Jauh terpencil di pedalaman pulau Timor berdiri sebuah gunung batu. Gunung batu ini diberi nama Fatukopa oleh warga sekitar. Selain Karena bentuknya yang menyerupai kapal besar di lautan luas (Kira-kira sebesar kapal motor Kelimutu, dulu), juga karena legenda sekitarnya yang menceritakan bahwa itulah sebuah kapal yang pernah karam jutaan tahun yang lalu ketika daratan Timor belum terbentuk. Ada yang menyebut-nyebut bahwa Fatukopa adalah fosil bahtera Nuh sebagaimana terdapat dalam Kisah Kejadian dalam Alkitab. Namun tentang hal ini tentu saja amat sulit dipercaya.
Fatukopa sesungguhnya adalah sebuah bukit karang dengan sedikit vegetasi khas hutan hujan tropis. Nama kecamatan (dan desa) di mana bukit batu itu terletak dinamakan pula Fatukopa. Kini warga kecamatan Fatukopa tersebar 7-8 km di sekitar gunung batu tersebut, dari Timur, Barat, Utara dan Selatan. Tanah sekitar Gunung Batu tersebut adalah tanah numpang yang mudah longsor. Setiap tahun pemandangan yang biasa adalah reruntuhan tanah putih di sekitar bukit yang berdiri tegak kehijauan.
Fatukopa merupakan tempat keramat. Tidak sembarang orang boleh mendaki ke sana. Kalau pergi tanpa restu dari para tetua adat, kau tak akan sampai pada puncak. Konon, untuk mencapai puncak, seseorang mesti melalui jurang yang sangat dalam, yang bisa jadi adalah belahan palung di bukit tersebut. Pada jurang tersebut ada seekor ular besar, yang akan memberi dirinya menjadi jembatan. Artinya kau harus meniti di atas badan ular tersebut. Ular itu sekaligus adalah penjaga bukit batu itu. Nah, siapa berani mendaki ke sana. Sampai sekarang ini, hanya tetua ada yang setiap setahun sekali berangkat ke sana. Tentu saja untuk urusan adat.
Untuk kepentingan wisata, masyarakat sekitar paling-paling, membawa wisatawan, memandang bukit tersebut dari kejauhan. Memang dengan pandangan jauh, bukit batu itu akan terasa sekali bentuk kapal karamnya. Pada sekitar tahun 1980-an ada ekspedisi dari Australia yang mengelilingi bukit tersebut dengan helicopter. Menurut pengakuan mereka, sama sekali tak ditemukan tempat yang cocok untuk pendaratan. Semuanya tertutup vegetasi. Akhirnya, para ahli, kemungkinan ahli botani, atau bisa jadi sekedar para wisman, hanya berkeliling di sekitar bukit batu. Saya sendiri waktu itu bertemu dengan para kase yang sempat dijamu di balai desa. Dengan mata seorang anak, niat para tim ekspedisi itu cuma saya ketahui seadanya dari cerita orang-orang desa.
Bukit Fatukopa tetap tegar dan menjadi salah satu tempat kebanggaan (dan keramat) orang-orang Amanuban. Untuk itu ada pula legenda lain yang mengatakan bahwa bukit Fatukopa merupakan tempat pertama pendatang dari Madagaskar menetap untuk kemudian berbaur dengan penduduk yang ada dan menurunkan orang-orang Dawan sekarang ini.
Apapun cerita, fakta maupun fiksi seputar Bukit Batu itu, kenyataannya, bahwa orang-orang yang tinggal sekeliling bukit batu itu masih jauh dari sejahtera. Mereka benar-benar masih berciri kampung Indonesia: tak ada listrik, kekurangan air bersih, transportasi yang sulit dan masih lain-lain lagi: pendidikan terbatas, sarana kesehatan minim. Kendatipun sudah menjadi kecamatan sendiri, hasil pemekaran dari kecamatan Amanuban Timur pada tahun 2009, toh yang baru menjadi ciri kecamatan di daerah itu hanyalah “gedung kantor camat” yang diisi senin sampai Jumat oleh para pegawai yang berumah di Kota Soe dan Oeekam, pusat kecamatan induk. Sarana lainnya masih nunut pada kecamatan induk.
Persoalan lain seputar bukit Batu Fatukopa adalah perebutan tapal batas. Fatukopa Termasuk wilayah TTS yang langsung berbatasan dengan TTU dan Belu. Tak pelak, penduduknya sering berebut lahan garapan, akibat tapal batas di beberapa Desa tidak jelas. Rupanya tapal batas resmi dari pemerintah belum sejajar dengan tapal batas adat. Makanya tidak heran, hampir setiap kali terjadi konflik perebutan tanah yang tak jarang menimbulkan korban tewas.
Entah sampai kapan. Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari fatukopa? Mungkinkah juga sesuatu yang baik datang untuk fatukopa? Kita tetap berharap!
by : aklahat