Setujukah Anda dengan ungkapan:
TUHAN TIDAK MENCIPTAKAN SAMPAH?
Kita dibesarkan dalam kondisi yang lebih banyak menciptakan citra diri negatife. Hinaan, kritikan, cap, hukuman, tuntutan, kemarahan, dan rasa takut lebih banyak mewarnai proses pendidikan kita daripada pujian, dukungan, hadiah, penerimaan, sukacita, dan pengampunan.
Akibatnya, kita tidak mampu menghargai diri sendiri dan sekaligus tidak mampu menghargai orang lain.!
Dalam kubangan krisis harga diri tersebut, ungkapan “Tuhan tidak menciptakan Sampah” benar-benar menjadi pencerah untuk mampu keluar dari jebakan yang menjerat pertumbuhan kita.
Bagi saya, “Tuhan tidak Menciptakan Sampah” bukan sekadar kata-kata. Kalimat ini kalau mau dibilang, cara baru dalam membangun hubungan pergaulan dan hidup dengan orang lain.
Saya melihat bahwa pribadi saya berharga. Saya melihat bahwa setiap pribadi itu berharga. Tidak ada lagi anak jahat, anak cacat, anak nakal, anak bodoh. itu sih bagi saya..tapi gampang2 susah!
Kita sedang dan selalu menggunakan listrik.
Listrik ini adalah penemuan Thomas Edison. Guru-guru mengecap dia sebagai anak yang “sulit dididik”. Ia nyaris tidak menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar, karena kenakalannya. Namun berkat ibunya yang selalu bersikap positif terhadap anaknya dan menerima dia apa adanya, tekun memberi semangat, akhirnya potensi yang diabaikan oleh para guru tumbuh dan menghasilkan buah bagi kehidupan menerangi dunia ini. Jadi, ibundanya yakin bahwa “Tuhan tidak menciptakan Sampah” dalam pendidikan putranya. Ia percaya bahwa Tuhan menciptakan benih yang berharga bagi kehidupan. Tugasnya sebagai orangtua adalah mebiarkan benih itu bertumbuh, dan merawatnya dengan sabar dan penuh cintakasih.
POTRET BURAM PENDIDIKAN ANAK
Saya ajak kita sekalian untuk tetap memakai kaca mata baru dengan merek “TTMS” – Tuhan Tidak Menciptakan Sampah – untuk melihat praktek pendidikan yang pernah anda sendiri mendapatkannya didsekolah hingga sekarang ini.
Barangkali selama ini kita merasa biasa-biasa saja, tanpa masalah. Namun dengan kacamata baru, yang saya berikan ini, kita akan melihat bahwa hal-hal lumrah dan yang saya dan andaajalani sehari-hari ternyata bermasalah (hahhaahahha)
Stres yang luar biasa
Selama ini seolah-olah yang terjangkit penyakit stress hanyalah orang dewasa. Anak-anak dan remaja dianggap steril dari stres. Orangtua dan guru kurang menyadari bahwa anak-anak pun mengalami stress, khususnya yang disebabkan oleh ulah orang dewasa atas nama pendidikan.
Mengapa anak-anak dan remaja stress? Pulang dari sekolah, makan dan segera bersiap-siap untuk les di sore hari. Sekembali dari les sore langsung siapkan diri untuk belajar bersama di malam hari. Pulang dari belajar di malam hari mengerjakan PR yang belum rampung, kadang-kadang ada 4 Pekerjaan Rumah.
Sekarang anda diberi kebebasan untuk mengungkapkan perasaan anda. Mungkin pada kesemptan ini anda dapat mengungkapkan stress yang anda alami selama ini baik di rumah maun di sekolah. Mungkin situasi seperti ini yang sering membuat anda membandel, bahkan ada yang mulai merokok dan minum alcohol.
Anda mungkin mengalami stress oleh karena terpaksa melakukan sesuatu atas kehendak sendiri dan mengejar apa yang tidak anda butuhkan. Sementara itu anak-anak dan remaja tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau membebaskan diri. Setiap bentuk protes dianggap sebagai sikap melawan.
Sementara itu orang dewasa hanya berpikir bahwa ‘tujuan baik”, dan anak-anak dan remaja harus setuju dengannya. Perlakuan seperti ini anak-anak diperlakukan seperti kuda beban yang ditutup matanya dan diberi beban berlebihan sekehendak tuannya. Tugasnya hanya jalan dan jalan mengikuti tujuan tuannya. Berhenti berarti dicambuk! Anak-anak seperti tong sampah yang dijejali dengan barang-barang yang mereka tidak butuhkan.
Anda haru mengingat bahwa Tuhan tidak menciptakan sampah. Anak-anak dan remaja memiliki pribadi yang unik, yang pada batas-batas tertentu memiliki hak atas dirinya sendiri. Gunakalah kacamata baru anda untuk mengubah situasi stress menjadi suasana nyaman bagi pertumbuhan dan perkembangan anda.
Demi Masa Depan
Tidak diragukan lagi bahwa orangtua betapa cinta dan perhatian terhadap anda. Oleh karena itu mereka mau berkorban demi masa depan buah hati mereka. Namun, demi masa depan , banyak orang kehilangan masa kini. Semua kegiatan di rumah, di sekolah dirancang oleh orangtua dan guru demi masa depan anak-anak dengan demikian kegembiraan anak-anak pada masa sekarang ini direnggut oleh berbagai kegiatan untuk mempersiapkan masa depan mereka.
Proses pembelajaran identik dengan kegiatan “mencetak” atau “memproduksi” makluk-makluk masa depan. Dan antas nama masa depan inilah orangtua, guru, dan orang dewasa lainnya seolah berhak memaksakan kehendak mereka. Padahal seperti kata Kahlil Gibran, “Kendati dalam mimpi sekalipun, kita tak akan mampu mencapai masa depan anak-anak”. Anak-anak sendirilah pemilik masa depan, bahkan orangtuanya sekalipun tidak berhak atas masa depan anaknya.
Selain itu, cara anak-anak dan remaja menghayati dan mengalami “waktu” sangat berbeda dari orang dewasa. Orang tua memiliki waktu lineal yakni masa lalu,masa sekarang dan masa depan. Hal inilah yang menyebabkan orang dewasa membuat rencana dan bahkan merencanakan waktunya bagi anak-anak.
Bagi anak-anak waktu bersifat holistic, utuh, hanya sekarang dan saat ini yang berjalan sangat lamban. Anak-anak/remaja yang sedang bermain pasti lupa waktu. Mereka menikmati waktu saat ini dan tidak peduli apa yang akan terjadi hari esok dan mereka melupakan apa yang sudah berlalu. Oleh karena itu, dua anak yang berkelahi di pagi hari, sore hari mereka sudah bermain bersama-sama lagi.
Jadi, apa yang sedang dialami anak-anak pada masa sekarang akan membentuk masa depan mereka. Anak-anak yang sekarang ini tidak merasakan kebahagiaan hidup, sulit baginya akan merasakan kebahagiaan hidup di masa depan. Biarkanlah anak-anak menikmati hidup yang sedang berlangsung. Akan tetapi bukan berarti orangtua, guru harus memenuhi segala keinginan dan memanjakan anak-anak. Yang terpenting orangtua, guru bias menghargai anak-anak untuk menjalani masanya tanpa menciptakan beban masa depan ciptaan orangtua dan guru-guru.
Ambisi Orang Tua
Anda bisa saksikan sering diadakan lomba-lomba di sekolah, kalau di kota-kota di mal, tempat rekreasi, lapangan. Lomba mewarnai, lomba menggambar, lomba fashion, menyanyi,menari atau ketangkasan lain. Bahkan lomba-lomba ini sering untuk mempromosikan produk. Lomba-lomba ini sering untuk memenuhi ambisi orangtua daripada minat anak-anak untuk memenangi lomba.
Bagi anak-anak sesungguhnya lomba-lomba ini bisa mejadi ajang pembelajaran untuk mengukur kemampuannya, menumbuhkan keberaniannya untuk mengekspresikan diri, dan memebangun rasa percaya diri asalkan sejak awal disadari bahwa setiap lomba selalu menghasilkan “orang yang menang” dan “orang yang kalah”. Celakanya, jumlah yang kalah jauh lebih banyak daripada jumlah yang menang. Apakah guru pendamping dan orangtua sudah menyiapkan mental anak-anak untuk menerima kekalahan? Ada ambisi orangtua untuk mengumpulkan piala biasanya memakasa anak-anak mengikuti berbagai macam kursus dan les. Memang ada anak yang mampu memenuhi ambisi orangtua namun sebahagian besar tidak berhasil. Maka, biarkanlah anak-anak tumbuh menjadi diri mereka sendiri karena sang juara sejati tidak lahir dari lomba-lomba yang diadakan di tempat umum, melainkan melalui pergulatan hidup dalam mengatasi setiap keterbatan diri. Sebab anak sedang berproses untuk terus-menerus lahir menjadi manusia baru.
Seorang ibu terus-menerus mengimpikan Piala dan piagam penghargaan. Suatu waktu ia bawa anak-anaknya ke dokter jiwa untuk memerikasakan anak-anaknya, mengapa sampai mereka semua tidak pernah mendapat satu piala pengharagaan pun dalam setiap lomba yang diikutinya. Setelah pemerikasaan ternyata anak-anak semuanya sehat mental. Lalu dokter minta ibunya dipertika. Ternyata ibunya yang sakit jiwa.
Anak-anak memang membutuhkan piala penghargaan, namun piala penghargaan yang paling berharga ialah pujian dan penerimaan tulus yang diterima anak-anak dari orangtua dan dari guru. Setiap hari ada lomba di sekolah dan di rumah.sesungguhnya pujian dan penghargaan dari guru-guru adalah piala penghargaan yang luar biasa.
Ambisi adalah sesuatu yang positif karena akan memacu untuk berprestasi, namun ambisi hanya diperuntukkan bagi diri sendiri. Ambisi anda ya untuk anda sendiri, berambisilah menjadi sukses. Setiap anak harus memciptakan ambisinya sendiri. Orangtua dan guru hanya membantu untuk mewujudkan ambisi anaknya.
MEMANDANG CAKRAWALA BARUS
Secara fisik manusia sangat lemah: Ia tidak mampu terbang, tidak dapat lari secepat kuda, tidak mampu berenang selincah angsa dan kekuatan tubuhnya tidak sehebat banteng. Namun ia memiliki keunggulan pada akal budi dan membangun visi atau impian. Masa depan bangsa ini terletak pada pendidikan.
Pendidikan jangan dibatasi pada “pintar” dan “cerdas” sebatas angka-angka rapor atau rengking. Lebih konyol lagi sebatas pelajaran Matematika, IPA, IPS dan Bahasa”. Anak-anak dianggap cerdas kalau nilainya tinggi. Lebih konyol lagi, sekolah-sekolah berlomba-lomba mengikrarkan diri sebagai “sekolah unggul”.
Sekolah semacam ini hanya menambah jam pelajaran dari pagi hingga malam dengan kegiatan “menghafal soal-soal”. Anak-anak yang unggul harus belajar dua kali lebih lama dari anak-anak yang biasa-biasa saja. Ini berarti untuk menamatkan SMP dan SMA mereka membutuhkan 6 tahun. Kalau begini, anak-anak ini unggul atau terbelakang? Rupaya kita terus memproduksi sampah-sampah pendidikan, padahal “Tuhan tidak menciptakan Sampah”. Apakah pendidikan akan terus menciptakan sampah buat anak-anaknya sendiri?
Tidak ada anak Bodoh
Kita tetap menggunakan kacamata “TTMS” = Tuhan tidak menciptakan Sampah. Berdasarkan pemikiran ala Gardner, maka kita harus berani mebuang kata “bodoh, totol, lamban, abnormal” untuk anak-anak dan remaja. Kita harus membangun keyakinan baru bahwa sesungguhnya tidak ada anak bodoh. Atau kita harus berani mengatakan bahwa setiap kita adalah anak cerdas. Tidak ada lagi anak bodoh dan anak cerdas, yang ada hanyalah perbedaan jenis kombinasi kecerdasan.
Sekarang mari kita menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Dari kedelapan kecerdasan majemuk (bahasa, matekatis, spasial, kinesteris, musical, interpersonal, intrapersonal dan naturalis) kecerdasan mana yang selama ini anda pakai sebagai kecerdasan anda?
2. Dari kedelapan kecerdasan tersebut, kecerdasan mana yang anda anggap bukan kepadaian sehingga anda mengabaikannya?
3. Sekarang cocokkan kedelapankecerdasan ini terhadap diri andan:
a. Apakah anda bisa berbicara dengan lancer? Bisa berceritera? Mengemukanan pendapat? Menulis? Jika “Ya” maka anda memiliki kecerdasan Lingusitik.
b. Apakah anda bisa berhitung? Kritis? Ingin tahu? Jika jawaban “Ya” maka anda memiliki kecerdasan Matematis-Logis.
c. Apakah anda bisa membayangkan suatu benda dalam pikiran anda? Memperkirakan tingginya pohon? Membuat patung dari pasir? Menghafal jalan dari rumah ke sekolah? Membaca peta? Jika jawabannya “ya” maka anda memiliki kecerdasan special.
d. Apakah anda menyukai salah satu cabang olahraga? Suka bermain kejar-kejaran? Suka memanjat pohon? Menari atau menggerakkan anggota badan dengan leluasa? Jika jawaban anda “ya” berarti anda memiliki kecerdasan Kinestetis.
e. Apakah anda suka menyanyi? Cepat menirukan lagu di TV? Suka memainkan alat music? Atau memukul benda-benda sehingga timbul irama? Jika jawaban anda “ya”, berarti anda memiliki Kecerdasan Musikal.
f. Apakah anda memiliki teman dekat? Bisa bergaul dan disukai teman-teman? Jika jawaban anda “ya”, berarti anda memiliki Kecerdasan interpersonal.
g. Apakah anda suka menulis buku harian? Agak pendiam dan cepat introspeksi (melihat kedalam hati sendiri) dan bisa dinasehati? Mengerti kelebihan dan kekurangan dengan baik? Jika jawaban anda “ya” berarti anda memiliki Kecerdasan Intrapersonal.
h. Coba perhatikan apakah anda suka merawat tanaman? Suka memelihara binatang? Suka Kemping atau suka bepergian? Mengumpulkan batu-batuan, kerang, atau biji-bijian? Jika jawaban anda “ya”, berarti anda memiliki Kecerdasan Naturalis.
Setelah anda menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, barangkali anda tertawa, terkejut, atau tidak percaya. Sebab ternyata anda memiliki banyak kecerdasan, tidak ‘bodoh’ atau ‘kuran cerdas’ seperti yang anda duga selama ini. Itulah kenyataannya: tidak ada anak ‘bodoh’.
Tuhan tidak menciptakan Sampah! Ia mempunyai rencana terhadap setiap anak yang dilahirkan di dunia ini dan Ia membekalinya dengan potensi tertentu untuk menjalani hidup ini.
ANAK-ANAK YANG BAHAGIA
Kebahagiaan jangan ditunggu sampai anda menjadi orang dewasa, karena hanya anak-anak yang “hari ini” merasa bahagia memiliki peluang besar menjadi orang dewasa yang bagagia ‘kelak’. Merasabahagia bukan berarti menjauhkan segala kesulitan seperti, bebas mengiktui pelajaran, bebas mengikuti ujian dll. Melainkan anak yang merasa bahagia berarti anak anak yang mampu menghargai dan menerima secara positif apa pun keadannya saat ini. Barbara DeAngelis mengatakan,”Jika hari ini kamu tidak bias menikmati uang 10 dolar karena menginginkan 1000 dolar maka nantinya ketika kamu memiliki 1000 dolar pun kamu tidak akan bahagia”. Jadi, anda harus belajar menggunakan kesempatan “hari ini” sebaik-baiknya, memandang semua kejadian dari sisi positif.
Anak yang bahagia adalah anak yang menerima diri apa adanya, tanpa syarat. Sayangnya orangtua sering kali menuntut akan-anak mereka untuk membalas pengorbanan mereka. Tuntutan balas budi itu sering berupa presatasi, nama baik, atau hal-hal yang tidak mengecewakan orangtua.
Anak yang bahagia adalah mereka yang bahagia memiliki orangtua atau orang dewasa lainnya yang mau memberikan waktu mereka untuk hadir bersamanya, mendengarkan dan mengerti apa yang dirasakan, dipikirkan, bahkan dikhayalkannya. Memiliki orang-orang dewasa yang mau mendengarkan mereka dengan hati sehingga menjadi andalan yang bias dipercaya.
Anak-anak yang bahagia adalah mereka yang mampu mengenali kelebihan dan kekuarangannya dengan wajar, tanpa dibebani untuk selalu juara atau sempurna. Yang bias tertawa melihat kesalahan dan kekonyolannya sendiri dan belajar dari kesalahan dan kekonyolannya. Bernyanyi dan menari menjadi ekspresi jiwanya,menghargai keunggulan alam dan mampu mengapresiasi karya seni, apa pun bentuknya.
Anak-anak yang bahagia adalah mereka yang punya waktu untuk bermain dan bercanda dengan teman sebayanya, tidak menghabiskan waktu untuk les semata-mata. Dunia ini sangat kaya dan luas, jangan hanya dibatasi angka 1 sampai 9 seperti dalam matematika. Mereka belajar menjalin persahabatan, memlihara, dan mempertahankannya.
Anak-anak yang berbahagia adalah mereka yang berdiri pada potensinya sendiri, tanpa harus diukur melalui potensi orang lain. Mereka tidak mabuk dengan lomba-lomba popularitas karbitan karena ambisi orangtua atau guru. Mereka yang dengan diam-diam menerbangkan daya imaginasi dengan sayap kreativitasnya, apa pun penilaian orang lain.
Ingatlah bahwa hanya anak-anak yang bahagia yang akan mampu membahagiakan orang lain, yang mampu mengubah planet bumi ini menjadi tempat yang lebih baik.
Dirangkum dari Sebuah Makalah
Dilihat : 156
Follow WhatsApp Channel matatimor.net untuk update berita terbaru setiap hari Follow