Peranan Guru Mengintegrasikan Pendidikan Nilai dalam Membangun Karakter Siswa
Oleh RD. Anselmus Leu (Rohaniwan Katolik. Keuskupan Agung Kupang,
Pastor Paroki Sta. Helena Lili – Camplong)
1. Hakikat Pendidikan Nilai
Kebutuhan akan penanaman pendidikan nilai mulai nampak dan dirasakan penting setelah maraknya berbagai bentuk penyimpangan asusila, amoral di tengah masyarakat.
Hampir setiap hari ada saja pemberitaan di media cetak dan elektronik tentang pembunuhan, pemerkosan, seks bebas di luar nikah, aborsi, peredaran dan pemakaian narkoba, bahkan pernah dilansir kasus pemerasan yang dilakukan geng anak usia sekolah dasar (SD).
Tentu hal ini membuat gelisah dan cemas terutama akan dirasakan oleh para orangtua termasuk pihak lembaga sekolah yang mengemban tugas melakukan untuk mendidik, melatih dan membimbing anak didiknya.
Ini persoalan serius dan perlu mendapat perhatian ekstra khususnya bagi pelaku-pelaku dunia pendidikan.
Ketidakseimbangan desain pendidikan yang hanya memfokuskan pada pencapaian aspek intelektual atau ranah kognitif semata dan mengabaikan aspek penanaman dan pembinaan nilai/sikap diduga sebagai penyebab munculnya degradasi atau demoralisasi terutama yang dialami oleh anak sekolah.
Gaffar (Sauri: 2009) menyebutkan bahwa pendidikan bukan hanya sekedar menumbuhkan dan mengembangkan keseluruhan aspek kemanusiaan tanpa diikat oleh nilai, tetapi nilai itu merupakan pengikat dan pengarah proses pertumbuhan dan perkembangan tersebut.
Nilai sebagai sesuatu yang berharga, baik, luhur, diinginkan dan dianggap penting oleh masyarakat pada gilirannya perlu diperkenalkan pada anak. Sanjaya (2007) mengartikan nilai (value) sebagai norma-norma yang dianggap baik oleh setiap individu.
Inilah yang menurutnya selanjutnya akan menuntun setiap individu menjalankan tugas-tugasnya seperti nilai kejujuran, nilai kesederhanaan, dan lain sebagainya.
Mulyana (2004) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Pendidikan nilai tidak hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, akan tetapi mencakup keseluruhan program pendidikan.
NursidSumaatmadja (2002) menambahkan bahwa pendidikan nilai ialah upaya mewujudkan manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, manusiawi dan berkepedulian terhadap kebutuhan serta kepentingan orang lain; yang intinya menjadi manusia yang terdidik baik terdidik dalam imannya, ilmunya maupun akhlaknya serta menjadi warga negara dan dunia yang baik (well educated men and good citenship).
Sebagai perbandingan, penerapan konsep-konsep pendidikan nilai menurut Sofyan Sauri (2007) pernah diterapkan pada sebuah lembaga pendidikan di Thailand dengan menggunakan suku kata yang terdapat dalam kata EDUCATION yang memiliki arti sebagai sebagai berikut.
(E) Singkatan untuk Enlightenment (pencerahan). Ini adalah proses pencapaian pemahaman dari dalam diri atau bathin melalui peningkatan kesadaran menuju pikiran super sadar yang akan memunculkan intuisi, kebijaksanaan, dan pemahaman.
(D) Singkatan untuk Duty and Devotion (tugas dan pengabdian). Pendidikan harus membuat siswa menyadari tugasnya dalam hidup. Selain memiliki tugas atau kewajiban yang terhadap orang tua dan keluarga, siswa juga memiliki kewajiban yang berlandaskan cinta kasih dan belas kasih untuk melayani dan menolong semua orang di masyarakat dan di dunia.
(U) Singkatan untuk Understanding (pemahaman). Ini bukan hanya mengenai pemahaman terhadap mata pelajaran yang diberikan dalam kurikulum nasional tetapi juga penting untuk memahami diri sendiri.
(C) Singkatan untuk Character (karakter). Guru mesti membentuk karekter yang baik pada diri siswa. Seorang yang berkarakter adalah seorang yang memiliki kekuatan moral dan lima nilai kemanusiaan yaitu Kebenaran, Kebajikan, Kedamaian, Kasih sayang dan tanpa Kekerasan. Nilai kemanusiaan tersebut harus terpadu dalam pembelajaran di kelas.
(A) Singkatan untuk Action (tindakan). Para siswa kini belajar dengan giat dan menuangkan pengetahuan yang dipelajarinya dalam ruang ujian dan keluar dengan kepala kosong. Pengetahuan yang mereka peroleh tidak diterapkan dalam tindakan.
Pendidikan seperti itu tak berguna. Apapun yang dipelajari siswa mesti diterapkan dalam praktek. Model pembelajaran yang baik mesti membuat hubungan antara yang dipelajari dan situasi nyata dalam hidup. Hal ini akan memungkinkan siswa mengaplikasikan pengetahuan ke dalam hidup mereka sendiri.
(T) Singkatan untuk Thanking (berterima kasih). Siswa mesti belajar berterima kasih kepada orang-orang yang telah membantu mereka.
Di atas segalanya adalah orang tua yang telah melahirkan dan mengasuh mereka. Siswa harus mengasihi dan menghormati orang tua mereka. Selanjutnya siswa harus berterima kasih kepada guru-guru, karena siswa memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan melalui guru-guru.
Maka siswa mesti mengasihi dan menghormati guru. Demikian pula, siswa telah mendapatkan banyak hal dari masyarakat, dari bangsa, dari dunia, dan alam. Siswa mesti selalu berterima kasih kepada semua hal.
(I) Singkatan untuk Integrity (Integritas).. Integritas adalah sifat jujur dan karakter menjunjung kejujuran. Siswa mesti tumbuh menjadi seseorang yang memiliki integritas, yang bisa dipercaya untuk menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing.
(O) Singkatan untuk Oneness (kesatuan). Pendidikan mesti membantu siswa melihat kesatuan dalam kemajemukan. Apakah kita memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda, warna kulit dan ras yang berbeda. Kita mesti belajar hidup damai dan harmonis dengan alam.
(N) Singkatan untuk Nobility (kemuliaan). Kemuliaan adalah sifat yang muncul karena memiliki karakter yang tinggi atau mulia. Kemuliaan tidak timbul dari lahir tetapi muncul dari pendidikan.Jadi, kemuliaan terdiri dari semua nilai-nilai yang dijelaskan di atas. Berdasarkan konsep-konsep yang telah dikemukakan tadi, kunci pendidikan nilai terletak pada penanaman nilai-nilai luhur ke dalam diri peserta didik. Nilai-nilai tersebut diantaranya berupa (a) kecintaan terhadap Tuhan dan segenap ciptaanNya
(love Allah, trust, reverence, loyalty); (b) tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian (responsibility, excellence, selfreliance, discipline, orderliness); (c) kejujuran dan arif (trustworthines, honesty, and tactful); (d) hormat dan santun (respect, courtesy, obedience); (e) dermawan, suka menolong dan gotong-royong/kerjasama (love, compassion, caring,empathy, generousity, moderation, cooperation); (f) percaya diri, kreatif dan pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity,resourcefulness, courage, determination, enthusiasm); (g) kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, leadership); (h) baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty) toleransi, kedamaian dan kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity)
Penanaman nilai-nilai tersebut memerlukan pembiasaan. Artinya sejak usia dini termasuk pada tingkatan anak sekolah dasar, anak mulai dibiasakan mengenal mana perilaku atau tindakan yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dilakukan mana yang tidak sehingga diharapakan pada gilirannya menjadi sebuah kebiasaan (habit).
Perlahan-lahan sikap/nilai-nilai luhur yang ditanamkan tersebut akan terinternalisasi ke dalam dirinya dan membentuk kesadaran sikap dan tindakan sampai usia dewasa.
Waini Rasydin (2007) mengemukakan bahwa Konsep pendidikan dasar pada dasarnya ialah pendidikan nilai. di mana tujuannya ialah untuk memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan potensi dasar yang dimiliki dan diorientasikan untuk pembinaan dan pengembangan kepribadian, watak, dan karakter manusia seutuhnya. Sementara pembinaan aspek intelektual hanya sebagai peletak dasar saja berupa pengetahuan-pengetahuan dasar dan bukan menjadi orientasi utama.
Peningkatan kemampuan intelektual nantinya akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan berikutnya.
Hal pertama yang harus diketahui dalam penyelenggaraan pendidikan dasar ialah mengenal, menggali dan mengembangkan potensi dasar yang dimililki anak usia Sekolah Dasar (SD). Sumaatmadja, (2005) menjelaskan bahwa pada prinsipnya anak sebagai individu dan calon anggota masyarakat merupakan potensi yang berkembang dan dapat dikembangkan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa setiap individu memiliki empat dasar mental yaitu meliputi
(4D) dorongan ingin tahu(sense of curiosity), minat (sense of interest), dorongan ingin melihat(sense of reality), dorongan menemukan sendiri hal-hal dan gejala-gejala dalam kehidupan(sense of discovery).
Dasar mental tadi merupakan modal yang sangat berharga bagi pelaksanaan dan penyelenggaran pendidikan. Oleh karena itu, harus dipupuk dan dikembangkan secara positif bagi kepentingan anak sendiri. Selanjutnya sebagai anggota masyarakat, dasar mental yang dimiliki harus dibina ke arah tanggungjawab anak tersebut sebagai insan sosial. Kewajaran kehidupan mereka dapat dikatakan normal, bila dasar mental mereka serasi dengan kondisi dan situasi kehidupan sosialnya.
Sangat menarik tulisanya