Pemberian nama “Belu” oleh pendiri pemerintah Belu tahun 1958 sungguh jenius. Mereka memikirkan dari sudut pandang manapun terkait persahabatan. Artinya bahwa mereka percaya adanya persahabatan antara Tuhan dengan manusia begitupun sebaliknya mereka telah menunjukkan persahabatan antara manusia dengan TUHAN dan manusia dengan manusia. Itulah jati diri orang Belu. Suatu teladan awal untuk kita generasi muda Belu. Bahwa jati diri orang Belu dimulai dari persahabatan.
Kata persahabatan itulah yang melahirkan sahabat-sahabat baru untuk saling mengokohkan dan saling melengkapi dalam arti yang luas, dan merupakan rohnya orang Belu dalam membina dan mengukuhkan ikatan kekerabatannya. Sejarah mencatat kata Belu sebagai lambang persahabatan kekhasan jiwa dan roh orang Belu.
Belu yang beriman bagian dari nurani yang tergerak untuk saling melayani dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya untuk mengisi kekosongan dan mengisi yang telah ada dengan satu tujuan membangun Belu secara utuh dari pribadi yang utuh. Belu sama halnya dengan satu tubuh yang terdiri dari daging, roh dan jiwa yang bergerak bersama membangun peradaban baru.
Daging yang terluka akan melukai roh dan jiwa. Salah satu tubuh yang luka akan mempengaruhi seluruh tubuh, Ketiganya saling berpengaruh yang pada akhirnya melumpuhkan kekuatan roh dan jiwa yang mestinya menjadi fondasi dasar bagi orang Belu.
Sebagian atau jika keseluruhan tubuh terluka maka akan melumpuhkan kekuatan daging dan tubuh yang pada giliran kekuatan akan mengalami gangguan sesaat dan bila dibiarkan maka tubuh tidak kuat menahan gejolak bathin hingga berpengaruh kepada kestabilan roh dan jiwa dalam tubuh itu sendiri. Oleh karena itulah saya mengatakan pada tulisan saya pada buku ‘’Lentera Kasih Berbicara’’ tentang kekuatan dasar orang Belu adalah dari pemberian nama Belu sebagai hal yang jenius dalam implementasi kehidupan sehari-hari pada zaman itu.
Apakah roh kekuatan Belu sebagai landasan dasar sebuah persahabatan untuk semua orang, akan terus menggema atau akan terkikis oleh perkembangan zaman saat ini, sebuah refleksi panjang bagi penulis, pasca pernyataan, drama, demontrasi, pengadilan hidup dan penghakiman terakhir tentang formasi calon pegawai negeri sipil 2018 nol untuk kabupaten Belu seminggu yang lalu.
Berita dimedia sosial sampai membuat semua orang Belu, meradang dan demam seminggu penuh hingga melumpuhkan semangat membangun nurani, adat budaya dan kekuatan iman orang Belu.
Yang paling fatal adalah merongrong dan saling menghina, dimedia sosial yang menggambarkan hilangnya kejujuran sebagai manusia dan tergambarkan disana tontonan tertentu mengenai dirinya, status sosialnya, kelebihan dan kekurangannya yang tergilas habis dalam seminggu dan berkurangnya nilai saling menghargai karena keinginan berlabel hak mengeluarkan pendapat sebagai senjata saling menyentil satu dengan lain.
Citra dan harga diri sebagai orang belu sedang dipermainkan oleh anak-anak belu sendiri. Terungkap dalam kata-kata, kemudian dirasakan terselubung dalam permainan siki dokanya anak zaman now sebagai ungkapan rasa tahu diri terhadap yang dituakan agar yang tua bisa sadar? Ini sedikit cuplikan ungkapan kalimat yang disampaikan oleh adik RBBD yang dituangkan melalui media sosial yang penulis baca.
Terhadap ungkapan melalui tulisan ini penulis berpendapatan bahwa semua orang berhak berpendapat, semua orang boleh menyatakan ini sebagai peringatan untuk yang tua atau apapun ungkapan karena ketidaksenangannya sebagai kebebasan hak berpendapat tetapi perlu diingat nilai budaya, adat, tradisi dan etika yang mencerminkan orang Belu yang tahu adat, tahu tata karma, tahu menghargai satu dengan yang lainnya.
Sudut pandang ungkapan kata dengan cara berbeda, baik untuk saling mengingatkan tetapi masih ada cara lain yang lebih bermartabat dalam satu kesatuan menyatukan pendapat, beraspirasi yang tepat melalui situasi yang tepat untuk mengambil jalan keluar yang terbaik dan tidak merugikan satu dengan yang lainnya. Sesuatu yang keluar dari hati dengan permenungan yang mendalam akan melahirkan kata dan kalimat yang menggugah semua orang bahwa kita sedang mengalami ujian membangun diri untuk lebih matang dan dewasa menyikapi perkembangan dunia membangun di kabupaten Belu tercinta. Ada satu kata yang keluar dari hati, diolah melalui otak dengan demikian nilai beriman adalah tujuan yang hakiki mendukung keberlangsungan pembangunan di Kabupaten Belu.
Jangan sampai karena kebebasan hak mengikis nilai hakiki manusia, melukai dan melecekan sesama orang Belu. Apakah karena hak berpendapat, akan terkikir juga nilai – nilai persahabatan untuk sebuah perubahan di Belu. Mari merenung dan jangan terlena untuk tidak berfikir lagi tentang perkembangan di Belu.
Nilai kekerabatan kita sudah ditanamkan oleh leluhur orang Belu, dengan cara yang sangat sederhana; kerja bersama (gotong royong), makan bersama, minum bersama, duduk bersama, tebe (tarian saling menerima) bersama, seakan kata “BELU” dilekatkan ditubuh kita lalu memerintahkan tangan, dengan gerakan tangan dan mengisyaratkan kata “Dipundakmu aku berikan tongkat persaudaraan ini agar generasimu mengenal sebagai landasan kekuatan pembangunan di BELU”
Belu adalah salah satu Kabupaten di propinsi Nusa Tenggara Timur, dihuni oleh 394.668 jiwa, manusia dari berbagai etnis : Tetun, Bunaq, Kemak dan Dawan yang menjadi satu rumpun sejarah yang terikat menjadi satu kata BELU (sahabat, kawan, teman). Lalu seiring berjalannya waktu sahabat dan teman itu menjadi bertambah dengan beberapa etnis lainnya seperti Etnis China, Jawa, Makasar, Alor, Sumba, Flores, Rote, Sabu namun mereka menjadi sahabat orang – orang Belu yang sejati.
Sejak zaman dahulu nenek moyang kita telah menanamkan budaya dan tradisi yang kental dengan persahabatan. Dalam tradisi orang bunag dikenal dengan “salam en bunag” dengan istilah 5 (lima) “G” ketika seorang tamu yang berkunjung pasti diistimewakan sekalipun mereka belum mengenal orangnya. Mereka akan mengajak orang yang kebetulan lewat depan rumahnya untuk singgah sebentar dirumahnya (Gawaka), lalu tamu tersebut akan dikenalkan dengan anggota keluarga dan seluruh anggota keluarga menyapa tamu (Gase), selanjutnya tamunya akan diberikan sirih pinang atau minuman(Galok), kemudian tamu diajak makan bersama (Galamak) dan yang terakhir (Gini Dimil) ketika tamu akan pulang masih diberi kenang-kenangan bisa berupa persediaan makanan kecil untuk bekal dijalan (buakae’) atau kain (tais).
Tradisi ini dikenal dengan Panca Pesona Orang Belu, persahabatan yang sejati dimulai dari ungkapan hati sampai kepada melayani dengan segenap hati memberikan kepuasan hati kepada seseorang sebagai pribadi yang utuh.
Berpijak dari kata Belu mestinya menjadi cermin bagi orang Belu untuk membangun Belu dengan semangat kekeluargaan sebagai sahabat kawan dan teman yang setia. Satu hati, satu kata, satu perjuangan untuk Belu. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing dengan saling menghargai, saling menghormati itulah kata dalam semboyan “Haktetuk no Haktaek ita ida dei”.
Tinjauan boleh beda tetapi harus mendukung setiap karya yang dihasilkan seseorang ini pernyataan sikap almarhum Blasius Manek, BA, sesepuh orang Belu, singa podium orang Belu yang menjadi panutan kita semua. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa jika orang mau berpolitik harus mati berulang-ulang karena politik dan pesan beliau yang terakhir jangan semata melihat kejelekan seseorang tetapi lihat juga kebaikannya.
Belu kota beriman menjadi simbol pembangunan, mari belajar dan melakukan perubahan pola pikir, pola membangun untuk membawa orang-orang Belu menuju perubahan 
; di Belu. Berikut satu bahan refleksi yang sudah penulis muat dalam edisi buku perdana ‘’Lentera Kasih Berbicara’’ 2013 untuk direnungkan kembali melalui tulisan kali ini sekedar menggugah hati kita semua untuk memperkokoh semangat kebersamaan orang belu sebagai sahabat sejati bagi orang Belu.
Suatu hari Tuhan tersenyum puas melihat sebuah pulau yang baru saja diciptakan- Nya. Malaikat pun bertanya, “Apa yang baru saja Engkau ciptakan, Tuhan?”Lihatlah, Aku baru saja menciptakan sebuah pulau yang bernama Timor,” kata Tuhan sambil menambahkan beberapa awan di atas daerah hutan cendana. Tuhan melanjutkan, “Ini akan menjadi pulau yang luar biasa dari yang pernah Aku ciptakan. Di pulau baru ini, segalanya akan terjadi secara seimbang “Lalu Tuhan menjelaskan kepada malaikat tentang pulau Timor. Di bagian TTS dan TTU, Tuhan menciptakan tanah yang penuh padang ilalang, pohon yang harum, buah-buahan yang berlimpah dengan hewan di sekitarnya yang berkeliaran di pandang menambah semarak alam di musim hujan tetapi di daerah itu, Tuhan juga menciptakan di sebagian daerah ini yang berhawa dingin dan menusuk tulang belulang seperti Kapan dan Eban.
Lalu malaikat menunjuk sebuah Kabupaten Kecil yang berbentuk kapak sambil berseru, “daerah apakah itu Tuhan?” “O, itu,” kata Tuhan, “itu Kabupaten Belu. Kabupaten yang sangat kaya dan sangat cantik di Timor ini. Ada jutaan flora dan fauna yang telah Aku ciptakan di sana. Ada jutaan ikan segar di laut yang siap panen. Banyak sinar matahari dan hujan. Penduduknya Ku ciptakan ramah tamah, suka menolong dan berkebudayaan yang beraneka warna. Mereka pekerja keras, siap hidup sederhana dan bersahaja serta mencintai seni.”
Dengan terheran-heran, malaikat pun protes, “Lho, katanya tadi setiap kabupaten akan diciptakan dengan keseimbangan. Kok Belu baik-baik semua. Lalu dimana letak keseimbangannya?”Tuhan pun menjawab dalam bahasa Bunaq, “Hai na’ homoso na’ neto en beik gini, halai gege ukun gie.” (tunggu sampai Saya menaruh ‘idiot2’ di Belu). Menantilah, nanti baru kutempatkan orang bodoh memimpin mereka.
Ceritra di atas membawa kita pada kisah penciptaan dimana TUHAN menciptakan manusia dan segala isinya baik adanya tetapi TUHAN mengingatkan kita agar tidak serakah dalam hidup, sebab ada saatnya TUHAN pasti akan memperhitungkan setiap apa yang kita lakukan untuk sesama kita melalui cara-Nya sendiri. Karya yang kita berikan kepada sesama kita adalah bagian dari panggilan hidup, biarkan kita merenungkan arti sebuah kehidupan yang bermakna untuk diri kita, berawal dari diri kita masing-masing.
III. SINGA PODIUM BERPENTAS RIA ‘’SAHABATKU’’
Kita punya generasi muda yang punya potensi luar biasa, sebetulnya mereka bukan muda lagi tetapi mereka adalah orang-orang muda Belu yang perna menjadi muda dan berjiwa muda menjadi militansi dan berada pada garda terdepan mengontrol dan mengawal perkembangan pembangunan di kabupaten Belu. Ada yang menamakan diri sahabat untuk para sahabat, ada yang menamakan diri bangkit dan bersinar. Semua bermuara kepada mengambil simpatik dari masyarakat yang menjadi obyek untuk mencapai tujuan-tujuan kecil yang diinginkan entah bersama ataupun individu.
Militansi-militnasi muda itu memberiku lebih banyak belajar untuk lebih banyak menulis dan memaknai tulisan itu untuk terus bangkit menuju kematangan jiwa dalam berkarya. Sebut saja bung Helio Caitano Moniz, Marsel Beding, Jack Karangora, Frid Da Costa dan Yonas Bere Mau. Urutan berikut Yohanes Atti, Edi Bau Mandeu, Stevanje Bele Bau, Roy Bele Bau, Theo Bere Ati, Edi Rangga Bae, Enzo Esprito Santos, dan Ramos Taek Berek, Sedangkan yang lainnya penulis kategorikan sebagai menyedap rasa dalam berkomen tetapi mereka merupakan satu kesatuan yang telah memberikan pembelajaran yang berarti bagi proses komunikasi dan informan yang baik kepada masyarakat Belu melalui media sosial (pendapat penulis).
Gaya bung-bung ini ada yang saya sukai dan ada yang tidak saya sukai. Yang paling disukai penulis adalah kekhasan gaya, strategi dan dinamika yang mereka perankan berhasil memacu adrenalin pembaca dan penyimak media sosial di kabupaten Belu dan yang paling tidak disukai penulis adalah caci maki, mengirimkan gambar yang saling melecehkan saat masuk pada sesi membalas komentar-komentar mereka.
Dari sisi belajar politik mereka sedang dalam perjalanan untuk menemukan jati diri dalam pentas perpolitikan di Belu. Penulis mencermati setiap tulisan di grop media sosial yang dibentuk. Mereka kaum muda yang cerdas mampu membaca, mampu berargumen dan mampu menyuarakan setiap denyutan nadi yang tak terdengar sekalipun.
Terkait peran mereka yang mendemamkan warga Belu soal formasi CPNS 2018, apakah diantara mereka saling membagi peran atau tidak dalam soal diatas hingga sahabat terluka menurut penulis sedikitnya sudah tentu ada peran itu jika dikaji dari hasil tulisan dan komentar yang tertuang dalam tulisan mereka. Sebagai penulis saya tidak mempersoalkan mereka terlibat tetapi yang saya persoalkan adalah tulisan saling menunding dan di akhir sesi ungkapan dan terluka ada suasana yang dimainkan oleh bung-bung ini sebagai orang-orang yang mendamiakan kembali disaat hati sahabat sedang terluka dan misi mereka berhasil untuk mendamaikan hati sahabat agar tidak terluka lebih dalam. Kata terakhir yang terungkap adalah tidak ada sahabat yang abadi tetapi ada sahabat yang selalu ada untuk sahabatnya yang terluka. Semoga singa singa podium ini bersama merefleksikan diri untuk kepentingan yang lebih besar bagi rai belu oan.
Mari budayakan saling menghargai, saling menghormati dengan nilai-nilai etika adat yang tinggi untuk mempertahankan harga diri rai belu oan yang memberikan persahabatannya tanpa batas untuk sesama, demi pelayanan yang prima bagi seluruh masyarakat Belu.
IV. SEPARUH NAFAS MENJADI TERLUKA ‘’SAHABATKU’’
Setiap pemimpin akan mengedepankan visi dan misinya dalam perencanaan pembangunan selama lima tahun kepemimpinannya. Bercermin dari berbagai pengalaman, banyak orang melakukan sistim kontrol pembangunan dengan hujatan-hujatan yang meremehkan satu sama lain yang pada akhirnya memberikan dampak negatif pada proses pembangunan itu sendiri. Padahal kita adalah bagian dari masyarakat Belu yang mestinya tidak menutup mata terhadap hasil pembangunan yang sudah ada. Berpijak pada kata Belu adalah sahabat, kawan, teman maka proses pembangunan berikutnya mari bersama kita kawal dengan kerja kita masing-masing sehingga nama Belu seharum cendana tidak hanya nasional tetapi kembali mendunia.
Hendaknya proses pembangunan ke depan, kita tidak berpikir tentang kepentingan siapa, mengakomodir siapa, tetapi kita punya kewajiban yang sama, baik bekerja sebagai PNS, pegawai swasta, pengusaha, misionaris membangun Belu dengan nurani dengan cara kita masing-masing. Siapakah yang membutuhkan hasil kerja kita? Jawaban sudah pasti; masyarakat. Mereka sedang melihat, mereka yang sedang merasa kelaparan, mereka yang miskin, mereka yang secara ekonomi tidak mampu, mereka yang tidak dapat menyekolahkan anak-anaknya.
Masyarakat tidak sedang tidur. Mereka sedang menanti bagaimana sentuhan tangan kita melalui kerja kita terhadap kebutuhan mereka. Jadikan mereka obyek pembangunan agar mereka mampu mandiri membangun desanya. Mari terus bekerja dan jadilah pelaku utama pembangunan di Belu dengan memberikan informasi yang benar kepada masyar
akat.
Pertemuan, berdiskusi, lalu belajar memainkan peran, melirik beberapa persoalan substansial yang sering terjadi, pada akhirnya seseorang sampai kepada kata “berpengalaman”. Pengalaman menjadi ibu dari ilmu belajar, jangan perna saling meremehkan dihadapan public untuk kepentingan diri tetapi mari saling memberi masukan untuk membawa orang-orang Belu ketempat yang bermartabat dari berbagai aspek kehidupan orang Belu sendiri dimata dunia.
V. PENUTUP
Budaya saling menghargai perlu dilestarikan sebagai kekuatan dasar membangun di Belu dan pemimpin harus menjiwai roh kerja, roh merakyat, didukung dengan roh kejujuran dan rendah hati.
Terlepas dari kepentingan-kepentingan lainnya sebuah perjalanan karya seseorang dapat menjadikan ilmu sekaligus pengalaman hidup oleh karena itu sebuah pengalaman itu, patut dikemas dan menjadi sumber inspirasi baru yang dijiwai oleh roh yang menguatkan dengan demikian kerikil-kerikil tajam itu tidak melukai tetapi membawa inspirasi baru yang mendorong semangat kebersamaan dalam mendukung dan mengawal proses pembangunan di Belu.
Oleh karenannya tak perlu lagi terluka sahabatku, dan jangan perna menangis karena kenakalan anak-anakmu tetapi jadikan mereka anak-anak cerdas, anak-anak yang diandalkan, anak-anak yang mandiri, anak-anak yang patut dicontohi, dan anak yang hebat untuk mengawal proses pembangunan di kabupaten ini.
Konteks pengalaman bukan merupakan satu-satunya ilmu untuk orang membangun tetapi paling tidak dapat memberikan kontribusi positif dalam pembangunan, begitu pula ide yang baik belum tentu diterima oleh yang lainnya. Rohan ba ne’e na, kninin ba ne’e na”.
Mari membangun Belu dengan hati. Tabe