Telaah Ritual Seksualitas Masyarakat Atoni Pah Meto

KEBUDAYAAN, OPINI56 Dilihat
Oleh: Siti Raisyah
Atoni Pah Meto
Wikipedia
Sifon sebagai Sebuah Budaya Masyarakat Atoni
Seksualitas pada dasarnya telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Bahkan, sejumlah daerah di Indonesia memiliki tradisi yang menitikberatkan seksualitas sebagai suatu sistem budaya yang membentuk pemahaman  masyarakatnya, sehingga pemahaman ini menjadi suatu yang bersifat regenarasi. Namun, yang menarik tradisi seksualitas tersebut kadangkala menjadi bagian integral dalam ritual yang terkait dengan sistem budaya suatu masyarakatyang mana memiliki makna religi atau berkaitan dengan dunia gaib, serta untuk menjaga kosmologis.
Tradisi seksualitas ini salah satunya hidup dalam masyarakat Atoni Pah Meto[i], di mana orang Atoni, dalam hal ini lelaki dewasa, diwajibkan untuk melakukan praktik sunat.Seusai disunat, lelaki masyarakat Atoni diharuskan menjalani suatu ritual yang mana, melakukan hubungan seksual dengan perempuan dalam rangka untuk membuang ‘panas’ (baca: sial, penyakit).
Orang Atoni adalah sebuah kelompok etnis yang mendiami sebagian besar Timor bagian barat, sampai sekarang masih mengenal dan mempraktikkan sebuah tradisi sunat yang disebut futus. Selain itu, sunat tradisional pada Orang Atoni merupakan suatu fase peralihan, dari remaja lelaki  menuju ke tahap kedewasaan. Dengan kata lain, praktik sunat Orang Atoni pada dasarnya berbeda dengan tradisi sunat di Indonesia yang pada umumnya, sunat dilakukan semasa akil balik. Namun, sunat pada Orang Atoni dilakukan oleh laki-laki dewasa berusia antara 20-30 tahun. Pertimbangan sunat dilakukan pada usia tersebut didasarkan alasan pokok, Pertama, apabila sunat dilakukan di usia 20-30-an, kulit kulup penis laki-laki mudah untuk disunat, selain itu karena, kulit kulup penis seseorang tidak terlalu muda, maka sesuai penyunatan kulit kulupnya tidak akan tumbuh lagi. Dan kedua, ada kepercayaan bahwa sunat pada usia ideal (30-40 tahun) sama seperti seekor sapi jantan yang dikebiri, yaitu  dapat menjadikan tubuh laki-laki bertambah besar kekar.[ii]
Dengan kata lain, seorang laki-laki Atoni yang melakukan sunat, pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan prestise di dalam masyarakat, karena telah menjadi persepsi dalam masyarakat Atoni, laki-laki yang tidak melakukan sunat dan sifon, bukanlah seorang laki-laki yang jantan. Oleh sebab itu, akan medapatkan suatu sanksi sosial dengan diolok-olok oleh orang lain. Selain itu, tujuan laki-laki Atoni melakukan sunat dan sifon dalam rangka memperkuat dominasinya sebagai laki-laki terhadap perempuan.
Peta Pulau Timor
Yang unik dari sunat pada Orang Atoni dan berbeda dengan sunat laki-laki pada umumnya ialah laki-laki yang disunat wajib melanjutkannya dengan menjalani tradisi yang disebut sifon. Yang dimaksud sifon ialah hubungan seksual beberapa hari setelah sunat dengan dua-tiga perempuan, dilakukan dalam waktu yang berbeda secara bertahap, dan masing-masing tahap mempunya tujuan tersendiri.[iii]
Tahap pertama, sifon yang sifatnya wajib bagi setiap laki-laki yang baru disunat bertujuan sebagai sarana untuk “membuang panas”.[iv] Pada tahap ini,umumnya hubungan seks dilakukan dengan perempuan yang sudah berumur tua atau mereka yang telah mempunyai beberapa anak. Alasannya, agar lebih mudah pada saat penetrasi, mengingat penis masih dalam keadaan bengkak.
Lalu tahap kedua disebut saeb of (menaikkan badan), yaitu hubungan seks yang dipercaya dapat mengembalikan kesegaran tubuh atau mengembalikan darah yang terbuang pada saat sunat, hal itu mengakibatkan wajah menjadi pucat dan kondisi badan menjadi loyo. Pada tahap ini dianjurkan bersetubuh dengan perempuan yang lebih muda atau masing lajang, karena bertujuan untuk menambah kekuatan penis. Dan tahap ketiga disebutha’ekit(melicinkan, memuluskan).Pada tahap ini ada kepercayaan bahwa hubungan seks dapat menghaluskan luka-luka atau gelambir luka di penis setelah luka di penis mengering dan meninggalkan tanda.
Di sisi lain perempuan yang melayani sifon adalah orang-orang tertentu yang memenuhi syarat seperti, yang sudah pernah melahirkan anak atau sudah biasa melakukan hubungan seksual seperti; misalnya pekerja seks komersial (PSK), istri orang  atau janda. Mereka dianggap memiliki vagina ynag lebar karena dianggap sudah terbiasa berhubungan seks sehingga tidak menyulitkan penetrasi pascasunatketika penis masih dalam keadaan luka dan bengkak.
Lake (1999) mengindentifikasi  bahwa perempuan yang melayani sifon terbagi tiga kategori. Pertama, perempuan yang ditunjuk oleh dukun sunat sendiri dan biasanya dibayar atau diberikan imbalan tertentu, Keduaadalah perempuan yang berprofesi sebagai PSK, dan Ketiga, perempuan yang dicari sendiri oleh laki-laki dengan pendekatan pribadi, namun ada yang melalui semacam black magic (le’u-le;u).[v]Praktik sifon ini pada dasarnya tidak dilakukan pada istri atau pasangan laki-laki itu karena ada anggapan bahwa panas dari suami atau pacar dapat ditularkan kembali pada mereka sendiri.
Dengan demikian, posisi perempuan di dalam masyarakat Atoni, sangatlah dilematis, di satu sisi para perempuan atau istri harus pasrah membiarkan suami atau pacarnya melakukan sunat dan sifon sesuai dengan adat yang berlaku, namun di sisi lain, ada perempuan yang terdesak oleh secara ekonomi, yang akhirnya menyerah kepada nasib dan membiarkan dirinya untuk menerima laki-laki yang akan melakukan sifon dengan imbalan tertentu.
Ironisnya, perempuan yang dijadikan “tempat pembuangan”, kemudian malah dikucilkan masyarakatnya sendiri.Ada bias gender dalam praktik semacam ini.Selain itu, ada juga perempuan yang menjadi korban pemaksaan atau serangan hubungan seksual laki-laki yang telah melakukan sunat. Namun, permasalahan ini bukanlah masalah besar, dengan seorang laki-laki membayar denda 100.000  sampai dengan 400.000 ribu, ditambah dengan seekor sapi, misalnya, terhadap perempuan yang telah dia paksa untuk melakukan seksual, tentulah semua permasalahan menjadi selesai. Karena, perkara itu dianggap selesai, dan masyarakat Atoni menganggap bahwa, pemaksaaan hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang laki terhadap perempuan merupakan kesalahan perempuan itu juga, dia dianggap tidak dapat menjaga dirinya.Sesuai dengan adat di masyarakat Atoni pada bulan-bulan di mana, laki-laki Atoni sedang melakukan sunat dan sifon, perempuan tidak diperkenankan keluar rumah.
Kaum perempuan sebagai bagian integral dalam masyarakat yang mempraktikkan sunat dan sifom membangun persepsi tersendiri tentang praktik tersebut. Persepsi mereka terhadap praktik sifon terbangun dari apa yang didengar, dilihat, dan dialami dalam relasinya dengan laki-laki, pembentukan persepsi kaum perempuan tidak terlepas dari faktor-faktor personal, seperti pengalaman, dan kepribadian. Selain faktor personal, faktor lingkungan sosial budaya (sistem nilai budaya) juga turut mempengaruhi atau membentuk pandangan kaum perempuan Atoni terhadap praktik sifon.  Sumber pengetahuan mengenai sunat dan sifon pada dasarnya telah dianggap  sebagai tradisi turun-temurun yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dan pengetahuan tersebut terus dibiasakan di dalam lingkungan keluarga, karena memiliki saudara laki-laki yang diwajibkan sunat dan melakukan sifon atau mengetahui langsung dari keluarga.
Dikukuhkannya suatu tradisi seksualitas kedalam suatu ritual budaya masyarakat Atoni Pah Meto, yakni praktik sunat yang kemudian dilanjutkan dengan ritual sifon, dengan kata lain telah menguatkan dominasi seksualitas laki-laki terhadap perempuan.
Telaah Analisis Gender dan Seksualitas
Konsep Gender sering diartikan dengan jenis kelamin (sex), hal ini dikarenakan baik gender maupun seksualitas sama-sama menggunaka “seks”, sebuah istilah yang sangat ambigu, sebagai titik rujukan.[vi] Namun pada dasarnya gender berbeda dengan jenis kelamin. Selain itu,. Gender dipahami sebaga sesuatu yang merupakan pemberian Tuhan, padahal gender tidak demikian. Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’, atau seks sebagai aktivitas erotis (melakukan seks)[vii].  Sedangkan, “seksual” merujuk pada kegiatan yang atau atribut yang dimiliki laki-laki dan perempuan.
Definisi tentang gender dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya (Elaine Showalter (ed.), 1989: 3).  Dan Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[viii]
Beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwasannya, gender ialah suatu hal yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan seks, meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex, yaitu jenis  Secara umum seks digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender berfokus kepada aspek sosial, budaya, dan aspek non biologis yang mana, menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas yang terkonstruksi dalam masyarakat. Maskulinitas dan feminitas dibentuk bukan secara biologis, namun secara sosial, kultural, psikologis, yakni atribut yang didapat melalui proses menjadi laki-laki atau perempuan dalam sebuah masyarakat tertentu dalam kurun waktu tertentu.[ix]
Proses historis perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang perempuan  telah melalui proses yang panjang dan  dibentuk oleh beberapa faktor, semisal, kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan,dan sebagainya. Dalam proses yang panjang ini, perbedaan gender menjadi suatu persepsi dalam masyarakat sebagai suatu yang bersifat pemberian Tuhan dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan gender dalam masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Simone de Beauvoir yang pada tahun 1940-an menulis: “seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi dibentuk menjadi perempuan” dan anggaplah bahwa perempuan dibentuk dan dan bukan dilahirkan telah menjadi pusat perhatian dan teori gender.[x]
Budaya Sifon dan Analisis Gender dan Seksualitas
Jika ditelaah lebih dalam menggunakan analisis gender, tidak terlepas dari pendefinisian perilaku gender yang dibangun oleh masyarakat Atoni Pah Meto. Konstruksi sosial dari seksualitas tidak dapat dilepaskan dari pemahaman masyarakat Atoni sendiri mengenai maskulinas dan feminitas. Menjadi ‘lelaki sejati’  secara khusus dihubungkan dengan kejantanan dan kekuatan, keberanian, kehormatan serta tanggung jawab, hal ini terlihat ketika seorang lelaki Atoni memutuskan untuk melakukan praktik sunat dan ritual sifon, dia menanggap bahwa, dengan melakukan sifon, dia akan sehat secara fisik dan dianggap sebagai seorang pria jantan. Selain itu, dia lelaki yang telah melakukan sunat dan sifon tidak akan diolok-olok oleh lingkungannya.  Di sisi lain, Laki-laki  rentan tertekan secara psikologis jika keperkasaannya diserang oleh seseorang yang lebih tua, teman sebaya, serta perempuan.
Oleh sebab itu, seorang lelaki Atoni, memutuskan untuk sunat dan sifon, alasan yang mendasarinya bukanlah persoalan tradisi itu sendiri, melainkan tertekan secara psikologis, karena keperkerkasaanya diseorang oleh seseorang, semisal, dukun sunat di dalam masyarakat Atoni, sedikit-banyak mengetahui siapa saja lelaki Atoni, yang belum melakukan sunat, jika sampai ditegur oleh dukun sunat, hal itu akan membuat laki-laki yang ditegur akan sangat malu, bahkan orang-orang di lingkungan sekitarnya akan mengucilkannya karena, laki-laki tersebut dianggap tidak jantan dan dianggap telah melanggar tradisi yang turun-temurun.
Sistem nilai budaya dibalik praktik sifon menggambarkan sebuah ideologi yang sangat mempengaruhi tindakan seksual terhadap perempuan serta tipe hubungan laki-laki dan perempuan.Dalam masyarakat Atoni Pah Meto yang masih kuat struktur patriarkinya, perempuan menjadi objek dari sebuah kekuasaan yang bersifat patriarkis. Kekuasaan yang bersifat patriarkis ini pada dasarnya terwujud pembagian gender dan subordinasi perempuan didasarkan pada heterokseksualitas  yang “melembagakan dominasi seksual laki-laki dan kepatuhan seksual perempuan”[xi].
Praktik-praktik seks yang dilakukan masyarakat Atoni Pah Meto, baik secara sukarela maupun paksaan, harus dilihat sebagai proses pelestarian struktur dominasi gender. Praktik seks tersebut mempunyai dimensi ganda. Pada satu sisi sebagai ekspresi dari sebuah sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, sedangkan di sisi lain meneguhkan dominasi laki-laki ata perempuan (sehingga besifat normatif). Standar ganda seksualitas yang pada satu sisi permisif bagi laki-laki dan di sisi lain tidak permisif bagi perempuan tidak aja mengakibatkan praktik ini tumbuh subur , tetapi sekaligus juga semakin menguatkan dominasi seksualitas laki-laki terhdap perempuan. Dominasi kuat tersebut menyebabkan perempuan ditempatkan pada posisi tidak berdaya dan tidak berani menolak tuntutan tradisi sifon.Ironisnya, perempuan sendiri menerima hegemoni nilai yang ada dibalik sifon sebagai sebuah tradisi yang wajib dan tidak bisa ditolak.

Catatan Akhir:



[i]Secara lengkap biasa disebut Atoni Pah Meto yang secara harafiah berarti “Manusia Tanah Kering”, namun lebih sering hanya disebut Atoni saja yang berarti manusia.Penyebutan ini berkaitan erat dengan mitos tentang asal-usul mereka.Dalam beberapa tradisi lisan disebutkan bahwa mereka datang dari laut mencari daratan atau tanah yang kering.Oleh karena itu, ketika mendarat di pulau ini, mereka menyebut diri sebagai Atoni Pah Meto (Manusia Tanah Kering).
Atoni Pah Meto adalah sebutan untuk sekelompok etnis yang mendiami bagian terbesar wilayah Timor bagian barat, yang saat ini termasuk wilayah Kabupaten Timor bagian barat yang saat ini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Timur  Utara, Timor Tengah Selatan, serta sebagian besar Kabupaten Kupang. Lihat, Frederika Tadu Hungu. Sifon: Pedang Bermata Dua Bagi Perempuan, (Yogyakarta: Ford Foundation & PSKK UGM, 2005), p. 1-2.
[ii]Ibid, p.2.
[iii]Ibid, p, 3.
[iv]  Konsep kosmologis orang Atoni bersifat dikotonomis .konsep “panas” (mapututu) diartikan negative atau buruk, yaitu bala, atau penyakit, sedangkan “dingin” bersifat positif , yaitu keadaan baik, sehat, dan sejahtera.Tubuh laki-laki dianggap mengandung panas. Agar panas berubah dingin, maka harus ada proses pendinginan melalui sebuah sarana pendinginan. Praktik Sifon (dingin, pendinginan) menjadi sarana untuk pembuangan panas (membuang bala, penyakit) dari tubuh laki-laki.p. 3.
[v]Ibid, p. 4.
[vi] Stevi Jackson dan Jackie Jones (ed). Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009) , p. 225.
[vii]Ibid.
[viii]Ibid
[ix]Ibid, p. 228.
[x]Ibid, p. 227.
[xi]Ibid, p. 35.
Referensi       :
Hungu. Frederika Tadu. Sifon: Pedang Bermata Dua Bagi Perempuan, Yogyakarta: Ford Foundation & PSKK UGM, 2005.
Stevi Jackson dan Jackie Jones (ed). Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2009.
Jones, PIP. Pengantar Teori-Teori Sosial : Dari Fungsionalisme hingga Post-Modernisme, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (YOI), 2010.
Showalter, Elaine (ed.) Speaking of GenderNew York & London: Routledge, 1989.
 
Baca Juga  SIFON ( Sunat lalu...) Tradisi Atoin Meto

Tinggalkan Balasan