Nai Mnasi Moa Hitu Cerita Rakyat Timor Tengah Selatan

SEJARAH65 Dilihat

Dahulu kala, pada zaman purba, di pulau Timor hiduplah seorang yang manusia yang bernama  Natui Noe, dan istrinya bernama Bimana dengan akun: Obe.  

Pada zaman itu, Natui Noe menjadi bagian saudara dari dua belas kakak-beradik yang kemudian berkembang menjadi dua belas suku di Timor Barat.

Kedua belas kakak-beradik tersebut kemana-mana pada zaman itu selalu bersama-sama. Pada suatu saat, mereka bersepakat untuk mencari  takaf (tanda) masing-masing yang akan diberikan oleh Uis Neno.

Gunung Batu Fatukopa di Desa Fatukopa – Kecamatan Fatukopa – Timor Tengah Selatan

Perjalanan mencari takaf mulai dilakukan dan konon pada zaman tersebut, jarak langit dan bumi tidaklah sejauh sekarang ini  sehingga panas matahari sangat menyengat pada siang hari sedangkan malam hari dingin tak tertahankan.

Perjalanan kakak-beradik ini terus dilakukan  dengan penuh sungutan karena panasnya matahari, kecuali Natui Noe yang tetap tekun berjalan tanpa mengeluh.

Suatu saat tibalah mereka pada suatu tempat yang bernama Fatu Na Neno, panas matahari tidak lagi tertahankan, mereka berhenti dan makan pisang, tetapi sungutan dan omelan dari kakak-beradiknya terus saja berlangsung sampai memicu pertengkaran antara kakak-beradik, mereka kesal karena tidak dapat bertemu dengan Uis Neno untuk mendapatkan takaf  mereka masing-masing.

Natui Noe, dengan tidak peduli pada omelan dan pertengkaran kakak-beradiknya, terus saja memakan pisang sambil memandang ke telaga air yang ada ditempat peristirahatan mereka di Fatu Na Neno, lalu ia melihat bayangan Uis Neno dalam air, kemudian ia menegadah ke langit dan melihat ada matahari dan bulan, lalu mengertilah Natui Noe bahwa Uis Neno ada di langit dan di bumi, lalu ia pun mengatakan pada kakak-beradiknya bahwa  ia tidak mau ikut mencari lagi takaf Uis Neno lagi sebab selama ini mereka capai dan berlelah mencari Uis Neno padahal Uis Neno di langit dan bumi.

Kakak-beradiknya bertambah marah dan berkata : ” Natui Noe, Kau ini bagaimana ? kita mencari takaf Uis Neno karena ada Nobin (bekas kaki) lewat sini, tapi kamu mengatakan bahwa Uis Neno ada di langit dan bumi, kami tidak mengerti.

Kakak beradik ini memaksa Natui Noe agar mereka melanjutkan perjalanan mencari takaf Uis Neno tetapi Natui Noe tidak mau dan tetap pada pendirianya untuk menghentikan perjalanan karena baginya ia telah menemukan takaf Uis Neno.

Akhirnya kakak-beradiknya mengatakan : jika engkau telah menemukan takaf Uis Neno coba buat agar neno (siang /matahari )  jangan terlalu  panas seperti ini, buatlah langit meninggi dan bumi merendah supaya kalau siang kita jangan terlalu kepanasan dan kalau malam kita jangan kedinginan.

Baca Juga  Mengenal Bupati Pertama Kabupaten Kupang

Maka  tiba-tiba Natui Noe mendapatkan kesaktian yang luar biasa dimana  tubuhnya berubah bentuk menjadi tinggi sekali dengan tujuh ruas dan tujuh buku.

Kesaktian yang diperolehnya ini dapat membuat Natui Noe menjauhkan jarak langit dari bumi.

Bersamaan dengan itu turunlah  hujan dan angin dari langit selama tujuh siang, tujuh malam, bahkan bumi bergetar seperti nainunus (gempa bumi).  

Kakak – beradik tersebut kemudian menyadari bahwa Natui Noe telah menemukan takaf-nya, yaitu tubuhnya yang berubah bentuk menjadi “tujuh ruas” atau yang dalam bahasa atoni pah meto disebut Moa Hitu.

Sejak saat itulah, Natui Noe disapa dengan nama Moa Hitu yang artinya tujuh ruas.  

Kesebelas kakak-beradik itu kemudian berkata kepada Moa Hitu  : “Engkau sudah boleh kembali karena engkau telah menemukan takaf-mu  Moa Hitu, kami belum bisa kembali bersamamu karena kami masih harus mencari  takaf kami”.


Akhirnya kesebelas kakak-beradik ini melanjutkan perjalanan mencari takaf mereka masing-masing, sedangkan Moa Hitu lebih dahulu kembali ke kampung  dan dengan tak sabar ingin menemui istrinya serta anak-anaknya untuk menyampaikan kabar gembiara itu.  

Namun sayang seribu sayang  dalam perjalanan pulang tersebut  Moa Hitu merasa sangat gelisah ketika menyadari bahwa dirinya bukan lagi Natui Noe yang dulu.

Ia mulai menyadari bahwa dibalik kesaktianya ada justru ada masalah besar yang menimpanya. Masalah tersebut adalah bagaimana cara untuk masuk kedalam rumahnya  bila Ia sudah tiba di kampung halamanya nanti ?

Bagaimanan Ia harus makan bila lapar ? sebab Ia mulai merasakan kelainan yakni tidak merasa  kenyang lagi hanya dengan memakan makanan yang biasa dimakanya.

Bagaimana caranya untuk tidur bila Ia mengantuk ?  sebab tubuhnya sangat besar dan panjang.  Bagaimana untuk membungkus badanya bila hujan ?

Masalah-masalah dibalik kesaktian yang dirasakan Moa Hitu sebagai makluk raksasa itu telah membuat dirinya gelisah. Untuk itu Moa Hitu memilih untuk tidak pulang  tetapi ia berjalan dan mengembara dari satu tempat ke tempat lain, sementara kakak-beradiknya yang bersama-sama mencari takaf  sebagian besar sudah kembali ke kampung halamanya kecuali Mutim Olanit (saudara kulit putih kemerahan) dan Metnam Falikis  (saudara kulit hitam legam dan keriting) yang terus melanjutkan perjalanan mereka mencari takaf.


Perjalanan pengembaraan Moa Hitu selalu melewati banyak tempat hanya dengan sekali melangkah dan bila ia menginjakan kakinya baik diatas tanah atau batu selalu meninggalkan bekas telapak  kakinya.

Baca Juga  The establishment of the Portuguese and Dutch on Timor

Bekas kaki dari Moa Hitu masih bisa dilihat di sebuah batu di kampung Mnela Puilin desa Manufui, Kecamatan Amanatun Selatan dan juga di desa Sanbet, Kecamatan Amanatun Utara serta masih ada lagi pada beberapa tempat di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Karena kesaktian yang dimilikinya maka jika Moa Hitu lapar akan terjadi bencana alam dimana-mana, ada kekeringan, banyak ibu-ibu hamil keguguran bahkan jika ia marah maka bergetarlah bumi karena terjadi gempa  sedangkan jika ia kenyang maka akan ada kelimpahan di mana-mana,  hasil buruan akan berlimpah karena binatang hutanpun dapat dating dengan sendirinya.


Kondisi tubuh Moa Hitu yang panjang dan besar membutuhkan tempat yang luas untuk dapat tidur, Moa Hitu harus memilih tidur dengan cara badanya direntangkan diatas tanah sedangkan leher dan kepalanya disandarkan  pada pohon Tua’  dan  pohon Tua‘ tempat Moa Hitu menyandarkan leher kepalanya akan terlihat dari kejauhan sepertinya bercabang dan karena itu tempat tersebut kemudian dinamakan Tua’ masbake.  

Sampai saat ini yang artinya pohon Gewang dengan tempat bertumpu atau Pohon Gewang dengan tempat bergantung / bersandar.


Untuk menutupi tubuhnya, Moa Hitu menganyam daun gewang menjadi selimut baginya. Tahun berganti tahun, bulan pun berlalu, Moa Hitu tak kunjung pulang, Ia melakukan pengembaraan ke tempat-tempat jauh menghindari  kakak beradik, anak dan istrinya.

Di lain sisi, kakak-beradik serta anak sudah beranak cucu dan sudah banyak jumlahnya, sehingga masing masing telah mencari tempat tinggal yang baru.


Suatu saat dalam pengembaraannya  Moa Hitu teringat akan anak istrinya. Rasa rindu tak tertahankan lagi maka dikuatkanlah hatinya untuk  kembali.  

Sementara di rumahnya, Bi Mana pun sudah mengetahui tentang perubahan bentuk tubuh dan keadaan suaminya dari ceritera para kakak-beradik.  

Baca Juga  Kepercayaan Atoin Meto tentang Buaya

Walaupun sempat terkejut tapi Bi Mana tidak mempersoalkan perubahan tubuh suaminya. Bagi Bi Mana,  Moa Hitu tetaplah suaminya sebagaimana Natui Noe yang dulu Ia kenal.

Bi Mana bahkan  sedang menenun untuk membuatkan selimut yang besar guna dapat dipakai oleh Moa Hitu yang besar itu. Beberapa saat kemudian maka tibalah Moa Hitu di kampung halamanya.  

Ketika hendak mendekati rumahnya, Moa Hitu melihat istrinya sedang menenun dengan membelakanginya. Tiba-tiba, anyaman daun gewang yang dipakai membugkus tubuh Moa hitu terlepas dan auratnya yang seperti ular mengagetkan istrinya yang sedang menenun, sehingga dengan tanpa sadar Bi Mana sang Istri mecabut Senu lalu memukul aurat Moa Hitu dengan sangat keras dan menyebabkan Moa Hitu meninggal dunia.

Itulah penyebabnya mengapa sampai hari ini masyarakat di Timor Barat pemali untuk memukul dengan Senu atau bahkan untuk mengayunkan senu pada seseorangpun  adalah sesuatu yang sangat dikeramatkan ( le’u ) karena menurut kepercayaan masyarakat Atoni Pah Meto hal itu dapat membuat umur seseorang menjadi pendek.


Kematian Moa Hitu menimbulkan duka yang dalam di antara saudara-saudaranya yang kemudian berdatangan untuk melayat sampai-sampai  terjadilah perebutan jenasah  diantara  kakak-beradik.

Masing – masing merasa yang paling berhak atas jenasah dimaksud. Walaupun demikian pada akhirnya terjadilah kesepakatan untuk membagi jasad Moa Hitu dengan pembagian sebagai berikut :

Suku Sole Neno mendapakan bahagian Kepala, lalu menguburkanya pada suatu tempat dimana kepala Moa hitu dikuburkan dengan posisi menuju arah Nenosaet  (Timur).

Tempat tersebut masih ada sampai sekarang dan dijaga dengan sangat rahasia oleh suku Sole, sampai dengan ceritera ini ditulis. Bebepa puluh generasi kemudian di samping kuburan Kepala Moa Hitu dikuburkan juga dua orang yang dipercayai oleh keluarga Sole sebagai turunan dari  Moa Hitu dan mewarisi namanya yakni Moa Sole dan Moa Nomnafa dengan posisi mengapit kuburan Kepala Moa Hitu. Tempat kuburan itu kemudian dinamakan Nai Mnasi Nakan.


Suku Liu Rai   mendapatkan bahagian Badan dan Tangan, lalu menguburkanya di antara Biudukfoho dan Tupa Suku Rais Uf mendapatkan  bahagian kedua Kaki Moa Hitu dan menguburkanya pada salah satu tempat di wilayah Kupang.

http://nikodemus-solle.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

Tinggalkan Balasan