Asal-Usul Hutan dan Nama Camplong

BERITA158 Dilihat
pada laman academia.edu


Nama
Camplong punya hubungan erat dengan sebuah pohon besar. Pohon besar itu menjadi
tanda pengenal bagi Camplong. Bahkan orang di Lotas, di ujung Timur pulau Timor
yang berbatasan dengan Belu menyebut pendeta Belanda yang bekerja di Camplong
sebagai pendeta pohon besar.[1]
Orang Meto menamakan pohon itu Sanaplo.
Pohon bernama Sanaplo ini
merupakan ibu dari semua pohon yang ada di hutan Camplong. Untuk jelasnya,
beginilah tuturan saudara laki-laki Anamtasa
yang ditulis oleh F.H. van de Wetering, misionaris yang menetap di Camplong
tahun 1919.[2]
“Di zaman dulu, tuan, ada satu pohon
yang sangat besar. Semua pohon yang ada di Camplong
berasal dari pohon itu. Buah pohon itu jatuh dalam air yang ada di bawah pohon
besar itu. Air membawa buah-buah itu ke satu tempat. Di tempat yang baru itu
buah-buah bertumbuh. Akhirnya menjadi pohon-pohon besar. Itu sebabnya Camplong penuh dengan pohon-pohon. Pada
waktu malam datanglah kelelawar. Mereka makan buah dari pohon besar itu. Mereka
kemudian membawa biji dari buah pohon itu ke tempat-tempat yang tidak kami
kenal.
Di seberang mata air ini mereka
menjatuhkan salah satu biji dari pohon itu. Biji itu bertumbuh. Pohon yang baru
bertumbuh itu juga menjadi besar, kokoh, kuat dan rindang. Pohon tua yang
adalah ibu dari semua pohon itu bernama Sanaplo.
Pohon yang baru, yang ada diseberang mata air ini diberi nama hau susu.
Pohon
tua yang bernama sanaplo sudah mati
kira-kira tiga puluh tahun lalu. Orang Atoni sekarang menyebut pohon yang baru,
haususu, dengan nama haususu sanaplo
untuk menghormati pohon sanaplo yang
sudah mati itu. Itu sebabnya kampung kita bernama Sanaplo menurut nama pohon tua yang sudah mati itu.”
Haususu, pohon
yang tumbuh di dekat mata air Sanaplo dianggap
oleh orang meto di Camplong sebagai
tempat tinggal dewa tertinggi. Di masa lalu penduduk membawa berbagai sesajen
untuk ditaruh di bawah pohon itu. Pati Muti bercerita: “Penduduk Camplong juga suka membawa persembahan kepada
haususu Sanaplo ini. Kalau ada musuh
datang menyerang berkumpullah semua penduduk di pohon ini untuk memberikan
persembahan korban demi perang itu. Mereka meminta agar mereka tidak diganggu
oleh peperangan yang sedang terjadi. Tetapi jika perang harus mereka hadapi
maka mereka meminta agar diberikan kemenangan. Orang-orang datang dengan
membawa ayam, kambing dan beras. Semuanya mereka letakan di bawah pohon itu.”
Ada pun doa yang diucapkan sang imam
yang memimpin ritus sesajen akan mengucapkan doa berikut: “Kami berseru
kepadamu, O penguasa air. Berikanlah kepada kami makan dan minum. Peliharalah
kami. Jangan biarkan kami mengalami kecelakaan. Kami adalah umatmu. Kami ini
anak-anakmu. Janganlah membiarkan orang yang tidak menghormati engkau tinggal atau
datang ke mari. Janganlah mengizinkan musuh masuk ke tempat ini karena di sini
amat banyak orang-orang kepunyaanmu. Bawalah musuh-musuh itu pergi menurut
jalan yang lain untuk tiba di Lili, menuju muara sungai sehingga mereka tidak
datang ke tempat ini karena di sini tempat yang tinggi dan banyak pohonnya. Di
sini jalannya panjang dan lebar. Buatlah mereka sesat supaya mereka tiba di
Lili, Oilmasi atau Naifalo. Di sana ada jalan. Ada kerbau dan kuda. Tetapi,
jangan bawa mereka ke mari, karena di sini jalannya lebar dan panjang.”
“Kalau ada penyakit menyerang
penduduk di sini, mereka berkumpul di sekitar pohon ini membawa babi, ayam dan
beras. Ya. Kadang-kadang juga kerbau. Lalu imam juga akan berkata sementara dia
melemparkan beras: “Sekarang kami semua sudah berkumpul di sini dan
mempersembahkan kepadamu, Uispah, dan
Uisneno makanan. Berikanlah kesejukan
kepada orang-orangmu serta perasaan damai sebagai ganti panas yang diakibatkan
oleh penyakit ini.”
Hal penting lain mengenai pohon ini
adalah jika salah satu dahannya patah itu pertanda bahwa salah satu orang
terkemuka di Timor akan segera meninggal. Apakah dahan itu patah karena hujan,
angin atau karena alasan lain maka orang akan mengerti bahwa seorang temukung,
fetor atau raja akan segera mati. Ketika Saen Sinar, nama lain dari Sain Bait
meninggal salah satu dari dahan pohon itu patah. Setelah itu Tasi Bait. Yang
terakhir adalah raja Manubait di Camplong.
Masih ada satu lagi, Feku Bait dan tamukung besar Fafi Tob dari Silu. Yang baru
saja terjadi adalah Ena Bait dari kampung Oetulu.[3]
Demikianlah
kisah asal-usul nama Camplong, yang berhubungan erat dengan nama sebuah pohon
yang orang meto namakan Sanaplo. Pohon itu adalah dari semua
pohon yang ada di hutan Camplong. Pohon itu melahirkan sebuah pohon lain
bernama Haususu yang menjadi
manifestasi kehadiran dewa tertinggi di antara penduduk Camplong. Hutan itu
pada masa lalu adalah kawasan keramat yang diyakini sebagai tempat kediaman
roh-roh. Betapa pun oleh pengaruh kekristenan dan modernisasi hutan Camplong
tidak lagi dianggap keramat, tetapi hutan itu masih dipelihara oleh warga
sekitarnya.
Ada
pun di hutan Camplong saat ini tumbuh bermacam-macam jenis pohon. Data yang
berhasil kami kumpulkan menyebutkan ada 30-an jenis pohon umur panjang yang
hidup di hutan lindung Camplong. Ini belum termasuk jenis-jenis perdu dan
tanaman merambat yang ada di hutan itu. Pohon-pohon itu antara lain: Cendana,
Gaharu, Beringin, Kayu Merah (hau me
atau matani), Kapuk Hutan, Kabesak, Taduk (Lete), Jati, Mahoni, Kula, Nikis,
Buni, Cempaka, Cemara, Lamtoro, Asam, Johar (Kayu Besi), Bengkudu (Latin: morinda citrifolia, Meto: Baknunu),
Faloak, Kusambi, Kujawas, Jambu Air, Sedap Malam, Flamboyan (sepe), Mangga
hutan, Delima Hutan (Dilak), Kom (Apel Hutan).[4]
Dengan demikian hutan lindung Camplong tergolong pada hutan daerah tropis,
bukan hutan tanaman industri.
Selain
pohon dan perdu, di hutan Camplong juga terdapat aneka jenis binatang, antara
lain: babi hutan, ayam hutan, musang, tupai, rusa, kus-kus, kera, ular, burung
dari berbagai jenis, burung hantu, kelelawar, lebah madu, semut dan laron dalam
jumlah berkelompok.[5]
Binatang-binatang itu dipercaya oleh Suku
Meto
sebagai yang membawa pesan tentang peristiwa-peristiwa khusus
tertentu. Sebut saja misalnya kalau burung hujan (totiu) mulai meneriakkan suaranya, itu menjadi isyarat bahwa dalam
waktu dekat hujan akan segera turun.[6]
Munculnya burung hantu di dekat perkampungan sambil berteriak merupakan
pertanda bahwa akan ada penghuni kampung yang meninggal dunia.
Keadaan Penduduk Camplong
dan Mata Pencaharian
Penduduk
kelurahan Camplong I per tahun 2015 adalah 4753 jiwa. Mayoritas adalah suku meto yakni penduduk asli pah meto atau yang umum dikenal sebagai
Pulau Timor. Sejumlah kecil suku pendatang seperti suku Rote, Sabu, Flores, Cina
dan Bugis juga ada di kelurahan itu. Umumnya para pendatang bekerja sebagai
pegawai negeri dan pedagang kecil (papa
lele
) sementara penduduk asli adalah petani. Keberagaman populasi penduduk
Camplong Satu sesuai data pada kantor kelurahan Camplong Satu tanggal 25
Agustus 2015 adalah 4753 jiwa.[7]
Jumlah
penduduk berdasarkan jenis kelamin dan agama
No.
Keadaan Penduduk
Keadaan Agama
Perempuan
Laki-laki
KK
Kristen
Katholik
Islam
lain-lain
1
2309
2444
1084
3711
709
152
181
Jumlah
penduduk berdasarkan Mata Pencaharian
No
Jenis
Pekerjaan
Perempuan
Laki-laki
Total
1.
Petani
     681
681
1362
2.
Pegawai
Negeri Sipil
     102
  92
  194
3.
Peternak
       16
  24
    40
5.
Pengusaha
Kios
       19
  16
    35
6.
Pensiunan
PNS/TNI/ Polri
         2
  42
    44
7.
Bidan
         3
    2
      5
8.
Belum
Bekerja (Anak-anak)
   1545
528
3073
Jumlah
penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
No
Tingkat
Pendidikan
Perempuan
Laki-laki
Total
1.
Usia
7-18 yang tidak pernah sekolah
 23
 48
   71
2.
Usia
18-56 yang tidak penah sekolah
 1224
   1185
2409
3.
Usia
18-56 SD tetapi tidak tamat
     20
       50
    70
5.
Tamat
SD/sederajat
    60
      88
  148
6.
Tamat
SMP/ sederajat
  416
    460
  876
7.
Tamat
SLTA/ sederajat
  363
    503
  866
8.
Tamat
D2/ sederajat
    57
      37
    94
9.
Tamat
D3/ sederajat
    27
      30
    57
10.
Sarjana
Satu
    61
    101
  162
Orang
Tetun di Belu lebih suka menamakan Orang Meto dengan sebutan Dawan.[8] Dalam cerita rakyat dan berbagai
tuturan adat disebutkan bahwa leluhur orang
Meto
berasal dari satu tempat yang disebut Sina Mutin Malaka. Munandar Widiyatmika mencatat bahwa betapa pun
disebutkan dengan nyata bahwa tempat asal nenek moyang pertama suku meto ada hubungan dengan Malaka, namun
bukan berarti bahwa nenek moyang mereka pasti berasal dari sana.[9]

[1]
F.H. van de Wetering. “van de Binneland” Dalam: De Timor-Bode, No. 45 Januari 1920.
[2]
F.H. van de Wetering. “Camplong.” Dalam: De
Timor-Bode
No. 52 Agustus 1920.
[3]
A.L. van de Wetering. “Hau Susu Sanaplo.” Dalam: De Timor-Bode, No. 57 Januari 1921.
[4]
Masih banyak lagi nama pohon dalam bahasa Meto
yang disebutkan oleh responden kami. Mengingat terbatasnya ruang cukuplah
dicatat beberapa nama tadi. Schulte Nordholt menunjukkan bahwa pengenalan Suku Meto terhadap nama-nama pohon  menjadi bukti kedekatan Suku Meto pada lingkungan alam, terutama pada tanaman. H.G. Shulte
Nordholt. The Political System…, hlm.
34.
[5]
Kalau semut besar bersayap keluar secara bergerombolan dari sarang mereka pada
waktu senja di awal musim hujan Orang
Meto
percaya bahwa saat hujan masih tertunda beberapa minggu. Kalau yang
keluar bergerombolan adalah laron (naem), Orang
Meto
melihat itu sebagai isyarat akan segera turun hujan.
[6]
Trayanus Nubatonis, BA. Wawancara lewat telepon. Sabtu, 8 Agustus 2015.
[7]
Data diambil pada kantor kelurahan Camplong I tanggal 25 Agustus 2015.
[8]
Mubyarto, et all., hlm. 134.
[9]
Munandar Widiyatmika. Sejarah Daerah Nusa
Tenggara Timur.
Proyek Pengembangan Kebudayaan Daerah, Kupang. 1977., hlm.
42.

Baca Juga  Mendes PDTT Imbau Orang Tua Hindari Sekolah Penganut Ekstremisme

Komentar