Oleh : DRS. Wilfridus SILAB, M.Si
Penduduk pulau Timor seperti juga penduduk di pulau-pulau lainnya di Nusa Tenggara Timur telah terbentuk oleh sejumlah besar migrasi jauh sebelum kedatangan penjajah Portugis dan Belanda. Hal ini terbukti dari semua laporan tentang pulau Timor yang sangat terkenal karena kayu cendana putihnya sejak zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kejadian yang telah berlangsung ratusan tahun itu menjadikan pulau ini bagaikan sebuah jambangan besar yang menampung dan mencampurbaurkan semuanya. Walaupun demikian, percampuran ini tidak sampai mengaburkan identitas kelompok etnis-etnis yang masih terus bertahan di Pulau Timor ini. Jadi, Atoin Timor yang terdiri dari berbagai kelompok etnis tetaplah Atoin Timor dari dahulu hingga sekarang.
Kekayaan kayu cendana putih (Santalum Album, L.) dari pulau Timor sangat menarik minat dan perhatian dunia luar selama berabad-abad. Sementara dunia kehidupan Atoin Timor juga sangat menarik perhatian para ilmuwan seperti: Mendes Correa, Louis Berthe, Grijzen, Bijlmer, Keers, Vroklage, Adolf Bastian, Heijmering, Middelkoop, Cunningham, Schulte Nordholt, James Fox, Boxer, Bellwood, Ormeling, Jardner dan masih banyak peneliti lain baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Seperti yang dikatakan Peter Bellwood (1985:190) bahwa adanya penduduk di Pulau Timor sekurang-kurangnya sudah sejak 13.500 tahun lampau dengan penemuan artefak-artefak dalam empat gua di Timor-Timur. Kelompok penduduk ini hidup dari berburu dan mengumpulkan hasil hutan. Penduduk ini dianggap sebagai sisa ras Austro-Melanesia yang kemudian terdesak oleh perpindahan ras Austronesia ke bagian Selatan Taiwan antara tahun 3000 sampai dengan 1000 SM. Perpindahan ini merupakan dasar perubahan biologis, linguistis dan kultural yang besar pada jaman prasejarah di kepulauan Indonesia. Praktek-praktek kutural di wilayah Indonesia bagian Timur seperti: pegayauan (pemenggalan kepala), pembuatan tato dan pakaian dari kulit kayu disertai kepercayaan-kepercayaan animistis merupakan bukti kuat adanya pengaruh kebudayaan Austronesia. Masyarakat tradisional yang tampil dengan pemeliharaan hewan-hewan seperti: babi, diperkirakan sudah ada sejak tahun 2500 SM. Ini terbukti dengan penemuan rangka hewan tersebut dalam penelitian arkeologis di gua-gua itu. Sedangkan anjing, sapi dan kambing baru ada sekitar tahun 1000 SM (Bellwood, 1985: 227 dan 230). Dua hewan terakhir (sapi dan kambing) untuk pulau Timor baru dikenal pada zaman Belanda.
Elemen-elemen biologis dan linguistis yang terdapat pada beberapa kelompok etnis di Pulau Timor menunjukkan adanya hubungan erat antara Indonesia dengan Melanesia pada awal mula. Elemen Melanesia ini lebih banyak merupakan sisa-sisa penduduk pra-Austronesia tetapi ada juga hubungannya dengan kebudayaan Lapita yang berasal dari orang Melanesia dan Polinesia Barat. Kebudayaan Lapita yang perkembangnnya dijiwai oleh perpindahan penduduk Austronesia, muncul sekitar tahun 2000-500 SM melalui perdagangan barang-barang tembikar dan obsidian. Dengan demikian, dapat diduga bahwa kebudayaan Lapita ini sudah berpengaruh juga terhadap kesenian tradisional di Indonesia bagian Timur sejak dahulu kala (Newton dan Barbier, 1988: 14 dan 23).
Gelombang besar perpindahan penduduk yang mungkin juga mempunyai imbas sampai ke Pulau Timor ini adalah dari kebudayaan perundagian atau Dongson. Ini sebuah arus kebudayaan jaman perunggu yang berasal dari Vietnam Utara sekarang. Antara tahun 500 SM sampai 100 Sesudah Masehi-kebudayaan Dongson mendatangkan kebiasaan bercocok tanam padi, pemilikan sistem sratifikasi sosial dan keterampilan-keterampilan teknis termasuk alat penahan punggung (salah satu peralatan menenun) yang dikenal hampir di seluruh kepulauan Indonesia (Belwood: 1985: 275). Sebelum Pulau Timor menerapkan kebiasan bercocok tanam padi secara meluas yang hanya terdapat di beberapa bagian pulau dengan produksi sangat sedikit, kebudayaan Dongson pun memasuki pulau ini.
Barangkali sama-sama penting untuk pembangunan Pulau Timor yaitu isolasi relatifnya dari gerakan-gerakan budaya utama yang menjalar melalui pulau Jawa dan pulau-pulau lain ke bagian Utara. Perpindahan penduduk dari India pada awal abad 7 Masehi yang membawa serta agama Hindu dan Budha merupakan dua kebudayaan yang bertumbuh subur, namun hanya mencapai Jawa, Bali, Lombok dan Sulawesi. Penyebaran agama Islam pada awal abad 13 yang terus bertumbuh subur menjadi agama besar di Indonesia sedikit sekali pengaruhnya di Pulau Timor. Kedatangan orang-orang Islam ke Pulau ini dari Sulawesi Selatan tidak meninggalkan bekas pengaruh berupa ajaran agama. Karena pada mulanya mereka datang untuk mencari keluarganya, kemudian meminta bantuan dan akhirnya berdagang kayu cendana. Dalam tradisi lisan dikisahkan bahwa penduduk pulau Timor berperang melawan orang-orang Islam itu di bawah sebutan: Pen-pene Makasar, Lub-luba Makasar (Bendera-bendera Makasar dan Jilbab Makasar). Kedatangan mereka dipimpin oleh seorang Sultan dari Makasar; Sultan Mudafar atau Kraeng Tallo; dan pasukannya disebut: Jabas Bijokis, Bugis-Makasar (Jawa-Bajo, Bugis-Makasar).
Secara garis besar Pulau T
imor bagian Barat dihuni oleh dua kelompok suku yaitu: Suku Melus (nenek moyang orang Belu di bagian Timur) dan suku Atoni di bagian Barat mulai dari Biboki hingga Kupang. Dua kelompok suku ini juga merupakan akibat perpindahan penduduk beratus-ratus tahun lampau. Dan jauh sebelum perpindahan ini, sudah ada penduduk (Atoni) dengan ciri khas Melanesia yaitu: postur tubuh pendek, kulit hitam atau gelap dan berambut keriting; meskipun ciri khas ini lebih menyata di bagian Barat daripada di bagian Timur.
Hal ini tidak seluruhnya terjadi di bagian Barat Pulau Timor. Sebab penduduk Atoni di daerah Insana dan Biboki menunjukkan ciri khas Melayu yang lebih dekat dengan tetangganya di daerah Belu yang berbahasa Tetun (Schulte Nordholt, 1971: 22. Selain itu ada juga kelompok etnis lain yang merupakan hasil perkawinan campur antara orang Portugis dengan penduduk pribumi yang dikenal dengan sebutan: Topasses/Toepazen, Black Portuguezen, Trechtokten, Metan Falikas, Kase Metan (Portugis Hitam) di Oekusi dan Noemuti misalnya. (bdk. Middelkoop, 1968: 95 dan seterusnya).
Mengenai suku atau kelompok etnis yang mendiami Pulau Timor bagian Barat ini, terdapat sebutan dan interpretasi yang berbeda-beda. Orang Belu menyebutnya: Dawan/Rawan, yang untuk lidah Atoni sendiri: Laban. Para pedagang dari luar Pulau Timor menyebutnya :Atoni; sedangkan orang Rote dan Sabu menyebutnya: Sonnebai (Rakyat Sonbai). Ormeling menggunakan ungkapan: The Timorese Proper (Orang Timor Khusus). Dan akhirnya Pieter Middelkoop menyebutnya: Atoni Pah Meto (People Of The Dry Land yang artinya: penduduk, orang atau manusia-dari tanah kering). Selanjutnya tulisan ini akan mencoba menelaah nama dan ciri khas rasial Atoni ini sebagai satu suku, atau kelompok etnis yang mendiami bagian terbesar pulau Timor bagian Barat.
Istilah Dawan adalah ucapan lidah orang Belu terhadap Atoni kecuali orang Rote, Sabu, China atau penduduk lain atau luar pulau tidak tergolong ke dalam sebutan ini. Istilah dawan ini mungkin saja berhubungan dengan ungkapan: Kenu Rawan yaitu orang-orang Belu (keturunan Melus) yang terus menerus terdesak dan semakin jauh yang akhirnya hilang dari daerah asalnya sendiri. Mereka terdesak oleh para pendatang baru dari luar sampai ada yang mengira bahwa mereka itu bukan keturunan Melus. Desakan ini disebabkan oleh peperangan sehingga mereka terus mengungsi ke bagian Barat di daerah sekitar pegunungan Mutis (A.D.M. Parera, 1994). Bagaimana pengungsian ini tidak tertuju ke suatu wilayah yang masih kosong sama sekali. Karena sejak semula wilayah ini sudah berpenghuni yaitu kelompok suku atau etnis yang disebut Atoni itu. Maka Atoni Pah Meto (People Of The Dry Land) sebagaimana dikatakan Middelkoop agaknya merupakan sebutan paling tepat dan asli. Sedangkan Dawan baru dipergunakan kemudian.
Selain istilah Dawan, Atoni merupakan ungkapan asli bagi penduduk yang menghuni bagian Barat Pulau Timor sejak sediakala (Noko na’kakoba). Dalam arti luas, Atoni berarti: manusia, orang atau penduduk. Sedangkan dalam arti sempit Atoni berarti: laki-laki (pria) dengan lawan jenisnya adalah: Bifel (Perempuan atau wanita). Pada prinsipnya ungkapan Atoni Pah Meto dari Middelkoop itulah yang dianggap tepat, aktual dan relevan dalam konteks pembicaraan kita sekarang. Selain berarti orang, penduduk atau manusia dari tanah kering, ungkapan itu dapat juga berarti: orang yang tidak bersekolah, buta huruf, bukan pegawai, tinggal terisolir di kampung-kampung di pegunungan dan hidupnya hanya dari berladang, berhuma, mengumpulkan hasil hutan dan sebagainya. Seringkali ungkapan itu disingkat: Atoin Meto, dengan pengertian yang sama yang dibedakan dari pegawai di kantor: Kase (Walaupun anak dari kampung sendiri).
Terlepas dari cocok tidaknya sebutan atau ungkapan tersebut, yang jelas bahwa penduduk di pedalaman Pulau Timor menyebut dirinya: Atoin Timor atau Atoin Pah Meto yaitu penduduk pedalaman dengan mata pencaharian utama adalah pengolahan lahan atau tanah kering. Hal ini sudah sangat lazim digunakan dengan maksud untuk membedakan dirinya dengan penduduk dari daerah lain, pegawai kantor atau penduduk di pesisir pantai: Kastaes atau Atoin Taes Nonof. Namun yang terpenting adalah bahwa di dalam ungkapan: Atoin Pah Meto itu tidak hanya disebutkan ciri khas rasialnya tetapi juga kebudayaannya yang bersumber pada pengolahan tanah kering. Dan dari tanah kering itulah berkembanglah aspek-aspek kebudayaannya seperti: politik, hukum, religi/sistem kepercayaan asli, ekonomi, kesenian dan sebagainya.
Sejak dahulu kala hingga dewasa ini, Atoni dengan tegas dan jelas membedakan dirinya dari Kase yang artinya orang yang tidak berprofesi sebagai Atoin Meto. Bagi Atoni sendiri Kase dibedakan atas: Kaes Muti (Orang kulit putih yang menunjuk pada orang Belanda atau pejabat di kantor). Kaes Muti ini dipertentangkan dengan sebutan Kaes Metan (Orang yang berpakaian dan bertopi hitam atau berkulit hitam namun lebih berbudaya dan beradab dari Atoni sendiri). Sebutan ini diberikan kepada orang keturunan campuran antara Portugis dengan penduduk lokal di daerah koloni mereka: Afrika, India, Malaka, Solor dan Timor (Oekusi dan Noemuti). Dewasa Ini sebutan Kaes Metan tatap diberikan kepada penduduk atau orang Noemuti yang pernah berada di bawah kekuasaan Portugis Hitam (Da Costa dan Dengan Hornay). Sedangkan pandatang dari luar yang kira-kira masih sederajad taraf hidupnya dengan Atoni disebut: Bikeun’in atau Atoin Matbute (Penduduk atau orang asing yang belum dikenal dan sama sekali tidak ada hubungan kekerabatan dengan Atoni).
Bagian Barat Pulau Timor yang didiami Atoni atau Atoni Pah Meto meliputi Kabupaten Timor Tengah Utara (Biboki, Insana, Miomaffo Barat dan Miomaffo Timur); Kabupaten Timor Tengah Selatan (Amanatun, Amanuban dan Mollo); dan Kabupaten Kupang (Amarasi, Amfoan, Amabi, Fatule’u dan Kupang). Dalam konteks ini, penduduk Ambenu (Wilayah Timor Leste sekarang) termasuk juga Atoin Pah Meto dan merupakan daerah asal kelompok etnis di Timor Indonesia.
Berdasarkan wilayah tempat tinggal, bahasa (Dialek atau logat), ciri kain tenun bahkan cara mengenakan pakaian, penduduk di daerah Atoni dapat membedakan dengan jelas satu sama lain. Dengan kata lain, bahasa (Dialek, logat atau intonasi), pakaian dan cara berpakaian disertai kebiasaan-kebiasaan lainnya dapat menunjukkan identitas dan daerah asal seseorang. Maka penduduk Atoni terdiri dari: Atoin Bi
bokis (Penduduk Biboki); Atoin Insanas (Penduduk /orang Insana); Atoin Miomaffos (Penduduk/orang Miomaffo yang dibedakan lagi atas: Atoin Nu’fin= orang Miomaffo Barat di daerah pegunungan; Atoin Tunbabas (Orang Tunbaba); Atoin Beunsin atau Ni’beun’in = orang atau penduduk Ambenu dan sebagian wilayah Manamas dan Wini; Atoin Bikomis (orang atau penduduk Bikomi); Atoin Kaes Metnin (Orang atau penduduk di daerah Noemuti). Selain itu Atoin Banamsin (Orang Banam yang meliputi: Amanatun dan Amanuban); Atoin Molsin (Orang atau penduduk Amfoan); Atoin Amraesin (Orang atau penduduk Amarasi); Atoin Amaebsin (Orang atau penduduk dari Amabi); Atoin Kopsin (Orang atau penduduk Kupang); Atoin Pusmausin (Orang atau penduduk Semau).
Antara wilayah Belu dan Atoni masih terdapat penduduk peralihan (Tansisi) yang terdiri dari: Atoin Manlea (Orang atau penduduk Manlea yang berbahasa Dawan /R/ dapat juga berbahasa Tetun). Juga Atoin Tfuilsin (Orang atau penduduk di perbatasan Belu dan Amanuban atau Amanatun); yang sama juga dengan Atoin Ansin (penduduk Anas/Toianas di perbatasan antara Amanatun dengan Belu Selatan). Baik orang Tafuli maupun orang Toianas/Anas dapat berbahasa Dawan dengan dialek Timor Tengah Selatan juga Bahasa Tetun. Dan tentu saja masih sangat banyak perbedaan lain yang tidak disebutkan di sini.
Keanekaragaman ini merupakan kekayaan yang belum tersentuh melaui kegiatan penelitian. Maka seandainya ada suatu kegiatan penelitian intensif terhadap dunia kehidupan orang atau penduduk di atas serta hal-hal khusus yang membedakannya satu sama lain maka misteri kehidupannya di masa lampau perlahan-lahan mulai terkuak. Dengan demikian, persoalan atau permasalahan sosial politik seputar kehidupan Atoni dapat terpecahkan. Sekarang yang terpenting adalah dari mana kira harus mulai dan bagaimana caranya sehingga pada akhirnya akar permasalahan pembangunan yang selama ini belum terpecahkan dapat teridentifikasi dan dapat pula ditemukan cara pemecahannya. Sebab sekalipun waktu terus bergulir dan kini umat manusia sudah berada di abad ke-21, milenium ketiga, Atoin Timor sesungguhnya masih tetap Atoin Timor yang belum banyak berubah.
Dilihat : 81