MENGENANG PERJAMUAN TUHAN WARISAN TERAKHIR
Kel. 12: 1-8.11-14; Mzm. 116: 12-13-15-15bc.17-18; 1Kor 11: 23-26; Yoh. 13: 1-15
Perayaan Syukur
Persiapan Perayaan syukur Malam Paskah sudah mantap. Yesus bersama murid-murid sudah duduk mengelilingi Meja perjamuan. Suasana kekeluargaan mewarnai ruangan perjamuan. Mereka bersama-sama mau mengucap syukur kepada Allah karena telah membebaskan Israel leluhur mereka dari Penawanan di Mesir dan mereka menyebrangi Laut Mera dengan kaki kering.
Namun Hubungan yang baik guru-murid kini mulai diganggu oleh kekuatan gelap. Kekuatan iblis. Kekuatan dosa. Mejadi kenyataan bahwa dalam suasan kekeluargaan ini, mereka tidak terlepas dari kelemahan manusiwi. Ketika makan bersama iblis berhasil menggoda Yudas iskariot untuk mengkhianati Gurunya-Yesus.
Yudas kerasukan Iblis justru pada saat Yesus memberinya roti yang sudah dicelupkan dalam air anggur-artinya makanan yang siap untuk disantap yang diberikan oleh tuan rumah kepada orang yang diundangnya. Sampai saat itu, Yesus menganggap Yudas masih sebagai orangnya, termasuk keluarga, diajak makan bersama. Jadi, Iblis masih menggunakan cara-cara manusiawi untuk menggagalkan kehadiran Ilahi di tengah-tengah manusia.
Maksud Injil Yohanes yakni kekuatan-kekuatan gelap itu bisa juga memakai cara-cara Allah sendiri.
Yudas yang sudah kerasukan Iblis disuruh pergi. “Setelah Yudas pergi” (Yoh 13: 31), Yesus berbicara mengenai Anak Manusia yang dimuliakan di dalam dia. Yudas tidak mendengar perintah baru yang diberikan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya untuk saling mengasihi.
Dengan perginya Yudas hendak dikatakan bahwa mulai dari saat itu Iblis tidak lagi mengancam kelompok rasul-rasul.
Perjamuan terakhir
Perjamuan terakhir ini selain sebagai perjamuan syukur juga sebagai perjamuan perpisahan sebelum Yesus pergi kepada Bapanya untuk menyiapkan tempat bagi kita di sana. Apa yang dibuat oleh seorang guru pada siatusi seperti ini? Ia akan megajarkan pengetahuan yang paling dalam dan paling handal sesuai “ilmunya”. Apakah para murid akan mampu untuk melalukan apa yang diajarkan dan yang diperbuatnya? Pasti belum bisa. Tapi tidak apa-apa, masih ada kesempatan. Ia memberikan hal-hal pokok saja, nanti didalami oleh murid-murid-Nya. Yesus memberikan hal yang paling nyata bagi kehidupan sehari-hari: saling mengasihi.
Ia bukan saja mengajarkan perintah “kasih” akan tetapi ia melaknakannya dengan cara agak aneh, “Membasuh kaki murid-murid-Nya”. Pembasuhan kaki oleh hamba kepada tuan adalah hal bisa, namun pembasuhan kaki oleh Tuhan Yesus kepada murid dan manusia bukan hal yang biasa. Pembasuhan ini pula mejadi tanda “pelayanan” dan “korban”. Tak ada kasih yang paling agung bagi orang yang menyerahkan nyawa-nya bagi orang yang dikasihi.
Siapa yang bisa mengasihi seperti Yesus?
Kita bisa coba secara berulangkali untuk mengasihi seperti Yesus, melayani seperti Yesus, namun dapatkah kita bisa berbuat seperti Yesus? Godaan besar bagi manusia, bagi orang yang dekat dengannya, ialah mau menjadi seperti dia. Ia tidak minta itu dari kita. Kita boleh menjadi seorang pahlawan, malah kita tidak mampu menjadi murid Kristus. Yesus sendiri juga tidak pernah mau mencoba menjadi Allah. Ia diangkat oleh Bapa menjadi Tuhan bagi manusia.
Kasih yang kreatif dan Bebas
Kalau ditimbang-timbang, kita justru akan merasa lebih gampang hidup bila tidak diminta untuk menjalankan kasih sayang dengan cara persis yang dilakukan Yesus. Karena kasih itu bukan sekedar sebagai “tiru-meniru” atau sesuai dengan tokoh model kasih itu.
Kita diminta untuk menemukan jalan baru yang belum terpikirkan sebelumnya. Setiap orang dapat menghidupkan kasih dengan pelbagai cara. Seorang ibu tidak bisa makan jika anaknya yang sakit tidak mau makan. Ia tidak bisa tidur jika anaknya belum tidur. Kasih itu harus “kreatif” dan “asli”. Mengasihi “bukan karena”. Kasih itu bukan “Pola”, “aturan”, “norma”. Kehadiran dan pelayanan kita karena “kasih yang kreatif”, akan membuahkan wilayah-wilayah kehidupan baru.