![]() |
sumber : Fanpage Atoni van Timor |
Sbo Ma’ekat dikenal di wilayah Amanuban dan Amanatun di TTS. Di wilayah lain dikenal dengan Bso’ot atau Bso Bano, yang membedakannya adalah perangkat giring-giring “Bano” yang dugunakan (di daerah Tetun Belu – Malaka dikenal dengan Haksoke). Pada dasarnya, keduanya adalah sama, yakni tarian yang mengisahkan tentang keperkasaan perang, tetapi berbeda pada gerak kaki. Penari Bso Bano mengenakan giring-giring dalam jumlah banyak di kakinya untuk menciptakan bunyi yang selaras dengan irama gong, sedangkan penari Sbo Ma’ekat mengenakan “Ponof” atau gelang kaki dari rambut/ekor kuda untuj menunjukkan kelincahan gerak kaki.
Pada jaman kerajaan/swapraja dulu, ada batasan yang ketat untuk tidak melintasi batas atau wilayah kerajaan lain tanpa ada alasan yang jelas. Aturan ini disebabkan karena seringnya terjadi pencurian lebah madu dan hasil hutan lainnya ataupun kayu bakar. Tanah dalam perspektif orang Timor adakah simbol harga diri dan pusaka. Orang hanya bisa melintas untuk kepentingan pesta, mencari ternak yang melintas batas dan urusan adat atau perintah raja. Diluar itu, barangsiapa yang melintas batas maka akan berisiko dibunuh. Dari kejadian seperti ini, seringkali terjadi perang antar kelompok masyarakat di perbatasan sehingga terlihat sebagai musuh (sekarang masih beberapa kali terjadi di perbatasan antara Desa Besnam di Amanuban dengan Desa Tafuli di Malaka).
Sampai pada jaman penjajahan oleh koloni Portugis dan Belanda, masyarakat di Pulau Timor juga mengadakan perlawanan-perlawanan meskipun okupasi penjajah begitu kuat menekan. Perlawanan ini dikakukan dengan senjata tradisional berupa Suni (pedang), Auni (tombak), Klaot (panah) dan Kenat (Senapan Tumbuk).
Setiap penguasa wilayah, dari yang paling besar “Swapraja” sampai yang paling kecil “Ketemukungan” pasti memiliki panglima perang yang disebut “Meo” yang bertugas sebagai pelindung dan pengaman wilayah. Meo sendiri secara harafiah berarti “kucing”, ini gambaran tentang seseorang yang pandai dalam mengintai, membuat strategi dan menyerang dengan pasti tanpa meleset. Status sebagai Meo diperoleh dari kemenangan di medan perang dan diwariskan berdasarkan garis marga. Setiap Meo dalam memimpin perang (makenat) biasanya mempunyai “fanu – le’u” yaitu jimat keramat dan ritual khusus untuk meramal perang (waktu itu belum terjamah agama Kristen, masyarakat Timor masih memeluk kepercayaan tradisional Halaika). Salah satu contohnya yaitu Meo Tauho di Benteng None yang menjaga Raja Nope – Amanuban di bagian barat kerajaan dari serangan musuh. Meo Tauho mempunyai ritual pra-perang yaitu dengan meramal hasil perang menggunakan telur dan auni/tombak. Telur sambil dibacakan do’a dipecahkan sebagian cangkangnya, dilihat bila ada bercak darah, maka akan kalah, namun jika telur mulus maka akan menang dalam perang. Inilah kelebihan dari seorang Meo. Meo lainnya yang terkenal adalah Meo Toto Smaut yang melindungi Raja Sonbai dan Meo Seky Tafuli dari Amanatun. Setiap Meo dikatakan menang dalam perang ketika berhasil memotong kepala musuh.
Kegigihan orang Timor dalam berperang guna menjaga tanahnya, juga harga dirinya sebagai wilayah berdaukat inilah yang dimanifestasikan ke dalam tarian perang. Pada jaman dahulu, Sbo Ma’ekat ditarikan untuk menyambut para Meo yang pulang dari medan perang membawa kepala musuh. Para Meo akan disambut oleh tetabuhan gong yang riang dan tarian yang atraktif dari kaum wanita. Inilah asal-mula Sbo Ma’ekat yang mengandung nilai historis, nasionalisme dan spirit pantang menyerah.
Kini, Sbo Ma’ekat ditampilkan dalam acara hiburan, penyambutan tamu maupun dilestarikan dalam kegiatan seni di sekolah/sanggar tari.
Sbo Ma’ekat diiring tetabuhan gong dan tambur yang sangat meriah (Leku Sene) dan sorakkan penyemangat (Koa’) yang membuat tarian ini unik karena dinamis dan semarak.
(Sumber : https://web.facebook.com/atonivantimor/posts/1720840924824401?_rdc=1&_rdr)
Komentar