Daftar Isi
Menjadi Pegawai Negeri Sipil? Cerpen Maria Okleti
Itulah cita-citaku sejak aku mengenal sekolah menengah. Menjadi pegawai negeri itu enak, kata guru Bahasa Indonesiaku. Yang penting kamu berusaha kuliah hingga meraih gelar sarjana. Selanjutnya tunggu saja, setiap bulan uang akan datang menjumpaimu.
Sejak itu pula aku bermimpi menjadi pegawai negeri. Entah apapun pekerjaannya asal di bawah namaku bisa tertera sejumlah bilangan, kode rahasia yang menentukan nasibku sekarang dan di masa tua nanti. Oh, betapa enaknya menjadi pegawai negeri!
Tapi hingga kini aku masih juga ke ladang. Ladang yang berkerakal dengan tanaman jagung yang kurus-kurus ini tak seberapa memberi makan untuk aku, adik-adik dan ibuku. Tanamannya jagung tapi setiap hari kau harus makan nasi. Ada pohon pepaya, mangga, pisang dan jambu tapi semua itu tidak bisa
menggantikan garam, vitsin dan minyak tanah. Ah, kebun ini kalau bukan warisan mendiang ayah hendak kujual saja. Aku hendak berangkat ke kota, dari hasil penjualan tanah itu.Tapi, jelek-jelek ini warisan mendiang ayah.
Cerpen Maria Okleti
Akhirnya aku nekat. Kupinjam uang satu juta di koperasi desa, dan sebuah sepeda motor menjadi milikku setelah pinjaman itu diserahkan kepada dealer Sepeda Motor. Itu uang muka, yang menyisakan beberapa lembar yang cukup untuk beras dan minyak tanah bulan ini.
Hari demi hari sepedamotor itu kupacu. Ojek. Masuk kampung keluar kampung. Sambil sesekali menengok ladang berkerakal. Hujan dan terik tak kupeduli. Asal adikku bisa berkuliah di kota. Jurusan apalah itu tak penting. Tapi kalau bisa jurusan yang mudah menjadi pegawai negeri. Untuk itu aku sudah
bertanya ke sana sini. Pak Govan, Guru SM3T yang setia kuojek ke mana-mana, menyarankan masuk ke Kesehatan. Dia juga menambahkan,”Menjadi bidan atau perawat butuh duapuluh juta. Kesehatan mahal!” Ah, tapi ada yang lebih mudah. Masuk FKIP saja. Cukup pilih apa saja. Karena di SMA kau jurusan
IPS, pilih Ekonomi , Geografi atau Sejarah. Makanya adikku akhirnya memilih PPKn untuk menghindar dari cakaran di Geografi dan Ekonomi, serta hafalan di Sejarah. Yah, lumayanlah. Bisa berapa tahun? Empat atau lima tahun. Oke, tenang saja aku, kakakmu, akan berusaha. Sapi-sapi mendiang ayah masih
beberapa. Tak usah ragu.
Cerpen Maria Okleti
Hingga ketika sapi di kandang tertinggal tiga ekor, adiku berhasil meraih gelar sarjana. Betapa senangnya Namanya Maria Okleti, dibubuhi embel-embel es pe de, singkatan dari Sarjana Pendidikan. Dia akan menjadi guru yang menurut kata pameo, digugu dan ditiru. Memang benar pameo ini, Guru Bahasa
Indonesia di SMPku dulu benar-benar digugu dan ditiru oleh muridnya: aku sendiri. Paling kurang, aku percaya pada pendapatnya tentang PNS.
Selepas wisuda, adikku sudah mulai mencekoki anak-anak di sekolah swasta, sebuah SMP Satu Atap, — walaupun atapnya lebih dari satu — di desa kami. Tahan-tahan, ya, sambil menanti jadwal testing. (Cerpen Maria Okleti) “Kak, ada satu Bapak yang mau bantu,” kata adikku di suatu makan malam di
rumah yang berdinding bebak beratap alang-alang itu, usai antrian mendaftar
di kota Kabupaten yang jarang terik. “Dia bilang yang daftar untuk PPKN ada 35 orang tapi yang dibutuhkan hanya tiga orang.“ “Lalu?” “Lalu dia bilang kalau kita mau, dia bisa bantu kita.” “Bantu apa? Kalau dia mau bantu, ya bantu, toh.” “Dia bilang, dia bisa atur supaya saya diterima.” “Apa? Wah, lalu kau bilang apa?” “Saya tanya dulu kakak, mau atau tidak. Dia ada kasih tinggal nomor.” Tak sabar aku lantas memencet nomor yang disebutkan adik. “Halo, selamat malam!” Suara dari seberang.
Cerpen Maria Okleti
“Selamat malam. Ehm, ini dengan kakaknya Maria. Maria yang mendaftar untuk PPKN.” “Oya, bagaimana? Maria sudah bilang-bilang?” “Untuk itu, saya hubungi bapak.” “Jadi kamu bersedia?” Bersedia apa? “Pokoknya ini saya hanya bantu saja. Jadi kalau tidak mau ya sudah.” Apa
yang dimaksud dengan ‘kalau tidak mau’?
“Oh, baik, baik bapak. Nanti saya usahakan.”
“Ok. Nanti tolong suruh adik, kasih nama dan nomor ujian di saya, ya?”
“Baik, Bapa!”
Aku menutup telepon. Aku percaya. Bapak itu masih saudara dengan nenek
kami, katanya. Yah, tapi aku bukan orang yang tidak tahu adat. Adat orang
kita perlu ada sirihpinang, bukan? Baiklah, Bapak. Dua ekor sapi.
*** CERPEN MARIA OKLETI
Kemudian, Aku segera menelpon adik. Mengucapkan selamat. Dan, sudah tentu,
satu-satunya sapi yang tersisa itu pasti cukup untuk acara syukuran.
“Kakak,” suara adik di telepon. “Bapak sudah di kantor polisi. Pengumuman
hasil testing dibatalkan!”
Aku kehilangan huruf-huruf untuk dirangkai menjadi kata. Hanya ini [?]
serempak dengan ini [!]. (cerpen maria okleti) ***
ups…aku lupa! sekarang sudah pakai sistim CAT.(computer asisted test) .hasilnya langsung bisa dapat! he he he !
makan ko tambah!
*****