Mengusik Nadir Demokrasi
Oleh: Theo Kiik

INSPIRASI, SASTRA15 Dilihat

Ketika uang mendapat tahkta yang tinggi,
Atap langit kebenaran kian kelabu
Terang keadilan redup tak terurai,
Alam dan malam pun turut membisu.

Suara riuh kampanye mengusik sunyi,
Ketenangan batin politisi terganggu,
Gejolak ego partai tak tersaingi,
Jua seturut pecah suku dan kubu.

Hei kawan. pertarungan itu cinta telah usai,
Kini saatnya melawan cumbu,
Kawan-lawan hendak memangsai,
Raja dan pemimpin saling berburu.

Baca Juga  Di Doa Ibuku ada Indonesia Pintar

Hamba dan rakyat kehilangan nurani,
Rela menjadi babu,
Pada uang, takhta, dan hasrat ragawi.
Sedang akal sehat, dimakam dahulu.

Dunia penuh dinamika,
Sekat dan pekat politik makin larut,
Meski kaum kecil merana,
Namun Amarah kelompok penguasa tak kan surut.

Tensi politik tergerus dalam arus emosi.
Pemenang kontestasi terap sistem balas jasa.
Balas dendam pun tak mampu diakhiri.
Tak sadar, mereka menciderai asas politik dalam negara.

Baca Juga  Lepas 827 Wisudawan, Ini Pesan Rektor UM Kupang

2024 Hampir tiba,
Tahun-tahun kejam dalam negara,
sebab kaum elit mengobrak-abrik rakyat jelata,
untuk memenangkan hati rakyat dalam suatu masa.

2014 dan 2019 telah berlalu jua,
Mari kita membuka cakrawala,
membanding kisah pada tiap masa,
yang pernah dipajang pada dinding-dinding aksara.

Malaka, 29 Maret 2023

Mengusik Nadir Demokrasi;
Sebuah catatan usang tentang janji politik yang digaungkan oleh para politisi waktu 2 periode lalu. Periode pertama dan kedua itu telah dan hampir usai. Penikmat-penikmat hasil kemenangan itu ialah keluarga, kelompok dan team pemenang sementara rakyat kecil masih menderita dan manatap dari balik tirai kebahagiaan para elit politik.

Tinggalkan Balasan