Ujian Kesetiaan di Balik Jeruji: Potret Kelam Korupsi Dana BOS di Sekolah
Oleh: Jusup Koe HoeaKetua Umum Forum Guru NTT
Nusa Tenggara Timur (NTT) — Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sejatinya menjadi penopang utama dunia pendidikan, terutama di daerah-daerah yang masih berjuang dengan keterbatasan fasilitas dan ekonomi. Namun, di sejumlah SMA/SMK, dana yang seharusnya menghidupkan semangat belajar itu justru menjadi sumber bencana moral: dikorupsi, diselewengkan, dan dijadikan ladang memperkaya diri.
Daftar Isi
Dari Meja Rapat ke Meja Penyidik
Awalnya, semua tampak berjalan normal. Para oknum pelaku duduk bersama dalam rapat, membahas anggaran, membuat laporan, dan menyusun rencana kegiatan. Di atas kertas, semuanya tampak sempurna. Namun di balik angka-angka dan tanda tangan, tersembunyi rekayasa: laporan fiktif, penggelembungan harga, dan tanda terima palsu. Dana yang seharusnya digunakan untuk buku, peralatan laboratorium, atau kegiatan ekstrakurikuler, justru menguap di perjalanan. Dan ironisnya, praktik itu dilakukan dengan rasa kebersamaan—seolah mereka satu tim yang solid, setia, dan saling menjaga rahasia.Namun, semua kebersamaan itu hanya bertahan sampai panggilan penyidik datang. Ketika aparat Tipikor mulai menelusuri aliran dana, suasana berubah drastis. Orang-orang yang dulu tertawa bersama kini saling curiga.Mereka yang dulu mengaku “satu perjuangan” kini berlomba mencari selamat. Bendahara sekolah menjadi kambing hitam, sementara para aktor intelektual—oknum wakil kepala sekolah, operator, bahkan kepala sekolah—berlindung di balik kalimat klise: “Saya tidak tahu-menahu.”
Kesetiaan yang Rapuh
Inilah ujian kesetiaan yang sesungguhnya. Korupsi yang dilakukan secara kolektif ternyata tak melahirkan solidaritas sejati, melainkan ikatan semu yang hanya berlaku saat uang masih mengalir. Begitu penyidik mengetuk pintu, kesetiaan itu pun runtuh.
Satu demi satu mencari celah hukum untuk melepaskan diri, bahkan dengan menjatuhkan rekan sendiri. Padahal, dalam banyak kasus, skema korupsi Dana BOS tak pernah terjadi sendirian. Ada perencanaan, pembagian tugas, dan pembagian hasil. Semua tahu, semua terlibat.
Namun ketika pertanggungjawaban diminta, keberanian untuk mengaku hilang entah ke mana.Yang tersisa hanyalah penyesalan dan ketakutan akan jeruji besi.
Moral yang Runtuh di Ruang Pendidikan
Pertanyaannya, siapa yang sebenarnya bersalah?Apakah mereka yang sejak awal mengingatkan agar tidak bermain-main dengan uang negara, atau mereka yang memuji, memanfaatkan, dan ikut menikmati hasil korupsi, tetapi kemudian berkhianat dan meninggalkan rekan mereka saat bahaya datang?
Korupsi Dana BOS bukan hanya soal pencurian uang, tapi penghancuran nilai-nilai dasar pendidikan itu sendiri. Bagaimana mungkin guru atau kepala sekolah berbicara tentang kejujuran di depan murid, sementara tangannya sendiri terlibat dalam kebohongan dan penyelewengan?
Pendidikan kehilangan maknanya ketika integritas dijual murah. Ketika anak-anak dididik untuk berbuat benar, namun orang dewasa di sekitar mereka justru menjadi contoh kebusukan moral. Di titik itulah, kerusakan yang paling berbahaya terjadi: kerusakan karakter bangsa.
Penjara Bukan Akhir, Tapi Cermin
Jeruji besi mungkin menutup tubuh, tapi nurani yang sudah lama tertutup oleh keserakahan lebih menyakitkan lagi. Setiap rupiah yang diselewengkan dari Dana BOS adalah hak siswa yang dirampas, cita-cita yang dipangkas, dan masa depan yang dikorbankan.Semoga kasus-kasus korupsi Dana BOS menjadi pelajaran bagi dunia pendidikan Indonesia, terutama di daerah-daerah seperti NTT yang masih berjuang keras memperbaiki kualitas.
Integritas harus kembali menjadi napas pendidikan, bukan hanya semboyan di dinding ruang guru. Karena sesungguhnya, bangsa ini tidak akan maju oleh banyaknya uang yang digelontorkan untuk pendidikan, melainkan oleh hati-hati jujur yang mengelolanya.
Penulis: Jusup Koe Hoea – Ketua Umum Forum Guru NTT








