Au Aok Bian – Falsafah Kasih Atoni Pah Meto, sebuah refleksi oleh del neonub
Dalam bahasa Dawan / Uab Neto, “sesama” = au aok bian, yang secara harfiah berarti “sebagian tubuh saya.” Ungkapan sederhana ini menyimpan falsafah hidup yang sangat dalam bagi orang Atoni Pah Meto — falsafah yang menegaskan bahwa hidup manusia tidak pernah berdiri sendiri.
Bagi orang Atoni, manusia adalah makhluk relasional. Diri saya tidak pernah utuh tanpa orang lain, karena setiap orang adalah bagian dari tubuh yang sama: au aok bian. Ketika satu bagian tubuh sakit, seluruh tubuh ikut merasakan. Karena itu, menolong orang lain bukan sekadar perbuatan baik, tetapi tanggung jawab terhadap diri sendiri.
Pandangan ini memperlihatkan bahwa kasih dalam kebudayaan Atoni bukanlah konsep abstrak, melainkan cara hidup. Hadir dalam cara orang Atoni berbagi hasil kebun, saling membantu membangun rumah, hingga dalam tata tutur yang penuh hormat. Semua ini lahir dari kesadaran bahwa “yang lain” bukan orang asing, tetapi perpanjangan dari diri.
Jika kita mengaitkan dengan nilai-nilai iman, falsafah au aok bian sejatinya sejalan dengan hukum kasih: kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Bedanya, dalam kearifan Atoni, perintah itu tidak dalam bahasa teologis, melainkan dalam bahasa tubuh dan solidaritas: ketika saya menolongmu, saya sedang menjaga tubuh saya sendiri.
Falsafah ini juga menjadi kritik halus bagi zaman modern, di mana manusia makin individualistis dan terputus dari komunitasnya. Dunia kini mengajarkan “aku” sebagai pusat segalanya, sementara orang Atoni sudah sejak lama hidup dengan kesadaran bahwa “aku” tidak mungkin ada tanpa “kita.”
Mungkin di tengah kekacauan sosial dan kehilangan arah moral. Dunia modern perlu belajar kembali dari kebijaksanaan tua ini: bahwa keselamatan dan kesejahteraan bukan urusan pribadi, tetapi urusan bersama. Karena pada akhirnya, tidak ada manusia yang benar-benar selamat sendirian. Sebab setiap orang adalah au aok bian, sebagian tubuh dari kehidupan itu sendiri.








