Analisis Upaya Pelestarian Tradisi Lisan dalam Budaya Atoin Pah Meto

KEBUDAYAAN, SEJARAH84 Dilihat

1. Pengantar

Ibarat sebuah bangunan raksasa, negara Indonesia dibangun dari batu-batu kebudayaan berbagai etnis, yang berbeda kualitas dan kuantitasnya. Setiap etnis (kebudayaan‑kebudayaan lokal seperti kebudayaan Flores, Sumba, Timor, Alor) menyumbang kekayaan nilai‑nilai budaya mereka demi menyempumakan bangunan fisik dan spiritual bangsa Indonesia.

Dari sekian banyak batu untuk bangunan tersebut, ada juga batu bangunan dari etnis Dawan di Timor Barat dengan kebudayaan Atoin Pah Meto‑nya. Sebagai sebuah sistem, kebudayaan Dawan merupakan sebuah totalitas yang memiliki individualitas, arti dan keunikan tersendiri.

Mengapa penduduk etnis itu disebut dengan nama Dawan atauAtoni? Pada dasarnya kata Dawan adalah nama pemberian orang lain, termasuk nama orang Timor Barat. Nama Dawan diambil dari sebutan Atoni yang lazim dipakai di antara anggota kelompok etnis ini.

Nama itu merupakan penggalan dari sebutan khas untuk etnis ini, yakni Atoin Pah Meto, yang berarti penduduk tanah kering atau penduduk pulau. Hal serupa juga terjadi dengan orang Dayak di Kalimantan bagian utara, yang menamakan diri mereka: kami banua, artinya kami penduduk benua atau penduduk pulau.

Dalam bahasa Dawan, bila kata benda berdiri sendiri sebagai sebuah kata mandiri, maka kata itu tidak mengalami perubahan atau pergeseran bunyi. Namun bila dirangkaikan dengan kata benda lainnya atau dengan kata sifat, maka kata benda yang diterangkan mengalami perubahan penulisan atau pergeseran bunyi dalam strukturnya.

Dalam istilah linguistik, pergeseren bunyi seperti itu disebut metatesis, artinya pertukaran huruf atau bunyi dalam sebuah kata. Misalnya kata Atoin, yang kalau berdiri sendiri maka bunyi vokal i ditukarkan tempatnya dengan bunyi konsonan n, sehingga. sebutannya menjac Atoni’.

Kata Atoni sendini berarti orang atau manusia. Karena itu, adalah salah atau terjadi pengulangan yang tidak perlu, bila orang menyebut kelompok etnis itu dengan nama “orang Atoni”.

Sementara itu penggunaan nama Dawan sudah ditemukan dalam publikasi asing berbahasa Jerman pada tahun 1887. Kendatipun demikian, tidak bisa dipastikan waktu penggunaan sebutan itu secara lisan di antara para penduduk etnis Dawan. Sebagai satu kelompok suku terbesar di wilayah Timor Barat, Orang Dawan memiliki pandangan hidupnya tersendiri.

Pandangan itu masih sering ditemukan pengaruhnya dan juga digunakan oleh para anggotanya sebagai pedoman dan norma hidup bersama dalam lingkungan kekerabatan dai lingkungan masyarakat luas secara religius dan sosial politis.

Semua itu ada dan dimiliki dalam bentuk lisan dan diwariskan juga atas cara lisan kepada generasi‑generasi berikutnya dalam berbagai pertemuan. Sebuah ungkapan pendek menarik perhatian saya untuk dianalisis lebih jauh dalam tulisan ini, yakni nekafmese‑ansaofmese (sehati‑sejiwa), atau sering juga diformulasikan sebagai sebuah imperatif. nekames ma ansaomes.

Ungkapan tersebut dipahami sebagai falsafah hidup atau way of life orang Dawan, yang berpengaruh besar dalam kehidupan bersama. Namun sebelun menganalisis ungkapan tersebut, perlu dikemukakan pengaruh tradisi lisan dalam kehidupan masyarakat Dawan, khususnya di daerah pegunungan dan pedalaman.  

2. Pengaruh Tradisi Lisan Pada Masyarakatnya

2.1. Tradisi Lisan dan Pengertiannya  

Dalam Ilmu kebudayaan bangsa‑bangsa dan etnis‑etnis, selain tradisi tertulis, tradisi lisan juga menjadi salah satu cara memiliki, menerima atau mewariskan kebudayaan.

Tradisi lisan pada umumnya masih dimiliki dan dipelihara oleh kelompok masyarakat yang masih kuat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma‑norma hidup tradisional. Kata tradisi berasal dari bahasa Latin traditio kata benda yang berarti warisan yang berkaitan dengan kata kerja tradere, yang mengandung pengertian mewariskan, meneruskan, melanjutkan.

Traditio berkaitan dengan kata bahasa Yunani paradosis kata benda yang juga memiliki arti yang sama.

Tradisi dibagi menjadi dua bagian, yakni bentuk verbal dan non‑verbal, tertulis dan lisan menggunakan media cetak dan menggunakan ucapan mulut atau lewat tata tingkah laku dan tutur kata Tradisi non‑verbal meliputi berbagai kesenian tradisional, seperti ikon pahatan, monumen, objek‑objek simbolis kebiasaan, gerak‑gerik, adat istiadat dan berbagai institusi, legenda, mitos dongeng dan lain sebagainya.

Salah satu tradisi non‑verbal adalah tradisi lisan Tradisi lisan termasuk salah satu dari sekian banyak objek penelitian para antropolog budaya dan etnolog, yang harus direkonstruksi demi meneruskan asal-usulnya yang sesungguhnya.

Untuk mendapatkan informasi secukupnya tentang tradisi lisan dibutuhkan banyak kesabaran dan ketekunan. Kelompok etnis Dawan juga memiliki dan memelihara tradisi lisan.

Bahkan boleh dikatakan bahwa hampir seluruh tradisi lisan dalam kebudayaan Dawan dihidupi dan diwariskan secara lisan dengan menggunakan segala macam sarana bantu.

Kehidupan masyarakatnya masih sangat kuat dipengaruhi tradisi lisan tersebut. Substansi tradisi lisan seperti norma tingkah laku, nilai‑nilai moral dan etis­-religius, bermanfaat baik bagi setiap anggota dalam interaksinya dengan sesama. anggota kelompoknya (in‑group), maupun dengan anggota kelompok lain (out‑group) dalam berbagai pertemuan formal dan informal.

2.2. Beberapa Aspek dari Tradisi lisan  

Tradisi lisan mendapatkan bentuknya dalam kebiasaan‑kebiasaan, folklore (cerita rakyat), pembicaraan‑pembicaraan populer, cerita sejarah atau kisah sah, spekulasi esoterik, berbagai aplikasi praktis agama. ke dalam kehidupan sehari‑hari, termasuk manifestasi lain dari mentalitas tradisional.

Aspek pertama dari tradisi lisan adalah bahasa sebagai substansi dari tradisi lisan. Bahasa sangat berperanan dalam proses interaksi antar anggota dalam lingkungan terbatas dan dalam masyarakat luas.

Di dalam bahasa, tersirat segala kekayaan pandangan dan pikiran etnis‑etnis itu. Bahasa Dawan, yang dalam berbagai publikasi Eropa dan Amerika sering disebut bahasa Timor‑Barat, digunakan oleh sebagian besar penduduk dalam tiga wilayah politik di Provinsi Nusa. Tenggara Timur, yakni Kabupeten Timor Tengah Utara (TTU), Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Kupang kecuali kota Kupang.

Bahasa yang sama juga digunakan dalam wilayah Ambenu di Negara Republik Timor Leste, kendati nama yang digunakan untuk bahasa itu adalah Vaikenu.

Namun sebagian besar dari kosa katanya adalah bahasa Dawan. Bahasa lisan atau ungkapan lisan sering digunakan dalam kaitan dengan soal religius untuk menggambarkan keibuan dan kebapakan Allah dalam memelihara, melindungi, merawat, mengasuh, mengasihi dan menyayangi Orang tua selalu menggunakan bahasa lisan atau bahasa adat untuk memberikan pandangan atau pikiran mereka kepacla anak‑anak muda dalam memilih pasangan hidup dan teman bergaul. Juga orang selalu menyampaikan secara lisan hal‑hal yang patut diperhatikan dalam menerima setiap tawaran yang baik.

Baca Juga  Dansa Timor dan Kebutuhan Kontak Fisik

Orang diajar untuk tahu menjamu tamu, bersahabat dengan orang lain walaupun rasa was‑was tetap tidak bisa disembunyikan dalam nasihat pada pesta pernikahan adat dan gerejani.

Pasangan yang sudah menikah diharapkan menerima status sosial mereka yang baru. dan berusaha untuk hidup dan bertingkah laku sesuai dengan status baru tersebut. Kedua mempelai harus membiasakan diri untuk tetap bertanggungjawab memenuhi kebutuhan rumal tangga mereka.

Status sosial yang baru tersebut menuntut konsekuensi dari tanggung jawab serta perubahan sikap dan mental hidup. Aspek kedua daritradisi lisan adalah adat kebiasaan makan sirih pinang.

Kebiasaan ini banyak digunakan sebagai sarana untuk menciptakai dan membuka komunikasi atau interaksi antaranggota in­group dan juga komunikasi dengan anggota dari out‑group untuk mempererat persaudaraan, persahabatan dan persatuan antarpribadi.

Dengan menawarkan atau saling berbagi sirih pinang, seorang pribadi terlibat dalan interaksi dengan sesamanya, membagi berbagai informasi, juga momen untuk saling melayani dan mengenal.

Dampak positif dari kesempatan pelaksanaan tradisi tersebut adalah terciptanya hubungan yang baik dengan orang lain, misalnya dengan tetangga paling dekat dan dengan orang dari tempat jauh, yang sewaktu‑waktu dapat berguna untuk pribadi‑pribadi terkait.

Tradisi seperti ini masih hidup dan diwariskan terus kepada sesama dan generasi berikutnya secara lisan, paling banyak dalam bentuk partisipasi aktif dalam berbagai kesempatan yang disediakan.

Kehadiran yang begitu sering dalam acara‑acara tradisional menjadi satu pertanda baik, bahwa orang mempunyai kepedulian terhadap nilai‑nilai budaya setempat.

Orang seperti itu akan mengetahui banyak hal yang berpautan dengan tradisi‑tradisi lisan kehidupan bersama. Salah satu tradisi lisan yang masih sangat berpengaruh adalah tata cara atau etiket penyampaian pendapat dan undangan kepada pihak lain, yakni orang‑orang yang bukan dari kelompok sendiri, termasuk orang yang menyandang status sosial tertentu.

Etiket ini juga mempunyai fungsi sosial lain untuk memelihara. kontak persaudaraan dan persahabatan dengan orang lain dalam in‑group dan out‑group.

Di sini dikemukakan secara khusus tradisi oko’mama atau kabi. Dalam pertemuan resmi di desa atau di dusun pedalaman, kabi atau oko’mania (tempat sirih pinang) yang berisi sirih pinang, uang atau sebotol arak kampung menjadi sarana yang sangat umum di kalangan orang Dawan untuk meminta izin berbicara atau menyampaikan sesuatu.

Pada umumnya sudah diketahui bahwa jika di atas sebuah meja atau balai‑balai diletakkan sebuah oko’mama, maka pihak yang meletakkannya hendak menyampaikan suatu maksud atau pokok pembicaraan tertentu.

Sirih pinang dan sebotol arak kampung merupakan dua komponen yang selalu digunakan, sementara uang dalam jumlah yang terbatas sebagai pelengkapnya sangat bergantung dari kebiasaan setiap kelompok dialek. Tradisi sinih pinang ini sudah digunakan sejak lama oleh masyarakat desa dalam setiap pertemuan resmi.

Kebiasaan ini dimulai sejak Atoin Pah Meto mengenal kebiasaan makan sirih pinang. Tradisi ini hidup dan diteruskan oleh hampir seluruh penduduk di wilayah Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya, dengan intensitas yang berbeda‑beda dan pulau ke pulau. Kedua sarana yang selalu digunakan bersama itu mempunyai arti sangat penting bagi kelompok Dawan. Sarana yang sederhana tersebut mendapatkan makna dan arti lebih tinggi, karena selalu cligunakan dalam berbagai pertemuan resmi di tingkat pedesaan tradisional.

Di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), pendekatan oko’mama selalu digunakan oleh Bapak Piet A. Tallo (Gubernur NTT saat ini), ketika beliau menjabat bupati wilayah itu untuk mempertemukan unsur tua adat masyarakat tradisional dengan unsur pemerintah. Sarana ini dipakai untuk menyampaikan sekaligus meminta partisipasi masyarakat dalam menyukseskan program pemenintah. Diakui bahwa mekanisme ini menyita banyak waktu dan kesempatan, tetapi hasilnya pada umumnya jauh lebih baik dan efektif, karena masyarakat tradisional juga diminta untuk turut bertanggungiawab dan berpartisipasi.

Umumnya tradisi penggunaan oko’mama sampai sekarang dipraktikkan oleh pihak yang sama derajat atau status sosialnya untu menyampaikan informasi kepada yang lain.

Praktik yang diterapkan Bapa Piet A. Tallo di TTS adalah hal baru sekaligus sebuah terobosan yang penting. Praktik itu efektif dan mempunyai daya gugah yang mendalam untuk masyarakat. Sebenarnya praktik seperti itu harus lebih banyak digunakan oleh pemerintah, bila ingin merangkul dan menggugah rakyat untu berpartisipasi dalam berbagai rencana pembangunan.

Dalam pendekatan itu masyarakat merasakan adanya penghargaan dan penghormatan dari pihak pernerintah terhadap adat‑istiadat mereka. Dengan demikian, pendekatan yang dulunya hanya bersifat horisontal atau vertikal, sepihak dari bawah, menjadi lengkap.

Maksudnya bahwa pendekatan tersebut dipraktikkan secara vertikal dari kedua belah pihak, yakni dan bawah ke atas dan sebaliknya dari atas ke bawah. Praktik pendekatan oko’mama juga merupakan usaha aktualisasi filosofi masyarakat Dawan, yakni nekafmese ma ansaofmese sekaligus ajakan untuk turut serta aktif (nekmes ma ansaomes).

3.3. Sebuah Imperatif Untuk Masa Kini

Pengalaman positif masa lalu yang berpedomankan pandangan hidup di atas, justru menjadi dasar pijak yang kokoh bagi para pemilik wewenang masa sekarang untuk mengaktualisasikan pandangan tersebut.

Di sini pandangan itu dimodifikasi menjadi sebuah “imperatif”, sebuah keharusan bagi setiap kelompok masyarakat, dalam menyukseskan setiap rencana dan kegiatan bersama. Nekines ma ansaomes boleh dipahami sebaga “bersehatilah dan bersejiwalah!”, tidak hanya menjadi sebuah semboyan tetapi suatu seruan yang membangkitkan semangat juang dan kerja para anggota marga dan masyarakat pada khususnya dan kalangan masyarakat Dawan pada umumnya untuk mengkonkretkannya dalam praksis.

Baca Juga  Kamus Bahasa Dawan Singkat

Ia berbicara lebih dalam dan mengena bagi setiap orang Dawan. Kalau pandangan hidup ini diterjemahkan ke dalam kehidupan nyata dan sosial sekarang, maka substansinya menjadi penting dalam upaya melaksanakan setiap program pembangunan pada setiap tingkat dan aspek kehidupan.

Ungkapan tersebut boleh dijadikan sebagai sebuah imbauan, slogan atau propaganda penting untuk membangunkan kesadaran orang dalam menjalin persatuan, kesepakatan dalam kata dan laku demi melaksanakan setiap program pembangunan fisik dan spiritual. Mengayati dan menghidupi pandangan ini mengandaikan bahwa orang harus membebaskan diri dari segala kepentingan dan keuntungan pribadi, menjauhkan keinginan untuk korupsi, nepotisme dan kolusi.

Menghayati dan menghidupi pandangan ini berarti tidak memperhatikan pembedaan status sosial dan politik. Semua itu harus menjadi relatif agar pandangan ini bisa direalisasikan. Menghayati dan menghidupi pandangan ini berarti orang bertekad untuk secara bersama berjuang untuk kepentingan kelompoknya demi kesejahteraan jasmani dan rohani para anggotanya.

Nekmes ma ansaomes artinya juga mengikuti apa yang dikatakan atau disebut hanafmese mo’etmese, atau sesuara satu tindakan. Maksudnya, bersatu dalam perkataan dan bersatu pula dalam tindakan. Ungkapan bersifat keharusan ini bisa juga menjadi pegangan, pedoman atau pendorong yang dibutuhkan secara umum oleh siapa saja dalam menghadapi kesulitan bersama dalam setiap kelompok masyarakat, baik yang menyangkut hal sosial politik, sosial religius dan sosial budaya. Sebuah sikap umum ditetapkan untuk kehidupan bersama dan diharapkan agar sikap itu mendapatkan gemanya juga pada generasi berikutnya.  

3.4. Nilai Sosial Religius

Sebagaimana diketahui umum, bahwa dalam kalangan masyarakat tradisional, pengaruh dan keterikatan pada nilai‑nilai budaya sangat kuat. Di sana hampir tidak terdapat permisahan yang jelas antara hal‑hal yang religius dan profan. Setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat diyakini sebagai kegiatan yang bersifat sosial religius, yang melibatkan tokoh‑tokoh religius‑magis masa lampau.

Ungkapan nekafmese ma ansaofmese, dikenal orang Dawan sebagai semboyan hidup dan pemberi semangat untuk membangun sebuah kerja sama yang bermutu. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka ungkapan itu bukan lagi milik sebuah kelompok terbatas, melainkan artinya mendorong dan menyemangati siapa saja dalam dan untuk berbagai aspek kehidupan.

Sehati‑sejiwa, seia‑sekata, sekata‑seperbuatan, demikianlah ungkapan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Masyarakat tradisional dan modern yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh tradisi suku, etnis atau marganya, akan tetap menghubungkan kedua aspek itu yakni rohani dan jasmani, religius dan sosial. Dari situlah diharapkan sebuah etos kerja yang baik bisa dihasilkan, bernilai religius yang tidak saja menyangkut pribadi-pribadi tertentu, tetapi juga menyangkut pribadi‑pribadi sebagai satu kelompok etnis, suku ataupun marga.

Dalam Kitab Suci orang Kristen, inti dari ungkapan tersebut sangat jelas dan diharapkan konkretisasinya terus menerus dalam hidup sehari‑hari. Selama masa Perjanjian Lama, inti dari pemyataan itu selalu dipropagandakan dan menjadi sebuah imperatif yang harus diperhatikan dan dilaksanakan.

Yang dimaksudkan di sini adalah adannya sikap sehati‑sejiwa dalam menanggapi setiap penyampaian entah oleh dewa atau Yahwe, ataupunpara leluhur, yang pada akhirnya berguna membentuk kehidupan bersama secara baik dan berhasil. Hal ini tidak berarti bahwa tidak terdapat tantangan dalam menghidupi dan menghayati inti pikiran tersebut.

Justru dengan mempertimbangkan segala kemungkinan tersebut diharapkanagar pandangan hidup itu dihayati. Dasar yang kuat disertai kesamaan dan kesatuan motivasi selalu menjadi langkah yang baik dan perlu demi keberhasilan. Lebih jauh harus pula dipahami bahwa permintaan untuk nekmes ma ansaomes harus keluar dari kesaksian pribadi yang integral, sehingga mampu menggerakkan orang lain untuk bersatu sehati‑sejiwa.

Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Untuk menegaskan ungkapan ini digunakan simbol-simbol tertentu, misalnya sapu lidi yang menunjuk pada keberhasilan satu kelompok. Pemahaman ini tidak harus menjadi monopoli aspek sosial religius di atas, tetapi berlaku untuk semua aspek hidup bersama.  

4. Upaya Melestarikan Tradisi Lisan

Banyak tradisi terancam hancur dan musnah justru oleh ketidakpedulian para pemiliknya. Artinya, kita tidak boleh berhenti pada tahap pengungkapan rasa sesal dan prihatin saja, lalu turut menyaksikan proses kemusnahan nilai-nilai budaya itu, yang pada saat lampau melekat kuat dalam masyarakal kita. Kita harus menyatakan sikap kepedulian kita secara. konkret.

Sebagai pemilik dan pencinta kebudayaan, kita mesti bertanya, bagaimana cara pengungkapan keprihatian dan sikap kepedulian kita terhadap nilai-nilai tradisi terancam musnah itu? Di sini dikemukakan beberapa nama, yang sudah lebih dahulu peduli terhadap nilai‑nilai budaya Dawan. Adapun motif dari kelompok orang tersebut berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada orang yang peduli terhadap nilai budaya Dawan karena minat dan perhatian.

Ada yang didorong juga oleh alasan tugasnya. Juga tidak sedikit kaum akademisi yang akhirnya peduli terhadap budaya Dawan karena tuntutan akademis. Dan terakhir kalangan peneliti yang berminat untuk mengumpulkan data‑data mengenai budaya Dawan untuk kemudian didokumentasikan dan dipublikasikan.  

4.1. Tuntutan Akademis

Di sini hanya akan dibahas dua nama saja yang telah mengabadikan berbagai pikiran dan tradisi lisan etnis Dawan. Dalam memahami budaya lisan Dawan, keduanya mempunyai jalur yang sama yaitu dari kalangan akademisi. Pertama Uskup Atambua, Mgr. Antonius Pain Ratu SVD. Beliau lama bekerja di wilayah Dawan Timor Tengah Utara (ITU), sebagai pastor paroki dan juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah TTU. Ia membandingkan dalam tesisnya perkawinan adat dalam budaya Dawan perkawinan dalam agama katolik. Makna dan nilai perkawinan adat Dawan yang masih dalam bentuk lisan diangkat lebih tinggi dalam analisis ilmiah.

Judul tesisnya adalah AProposed Adat Marriage Rite for Dawanese Catholics. Karya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Upacara Perkawinan Adat secara Katolik untuk Suku Dawan”. Nilai‑nilai adat istiadat perkawinan diambil dan diseleksi untuk kemudian digunakan dalam proses menyusun upacara adat Katolik secara inkulturatif, dengan memperhatikan juga istilah‑istilah dan ungkapan‑ungkapan yang sudah digunakan pada awal tulisan ini. Kedua adalah Dr. Herbert W. Jardner. Selama hampir dua tahun (antara 1991‑1992) beliau membuat penelitian lapangan di Niki‑Niki.

Baca Juga  Nai Mnasi Moa Hitu Cerita Rakyat Timor Tengah Selatan

Penelitiannya bertolak dari tradisi pewarnaan benang dan proses produksi kain Timor tradisional dengan fokus perhatian pada bentuk dan konteks dari berbagai pantun dan syair lisan orang Dawan dialek Amanuban. Selain itu dia menulis juga beberapa. artikel, yang diterbitkan di Jerman berkaitan dengan istilah‑istilah khusus bahasa Dawan. Misalnya arti dan makna dari nekan (hati), tekstil tradisional orang Dawan, pakaian sebagai rumah tubuh. Jardner ingin menjadikan dirinya seorang ahli dalam kebudayaan Dawan (Atoin Meto).

4.2. Minat Dan Kepedulian

Tidak terlalu banyak orang yang membuat publikasi menyangkut kebudayaan Dawan berdasarkan minat dan kepedulian semata. Kendati demikian ada juga orang tertentu yang bertolak dari minat pribadinya, telah membuat berbagai catatan dokumentatif menyangkut nilai‑nilai budaya Dawan. Di sini hanya disebutkan dua tokoh saja Tokoh Pertama adalah Pendeta Dr. Pieter Middelkoop.

Ia merupakan satu dari sekian banyak orang asing yang menaruh perhatian luar biasa terhadap kebudayaan daerah Dawan dialek Amanuban dan Molo. Ia datang ke Kabupaten  TTS tahun 1920‑an. Sebagai seorang pendeta muda, dia mencurahkan perhatiannya hanya kepada budaya Dawan, khususnya bahasa Dawan. Dia mendengar banyak cerita dari masyarakat tentang berbagai hal menyangkut berbagai legenda dan dongeng rakyat. Cerita itu selanjutnya ditulis ulang sebelumn diterbitkkan dalam berbagai publikasi yang ada.

Ada dua nomor bukunya yang berhubungan langsung dengan tradisi‑tradisi lisan. Pertama Sebuah Studi tentang Ritus‑Ritus Kematian Orang Timor(Dawan) yang diterbitkannya tahun 1949. Buku ini berisikan berbagai pembicara yang biasanya digunakan orang Dawan untuk mengungkapkan rasa dukacitanya akan kematian salah seorang anggota keluarganya. Buku tersebut dipublikasikan dalam dua bahasa, yakni bahasa asli (Dawan) dan bahasa Belanda.

Judul aslinya adalah Een Studie von het Timoreesc doodenritueel. Kedua, Tradisi Potong Kepala di Timor dan Implikasi Historisnya. Buku ini diterbitkan oleh Universitas Sidney, Australiatahun 1963 sebagai suatu monografi dalam dua bahasa yakni bahasa Dawan dan Inggris. Judul aslinya adalah Head Hunting in Timorand its Historical Implications. Tokoh kedua yaitu Prof. Dr. H.G. Nordholt Schulte, seorang antropolog sosial berkebangsaan Belanda, yang menulis sebuah buku setebal lebih dari 500 halaman berjudul The Political System of the Atoni of Timor (Sistem Politik Suku Atoni di Timor). Dalam bukunya ini, ia menganalisa sistem politik tradisional orang Dawan bersama segala struktur sosialnya.

H.G. Nordholt Schulte tersebut merupakan karya standar yang cukup lengkap tentang kebudayaan orang Dawan (Atoin Meto), bahkan karya ini bisa menjadi bahan referensi wajib bagi mereka yang membuat penelitian dan penulisan tentang kebudayaan Dawan. Kekurangan karya tersebut terletak pada terjemahan doa‑doa dan pembicaraan adatnya dalam bahasa Inggris yang mengurangi makna asli tradisi‑tradisi tersebut.  

4.3. Usaha‑Usaha Lainnya

Masih ada kemungkinan lainnya untuk turut memacu usaha pelestatian kebudayaan daerah, yang rata‑rata masih tersimpan secara lisan dalam diri Para Pemiliknya atau pemangku adatnya. Yang paling utama bukanlah tersedia atau tidaknya kemungkinan untuk melaksanakan kegiatan pelestarian, melainkan usaha untuk memacu minat para pemilik budaya Dawan agar memperhatikan substansi muatan lokal yang masih dipersoalkan atau paling kurang didiskusikan saat ini. Untuk itu dibutuhkan kerjasama antara pihak pihak terkait, yang bertugas menyeleksi bahan‑bahan tersebut.

Cara lain yang harus diusahakan adalah pemberian nama pada jalan, bangunan, aula, gedung, yang diambil dari tradisi‑tradisi lisan setempat. Di samping itu usaha pribadi orang-­orang yang berminat dengan dukungan moril dan dana insentif dari pernerintah kabupaten. Juga harus didorong pula pembentukan dan pendirian LSM yang bergerak dalam usaha pelestarian nilai‑nilai budaya, misalnya, untuk membidani dan membidangi sanggar‑sanggar, organisasi kerja seni menenun dan menabuh gong, menari dan lain sebagainya.

5. Penutup

Suku Dawan merupakan etnis terbesar dari penghuni Timorbagian barat. Suku ini memiliki kekayaan budaya yang umumnya masih berbentuk tradisi lisan. Salah satu kekayaan atau nilai budayanya adalah pandangan atau falsafah hidup yang digunakan sebagai pedoman arah dalam mengatur kehidupan bersama, menyelesaikan kesulitan dan dalam berinteraksi dengan sesama. Metode dan proses pewarisan nilai‑nilai tersebut juga masih dalam bentuk lisan dari generasi ke generasi. Akibatnya, nilai kekayaan budaya tersebut mengalami penyusutan.

Memang sudah sejak lama beberapa, tokoh (sebagian besar diantara mereka adalah antropolog luar negeri) berusaha mendokumentasikan kekayaan budaya ini, namun jumlahnya masih sangat terbatas. Saat ini kelompok penduduk setempat berupaya untuk melestarikan nilai‑nilai budayanya. Namun upaya itu tidak didasarkan atas perhatian ilmiah tetapi lebih banyak didorong oleh tuntutan ekonomis. Oleh Andereas Tefa Sau  

Kepustakaan  

1. Yohanes E. Garang, “Adat und Gesellschaft. Eine sozio‑ethnologische Untersuchung des Geister‑ und Kulturlebens der Dayak in Kalimantan: dalam Beitraege zur Suedasien­Forschung no. 9. Wiesbaden: Institut Universitas Heidelberg, 1974. 2. Andreas Tefa Sawu, “Dawan: Nama pemberian orang lain” dal Orang Dawan: beberapa catatan kaki, SKM DIAN tanggal 12 Juni 1992 hal. 7; dan “Atoni: nama pemberian sendiri”, dalam Orang Dawan beberapa catatan kaki, SKM DIAN 9 Oktober 1992, hal. 2 dan 4. 3. Herbert Jardner W., Die KUAN‑FATU‑Chronik. Form und Kontext der mündlichen Dichtung der Atoin Meto (Amanuban, Westtimor).  Berlin‑Hamburg: Dietrich Reimer, 1999. 4. J.G.E Riedel: “Die Landschaft Dawan oder West‑Timor” dalam Deutsche Geographische Blaetter, no. 10/1887, hal. 227‑236; 278‑287. 5.  Piet A.Tallo: OKOMAMA: Simbol Pendekatan Masyarakat Timor. Soe 1990. 6. Anton Pain Ratu, “Perkawinan Adat Suku Dawan”, dalam SAWI (Sara Karya Perutusan Gereja), no 5 Mei 1991, 5‑94. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bapak Drs. Antonius Bele. ————–

Tinggalkan Balasan