Kehadiran Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 Merupakan Kemandirian Hukum Nasional

INSPIRASI2 Dilihat

KEHADIRAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 MERUPAKAN KEMANDIRIAN HUKUM NASIONAL.

Oleh. Sentos K. Abakut.
Mahasiswa semester V STIKUM Prof. Yohanes Usfunan, SH., MH

Kitab undang-undang hukum pidana atau biasa disingkat KUHP adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pidana di Indonesia, dan mengatur secara materiil. Kitab Undang-undang Hukum pidana di Indonesia merupakan Wetboek van Strafrecht yang di adopsi dari hukum Kolonial Belanda sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang disebut KUHP.

Sedangkan KUHP yang akan berlaku pada tahun 2026 adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana merupakan hasil pemikiran bangsa Indonesia untuk menggantikan KUHP Lama sebagai hasil pemikiran Kolonial Belanda.

Pengantian tersebut merupakan suatu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Hadirnya Undang-undang tersebut memiliki perbedaan yang singnifikan dalam substansi KUHP Lama dan KUHP Baru. Perbedaan prinsip pertanggungjawaban merupakan hal susbtansial dalam pelaksanaan undang-undang, pertanggungjawaban pidana yang di implementasikan harus memperhatikan asas Legalitas pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi;

Tiada suatu perbuatan dapat di Pidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan sebagaimana dalam bahasa latin (Nullum Delictum Nulla Poena Sina Pravie Legi Poenali). Dalam KUHP lama penjatuhan hukuman didasarkan jenis-jenis pidana yang diatur pada:
Pasal 10. Pidana terdiri dari:

Baca Juga  Lima Tahun Kiprah STIKUM, Ini yang Disampaikan Profesor USFUNAN

a. Pidana Pokok:

  1. Pidana mati,
  2. Pidana penjara,
  3. Kurungan,
  4. Denda

b. Pidana tambahan :

  • Pencabutan hak-hak tertentu,
  • Perampasan barang-barang tertentu,
  • Pengumuman putusan hakim.

Sedangkan dalam KUHP baru penjatuhan hukuman pidana diatur pada:
Pasal 64. Pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok,
b. Pidana tambahan,
c. Pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang di tentukan dalam undang-undang.

Disini timbullah pertanyaan mengapa hukuman mati dalam KUHP Baru tidak diatur dalam jenis-jenis pidana? Untuk menjawab pertanyaan ini maka perlu ketahui bersama bahwa dalam implementasinya KUHP Lama berlandaskan padaTeori Absolut yaitu; pemidanaan bertujuan semata-mata untuk menghukum pelaku tindak pidana sesuai dengan kesalahannya atau dikenal sebagai teori pembalasan, dan Teori relatif yaitu; pemidanaan bertujuan untuk mencegah kejahatan dan menjaga ketertiban masyarakat.

Hal ini yang menjadi salah satu faktor pidana mati dimasukan sebagai pidana pokok dalam KUHP Lama agar pembalasan terhadap pelaku tindak pidana terbalaskan. Sedangkan dalam KUHP Baru tujuan pemidanaan adalah pencegahan, rehabilitasi, penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan, penciptaan rasa aman dan damai.

Pidana mati dalam KUHP Lama diatur dalam jenis pidana pokok yang berarti bahwa pidana mati memiliki legalitas untuk dilaksanakan dalam setiap putusan hakim, pidana mati yang dijatuhkan pada seorang terpidana maka tentunya putusan itu dijalankan sesuai Pasal 11 KUHP Lama yang berbunyi; Pidana mati dijalankan algojo pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.

Baca Juga  Di Balik Kubangan RinduOleh: Theo Kiik

Ini menimbulkan pertentangan dalam hukum di Indonesia. Pertentangan dengan UUD 1945 pasal 28A yang berbunyi; “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Serta Undang-undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 ayat (1) yang berbunyi; Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat ada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Apabila di analisa maka pertentangan ini merupakan pertentangan berdasarkan Asas lex superior derogate legi inferiori yang bermakna bahwa peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi. Dimana UUD 1945 merupakan peraturan yang lebih tinggi dari KUHP. Sedangkan pertentangan berdasarkan UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah asas Lex spesialis derogat legi generali yang berarti Hukum yang khusus menyampingkan hukum yang umum.

Maka hukuman mati seharusnya ditiadakan karena negara wajib melindungi setiap Hak hidup dari warga negaranya. Ketika hukuman mati dilaksanakan maka Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan diabaikan oleh Negara dan menjadi pertentangan dalam penerapan hukum itu sendiri.
Sedangkan dalam KUHP Baru pidana mati diatur sebagai jenis pidana alternatif pada tindak pidana tertentu bukan merupakan pidana pokok ataupun pidana tambahan.

Baca Juga  STIKUM Prof. Dr. Yohanes Usfunan, SH.,MH Raih Akreditasi BAIK

Ini berarti bahwa pidana mati merupakan salah satu cara penghukuman apabila pidana pokok atau pidana tambahan tidak tepat pada tindak pidana tertentu yang dilakukan oleh seorang pelaku tindak pidana. Pidana mati dalam KUHP Baru di jatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan tujuan agar terpidana menyesali pebuatannya dan ada harapan untuk memperbaiki diri. Setelah tenggang waktu 10 tahun masa percobaan terpidana menunjukan sikap penyesalannya dengan berbuat hal baik dan terpuji maka pidana mati dikurangi menjadi pidana seumur hidup.

Namun apabila dalam masa percobaan terpidana tidak menyesali perbuatannya dengan mununjukan sikap yang tidak baik maka pidana mati tetap dilaksanakan. Hal ini bertujuan untuk seorang terpidana mendapatkan pemulihan, dan rehabilitasi bagi dirinya agar setelah menjalani hukumannya dapat kembali ke masyarakat dengan menjadi orang yang lebih baik.,sesungguhnya pemberlakuan pidana mati dalam KUHP Baru merupakan penghukuman alternative paling terakhir.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 merupakan terobosan baru dalam sistem hukum umum di Indonesia yang baik dan tepat sesuai dengan konsep HAM. Karena pemidanaannya bukan hanya membalas perbuatan yang dilakukan akan tetapi memulihkan kembali keadaan seperti semula.