Daftar Isi
FATU SANTIAN DAN PERJUANGAN FUNAN NUBAN DI OEMOFA
Oleh Sumari Nofika Manao, SMPN 1 Amabi Oefeto Timur
A. Orientasi
Di Oemofa, kecamatan Amabi Oefeto Timur, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Teggara Timur ada sebuah batu yang mempunyai nilai sejarah dalam kisah perjuangan seorang raja bernama Funan Nuban yang dikenal dengan sebutan Raja Nope yang berasal dari Basmuti, Timor Tengah Selatan bersama rombongan yang berperang melawan Raja Sonbay bersama rombongan yang berasal dari Fatuleu.
Menurut cerita yang saya peroleh dari salah satu cucu dari Raja Nope yang bernama Kim Nope, yang pada saat itu merupakan salah seorang cucu yang paling disayangi oleh kakeknya yaitu Raja Nope.
Menurut Bapak Kim Nope, bahwa kisah ini hanya boleh diceritakan oleh para turunan dari Raja Nope.
Dan jika ada dari turunan lain yang ingin menceritakan kisah ini harus meminta izin pada turunan dari Raja Nope, karena menurut beliau jika salah dalam menceritakan kisah ini, maka berdampak buruk atau fatal, seperti sakit yang ditanggung sendiri, atau orang tersebut bisa meninggal dunia tanpa diketahui penyebab dari kematian itu, karena begitu sakralnya tempat ini menurut kepercayaan masyarakat setempat.
Oleh sebab itu, kisah ini dianggap sangat sakral oleh masyarakat setempat, yaitu Oemofa dan sekitarnya.

Oleh karena begitu sakralnya cerita ini, maka saya merasa tertarik dengan kisah yang memiliki nilai sejarah bagi masyarakat Oemofa yang belum pernah dipublikasikan ini, maka beberapa waktu yang lalu, saya menemui Bapak Kim Nope yang merupakan salah seorang satu cucu laki-laki dari Raja Nope ini yang berdomisili di Desa Oemofa dan darinya saya diceritakan tentang kisah tentang Fatu Santian yang mempunyai pengaruh besar terhadap berhasilnya perjuangan Funan Nuban alias raja Nope dan pasukannya mengalahkan raja Sonbay dalam perang di Oemofa waktu itu merebutkan wilayah kekuasaan berburu untuk memenuhi kebutuhan pangan, dan saya meminta agar diizinkan untuk menceritakan tentang kisah sejarah yang menarik ini.
B. Urutan Peristiwa
Pada zaman dahulu, pada tahun 1927-1938, di suatu tempat yang sekarang bernama Oemofa, Kecamatan Amabi Oefeto Timur, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, ada seorang yang berasal dari sebuah kampung di daerah Timor Tengah Selatan yaitu Basmuti yang bernama Funan Nuban.
Ia datang ke tempat itu (Oemofa) ditemani oleh teman-temannya dengan tujuan berburu binatang seperti rusa dan babi hutan untuk kebutuhan pangan mereka.
Dalam masa perburuan, mereka kemudian memilih untuk menetap di tempat tersebut. Waktu terus berlalu, Funan Nuban dan rombongannya lebih memilih untuk menetap di tempat itu dan tidak kembali ke tempat asal mereka di Timor Tengah Selatan yakni Basmuti, sehingga jika ada kekurangan yang menyangkut kebutuhan mereka akan makanan maka mereka harus bersusah payah kembali ke Timor Tengah Selatan yakni Basmuti yang jaraknya ± 115 kilo meter dari tempat itu dengan menggunakan transportasi kuda, kemudian untuk memperoleh air untuk keperluan memasak dan menghilangkan dahaga mereka maka mereka harus mengambil ke sungai Noelmina yang jaraknya ± 17 kilo meter dari tempat itu dengan transportasi kuda dan wadah yang mereka gunakan untuk mengangkut air dari sungai Noelmina ke tempat tinggal mereka sekarang bernama Oemofa, yaitu bambu betung yang dipotong pendek ± 2 atau 3 ruas untuk diisi air.
Kemudian kebutuhan akan api untuk memasak, maka mereka harus rela menempuh perjalanan panjang yaitu sampai ke Bena, Timor Tengah Selatan yang jaraknya ± 23 kilo meter untuk memperoleh api dengan menggunakan sabut dari kelapa yang dipintal lalu disambung-sambung dan ukurannya disesuaikan dengan jarak yang mereka tempuh agar tidak padam di tengah perjalanan hingga tiba di tempat tinggal mereka, yaitu Oemofa.
Meskipun jarak tempuh untuk memperoleh makanan dan minuman demi kelangsungan hidup raja Funan Nuban dan rombongannya di tempat berburu itu sangat jauh, namun tidak mengubah keinginan dan semangat mereka untuk tetap bertahan hidup dan terus menetap serta berburu di tempat itu.
Suatu hari raja Sonbay yang berasal dari Fatuleu datang berburu rusa dan juga babi hutan di wilayah berburu dari Funan Nuban dan rombongannya, dan karena sering datang berburu dan mendapatkan hasil, raja Sonbay kemudian berkeinginan untuk menguasai wilayah tempat ia berburu itu yang masih merupakan wilayah kekuasaan Funan Nuban, dan keinginan dari raja Sonbay itu diketahui dan ditantang oleh raja Funan Nuban, maka terjadilah pertempuran antara raja Funan Nuban bersama rombongannya melawan raja Sonbay bersama rombongannya untuk merebutkan wilayah perburuan itu.
Dalam peperangan itu raja Funan Nuban dan pasukannya menemukan tempat persembunyian di wilayah tersebut yang tidak bisa diketahui raja Sonbay dan pasukannya dan tempat persembunyian raja Funan Nuban dan pasukannya itu adalah sebuah batu alam yang menjulang tinggi menunjuk langit yang tingginya ± 20 Meter di atas ketinggian ± 3.000 kaki di atas permukaan laut, bagian tengah batu itu berupa gua tempat persembunyian yang berbentuk lorong-lorong berdinding dan beratap batu yang sangat cocok untuk dijadikan tempat persembunyian.
Untuk sampai ke atas batu tersebut memang cukup sulit dan butuh usaha karena tidak ada tangga sehinga mereka hanya menjadikan akar-akar pohon yang hidup menjalar pada dinding batu tersebut sebagai tempat pijakan saat memanjat batu tersebut.

Selain Fatu Santian, adapula sebuah batu yang jaraknya sekitar 10 meter dari batu tersebut terdapat gua batu yang mereka jadikan sebagai tempat menyiapkan bekal yaitu makanan dan minuman bagi mereka, seperti tampat pada gambar berikut.

Hari berganti waktu berlalu, namun peperangan tak kunjung selesai maka raja Funan Nuban kemudian meminta bantuan kepada raja Nabuasa yang dari Bena, Timor Tengah Selatan untuk membantu raja Funan Nuban bersama pasukannya melawan raja Sonbay bersama rombongan, dan raja Nabuasa bersama pasukannya bersedia membantu, kemudian mereka memakai batu tersebut sebagai tempat bersembunyi.
Di tengah peperangan yang sengit itu raja Funan Nuban mengambil kesempatan untuk menculik putri dari raja Sonbay yang bernama Sobe Sonbay yang pusat kerjaannya di Kauniki yang masih merupakan wilayah kabupaten Kupang saat ini.
Raja Funan Nuban membawa anak gadis raja Sonbay yang bernama Sobe Sonbay dari Kauniki dan disembunyikan di tempat persembunyian Fatu Santian yang kemudian dijadikan sebagai istrinya. Penculikan tersebut dilakukan raja Funan Nuban ketika suasanan atau keadaan cuaca saat itu mendung tertutup awan tebal, sehingga untuk mengenang peristiwa penculikan itu, maka sejak saat itupun raja Funan Nuban dijuluki sebagai raja Nope yang artinya raja awan, karena awan dalam bahasa dawan adalah “nope”.
Peperangan antara raja Sonbay dan raja Funan Nuban dimenangkan oleh raja Funan Nuban, karena tempat persembunyian raja Funan Nuban dan pasukannya yang kokoh yaitu pada batu tersebut, akhirnya raja Sonbay dan pasukannya tidak mampu dan memilih untuk mengalah dalam perang tersebut.
Sejak itulah peperangan itu berakhir dan wilayah tersebut kembali menjadi wilayah kekuasaan dari raja Funan Nuban alias raja Nope, kemudian batu tersebut yang digunakan sebagai tempat persembunyian itu diberi nama Fatu Santian yang berasal dari kata “Fatu” yang berarti batu, kata “San” yang artinya “salah” dan kata “Tian” yang berarti “sampai” sehingga digabung menjadi “Fatu Santian” yang berarti batu yang digunakan apabila salah sasaran yang dituju maka mereka harus kembali ke batu itu untuk menjangkau musuh dan Fatu Santian masih tetap berdiri kokoh sampai dengan sekarang yang di dalamnya masih terdapat benda-benda peninggalan raja Nope dan pasukannya yakni sebuah senapan tumbuk, sebuah gelang kuningan, potongan parang, dan juga belahan-belahan periuk yang terbuat dari tanah, seperti tampak pada gambar berikut.



Menurut cerita, barang-barang tersebut seperti pada gambar 3, 4, dan 5 tidak akan muncul atau kelihatan jika saat kita memanjat dan masuk ke dalam Fatu Santian tidak bersama-sama dengan salah satu dari turunan raja Nope.
Sejak putri ra Sonbay yang bernama Sobe Sonbay menjadi istri dan tinggal bersama raja Funan Nuban atau raja Nope maka saat itu ia merupakan satu-satunya perempuan yang tinggal di tempat itu. Saat itu mata pencaharian untuk kelangsungan hidup mereka adalah dengan berburu.
Saat raja Nope dan rombongannya pergi berburu maka tinggalah istrinya seorang diri sehingga iapun mulai diselimuti rasa kesepian dan karena tidak sanggup memendam rasa sepinya, hari-hari ia lalui dengan menangis.
Melihat istrinya demikian, maka raja Nope pun merasa iba terhadap istrinya itu, ia lalu pergi ke Basmuti, Timor Tengah Selatan dan kembali dengan membawa 3 orang Amaf atau Bapak. Adapun amaf-amaf yang dimaksud adalah Am Benu, Am Beis, dan Am Liu.
Ketiga amaf ini dibawa raja Nope bersama istri-istri mereka ke tempat itu untuk tinggal menetap, dan melihat hal itu akhirnya istri raja Nope pun merasa bahagia karena rasa kesepiannya selama ini sudah terobati karena ia sudah memiliki teman perempuan.
Raja Nope kemudian menjadikan seorang anak yang bernama Mofa Nubatonis sebagai anak angkatnya dan tinggal bersama mereka. Suatu hari, saat Mofa sedang berburu burung yaitu burung sonkiko, karena capek iapun memilih untuk berteduh di atas tumpukan batu di bawah sebuah pohon beringin yang sangat rindang.
Sementara berteduh ia membuat coretan-coretan kecil pada tumpukan batu tersebut dan tiba-tiba keluar air dari antara tumpukan batu tersebut yang masih ada sampai sekarang.
Tempat tersebut kemudian dinamakan Oemofa yang berasal dari kata “Oe” yang artinya air dan kata “Mofa” yang merupakan nama dari anak yang menemukan air itu. Setelah itu, raja Nope kembali ke tempat asalnya yaitu di Basmuti, Timor Tengah Selatan, dan ia mengutus anaknya yang bernama Manas Nope untuk datang menetap dan berkuasa di Oemofa sehingga mulai saat itu hingga saat ini keturunan dari raja Nope yang berkuasa di Oemofa.
C. Reorientasi
Hikmat yang dapat kita petik dari kisah ini adalah strategi dalam berperang dari raja Nope dan pasukannya yang memilih tempat persembuyian yang kokoh, sehingga membuat musuh lengah dan akhirnya mengalah.
Harapan saya, benda-benda peninggalan dari raja Funan Nuban dan pasukan yang terdapat dalam Fatu Santian tersebut dapat dijadikan situs sejarah yang patut kita jaga dan dilestarikan agar tidak punah dan hilang ditelan waktu, seperti Presiden kita yang pertama yaitu Bapak Ir. Soekarno mengatakan “jasmerah” jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Sumari Nofika Manao, lahir di Oemofa, 30 Oktober 2004, anak ketujuh dari tujuh bersaudara. Ketika berumur 6 tahun penulis mulai bersekolah pada SD Inpres Oemofa dan lulus pada tahun 2015, kemudian melanjutkan pendidikan pada SMP Negeri 1 Amabi Oefeto Timur. Sejak kelas VII hingga sekarang penulis selalu aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler yaitu sebagai anggota pramuka dan drum band. Saat ini saya sudah duduk di bangku kelas IX pada sekolah tersebut. Cerita tentang “Fatu Santian dan Perjuangan Funan Nuban di Oemofa” ini ditulis menggunakan alur maju berdasarkan data-data yang dikumpulkan melalui informan dan juga pengamatan langsung di lokasi.
PENDAMPING, PENASIHAT, DAN PENGARAH PENULIS CERITA
Pendamping 1

Lahir di Oeteta, pada 09 Mei 1988, Mengampu Mata Pelajaran Bahasa Indinesia dan Seni Budaya pada SMPN 1 Amabi Oefeto Timur, Lulusan FKIP Bahasa Indonesia Universitas PGRI NTT, 2011.
Pendamping 2,

Sarlince Bia, S.Pd., Lahir di Oehausisi, Pada 04 September 1989, Mengampu Mata Pelajaran Bahasa Indinesia dan Seni Budaya Pada SMPN 1 Amabi Oefeto Timur, Lulusan FKIP Bahasa Indonesia Universitas PGRI NTT, 2014.
Penasihat, Pengarah, dan Penanggung jawab :

Fredik Namah, S.Pd., Lahir di Kupang, Pada 10 Mei 1964, Kepala SMPN 1 Amabi Oefeto Timur, Lulusan FKIP Sejarah Universitas PGRI NTT, 2002
Komentar