taof
He n’aomin ma sin’on neu ume nuasin bale nuasin.
Henati napenin manikin oetene, aomina aoleko.
Lasi pal-pala, uabe tuk-tuka.
Toni ona le’ ia, lasi ona le’ia.
Makna upacara rekonsilisasi tHel Keta’adalah
perdamaian kembali kelompok etnis  yang pernah bermusuhan satu sama lain karena berbagai alasan.
Agar anak-anak yang saling menikahi satu sama lain tidak mendapatkan halangan dalam diri mereka maupun pada keturunan mereka kelak, yang dalam bahasa adat Dawan disebut „taaiba beb’e katan ma asu nisin“.
Agar segenap anggota keluarga besar kedua belah pihak yang dipersatukan oleh ikatan perkawinan itu tidak tertulah oleh akibat permusuhan masa lalu.
Upacara termaksud juga memohon berkat bagi kedua anak yang bersedia membentuk rumah tangga baru tersebut.
Sumber:
Wawancara dengan Bapa Daniel Metkono, 50 tahun, Penutur Adat Desa Nibaaf, Kecamatan Noemuti, TTU, di Nibaaf, tanggal 21 April 2006.

Geiko Müller-Fahrenholz: Pengampunan membebaskan. Pengampunan dan Rekonsiliasi dalam masyarakat. LPBAJ. Maumere 1999.

Tinggalkan Balasan