Menakar Kepantasan Siswa Ditahan Kelas | oleh Simon Seffi

BERITA111 Dilihat
Menakar Kepantasan Siswa Ditahan Kelas
(Oleh: Simon Seffi)
Akhir tahun pelajaran bagi warga sekolah kembali datang. Proses pembelajaran selama satu tahun pelajaran dievaluasi. Laporan hasil belajar yang berisi capaian nilai kognitif, ketrampilan, dan catatan sikap tiap siswa dibagikan. Naik kelas atau tidak adalah hasil belajarnya selama setahun. Bisa jadi, libur panjang datang kali ini saat ada yang kecewa ketika banyak yang tertawa gembira. 
Sedikitnya, tulisan ini menjadi semacam refleksi yang bermaksud ikut ambil bagian dalam perasaan beberapa anak bangsa yang mungkin saja tidak naik kelas. Setidaknya, refleksi ini kemudian dipaketkan dengan aksi yang terukur dalam menawarkan perubahan atas praksis yang mungkin saja belum optimal, atau juga perubahan atas praksis yang mungkin saja bersandar pada cara pandang yang cenderung tak utuh, terhadap keberadaan tiap pribadi anak bangsa yang sesungguhnya merupakan sesama kita yang unik dan sama berharga di hadapan Sang Kuasa, meski ‘sangat bodoh dalam kaca mata kita yang masih kabur. 
Dalam penentuan kenaikan kelas, tak jarang, muncul perdebatan panjang antar pemangku sekolah mengenai ‘nasib banyak anak bangsa yang, kadang  kadang, dianggap bermasalah. Yang banyak bolos dan  absen, malas mengerjakan tugas, pembangkang, capaian nilai pada beberapa mata pelajaran tidak memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM), dan sejenisnya, mendapat tempat penting dalam perdebatan itu. 
Bukan rahasia, sebagian guru kemudian menginginkan semacam ‘penyelamatan agar tak ada yang tertahan kelas. Sebaliknya, sebagian yang lain kukuh mempertahankan keputusan penahanan yang katanya penilaiannya lahir dari sebuah proses panjang yang tentu saja terlalu terhormat untuk dimentahkan.
Hemat penulis, dalam penentuan hasil belajar siswa, sebelum terjebak dalam perdebatan pada hal  hal yang menjadi alasan siswa ditahan kelas, setidaknya, beberapa hal berikut mesti dipertimbangkan oleh setiap guru yang punya kuasa atas ‘nasib banyak anak bangsa di kelasnya. 
Pertama, banyak sekolah kita yang kondisinya masih jauh dari ideal sesuai standar minimal yang ditetapkan pemangku kepentingan (secara Nasional, ada delapan standar) . Yang paling kentara, belum memadainya sarana dan prasarana (sarpras) pendukung pembelajaran di banyak sekolah menjadikan pembelajaran tidak berlangsung optimal. Yang terjadi, warga sekolah tidak hanya susah mengakses konten materi belajar sesuai minat dan bakatnya. Lebih dari itu, praksis pembelajaran yang kontennya melibatkan banyak moda (multimodal text) masih jadi barang mahal. Literasi yang sudah menjadi gerakan nasional selama dua tahun terakhir saja masih setengah hati diintegrasikan dalam praksis pembelajaran di banyak satuan pendidikan akibat minimnya buku bacaan pendudukung. Belum lagi pengadaan sarpras (buku  buku penunjang pembelajaran hingga bacaan fiksi dan karya sastra, alat peraga, bangunan, dsb) menggunakan berbagai sumber anggaran juga ikut ditunggangi kepentingan sempit yang menjadikan sekolah sebagai lahan basah untuk bermain lumpur. 
Kedua, setiap siswa yang menyerahkan dirinya pada sekolah datang dengan latar intelektual yang beragam. Mereka unik. Sedikitnya, sesuai pandangan Howard Gardner, setiap individu memiliki banyak jenis kecerdasan (multiple intelligence) antara lain; kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis  logis, kecerdasan visual  spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestesis, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan eksistensial (lihat Munif Chatib, dalam orangtuanya manusia). Menurut Gardner, setiap siswa memiliki kecerdasan yang jamak dengan kadar yang beragam pada masing  masing jenis kecerdasan yang dimilikinya. Karena itu, kemampuan kognitif dan minat siswa terhadap berbagai mata pelajaran tentu berbeda antar individu.
Ketiga, tiap anak bangsa yang bersekolah memiliki gaya belajarnya sendiri. Masing  masing memiliki caranya sendiri untuk melakukan kegiatan berpikir, mengolah, dan memahami informasi yang disampaikan. Dalam Genius Learning Strategy, mengutip Rita dan Ken Dunn dari St. Johns University, New York, Adi. W. gunawan menyampaikan bahwa gaya belajar tiap individu merupakan kombinasi dari ingkungan (suara, cahaya, temperature, desain), Emosi (motivasi, keuletan, tanggung jawab, struktur), sosiologi (sendiri, berpasangan, kelompok, tim, dewasa, bervariasi), fisik (cara pandang, pemasukan, waktu, mobilitas), dan Psikologis (global/analitis, otak kiri  otak kanan, impulsive/reflektif). Karena itu, gaya belajar yang berbeda antar tiap siswa mesti diakomodasi guru dengan pendekatan yang tepat. Pendekatan yang bisa digunakan antara lain pendekatan yang didasarkan pada preferensi sensori tiap anak, yang membedakan kecenderungan gaya belajar tiap individu pada tipe pebelajar audiotori, visual, dan pebelajar tipe kinestetik. Lebih lanjut, Gunawan menyatakan bahwa terdapat 29 % pebelajar tipe Visual, 34 % tipe Audiotori, dan 37 % pebelajar tipe kinestetik. Beberapa penelitian mengonfirmasi bahwa Siswa yang gaya belajarnya cenderung pada tipe Audiotori dan Visual dapat mengikuti pembelajaran yang disajikan dalam moda apapun. Sebaliknya, pebelajar kinestetik tak akan berhasil mengikuti pembelajaran yang tidak sesuai dengan gaya belajarnya.
Bersandar pada pertimbangan di atas, mau tak mau, mesti ada semacam keberanian untuk berkompromi dengan capaian belajar anak bangsa yang dianggap pantas ditahan kelas jika saja capaian nilai kognisinya tidak mencapai KKM yang ditentukan. Hemat penulis, dari sisi kognitif, mestinya bisa diatur agar tidak ada siswa yang tidak tuntas pada tiap mata pelajaran. Maksudnya, secara teknis, sekolah harus berani menetapkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) pada angka yang ideal didasarkan pada rerata penilaian kemampuan kognitif siswa yang dipadukan dengan pertimbangan terhadap kemudahan akses pada referensi belajar multimoda dan tingkat kesulitan materi yang akan diajarkan dari sisi siswa. Sebagai contoh, indeks pada aspek tingkat kesulitan materi tidak harus tinggi meskipun hasil analisis menunjukkan bahwa konten materi berada pada level kognitif yang rendah sesuai taxonomi level kognitif yang dikembangkan Bloom (maupun yang disempurnakan oleh Anderson), dan pengetahuan yang dipelajari belum mencapai dimensi metakognisi, andai rerata angka yang menunjukkan modal pengetahuan prasyarat yang dimiliki siswa tidak mendukung. 
Dengan kompromi yang demikian, tidak masalah jika angka KKM pada sekolah – sekolah pelosok yang kondisi sarprasnya memprihatinkan berbeda secara ekstrim dengan satuan pendidikan yang kondisi sarprasnya sudah memadai bertahun  tahun sebelumnya. Wajar saja jika kesenjangan sosial yang menjajah sekolah juga mempengaruhi perbedaan ekstrim angka KKM. Juga, menjadi tidak adil jika kemudian ada sekolah yang kukuh pada alasan ketercapaian KKM, padahal, angka keramat itu ditentukan tanpa dasar yang jelas dan minim kemauan untuk  menyelami keragaman latar sosial, budaya, ekonomi, dan intelektual tiap individu yang dididik olehnya. 
Nilai kognisi yang rendah tidak lantas menempatkan siswa sebagai manusia yang bodoh. Kesenjangan sosial yang menjajah sekolah menjadikan potensi kecerdasan tertentu dari  banyak anak bangsa yang tidak terjamah akibat minimnya sarpras pendukung pembelajaran. Banyak dari mereka yang kemudian terjebak dalam rutinitas bersekolah yang memenjarakan bakat, kreatifitas, dan jiwanya. Mereka kemudian dianggap bodoh karena rendahnya nilai kognitif dari mata pelajaran yang tidak mereka minati. Pilihan sekolah yang mestinya beragam sesuai dengan minat, bakat, dan potensi kecerdasan tiap anak bangsa masih jadi barang mahal dinegeri ini ketika tidak sedikit elit bergelimang uang dan fasilitas nikmat dari pajak rakyat. Mau tidak mau, mereka memang harus bersekolah dalam penjara tersebut. Penjara yang oleh Paulo Freire dalam bukunya, Pendidikan kaum tertindas, juga ada praktik penindasan. Apalagi, tidak susah menemukan pembelajaran yang antidialogis akibat keengganan guru mengemas pembelajaran yang kooperatif dan partisipatif dan mengakomodasi keragaman gaya belajar, hingga pendekatan pembelajaran gaya bank akibat kekurangan referensi multimoda dalam praksis bersekolah kita. Tak jarang, banyak siswa yang kemudian lebih senang bolos dan absen untuk menghindari pembelajaran dan berbagai tugasnya karena minat, bakat, dan jiwanya tak tersentuh. Mereka terpinggir, digusur, bahkan ditindas ketika praksis pembelajaran menempatkan mereka sebagai yang bodoh dan layak dihujani ekspresi wajah tak bersahabat, cacian, umpatan, makian, pukulan, dan hinaan.
Sebab itu, bagi penulis, sungguh tidak adil menahan siswa naik kelas hanya karena nilai akademiknya tidak mencapai KKM. Aspek sikap yang seharusnya mendapat tempat terhormat dalam penentuan kenaikan kelas. Sehingga, dibutuhkan kolaborasi yang intens dan terukur antara sekolah, guru, dan orang tua dalam melakukan penilaian terhadap sikap siswa agar bebas dari sentimen yang cenderung subyektif. Sudah saatnya membuang ego dan keengganan sekolah dan guru untuk membangun komunikasi dan kolaborasi dengan orang tua. Idealnya, setiap guru, terutama wali kelas, perlu melakukan kunjungan rumah dan interaksi sosial sejenis pada siswa, terutama siswa yang dianggap bermasalah. Menghakimi anak yang nakal, tidak disiplin, malas belajar, sering absen dan bolos, dan masalah sejenisnya tanpa menyelami latar sosial, budaya, ekonomi, dan intelektual anak akan menghasilkan keputusan yang cenderung subyektif dan tidak adil. Apalagi jika juga tidak ada komunikasi dan kolaborasi bersama orang tua selama tahun pembelajaran.
Hemat penulis, jika aspek afeksi yang dikedepankan dalam penilaian, sekolah menjadi tempat yang subur untuk menyemai, menumbuhkan, dan merawat karakter anak bangsa. Sebab, setiap aktifitas pembelajaran, yang berfokus pada aspek kognitif sekalipun, menjadi media untuk membelajarkan dan membiasakan tindakan moral yang baik. Seperti kata Thomas Lickona  dalam Educating For Character, tampilan sikap yang baik dan bersahabat dalam memperlakukan siswa adalah pelajaran moral yang paling pertama. Dengan begitu, perbedaan nilai kognitif tak akan menggusur siswa yang ‘bodoh, apalagi membuat sedih dan kecewa karena tak naik kelas. Semoga.
Akhir tahun pelajaran bagi warga sekolah kembali datang. Proses pembelajaran selama satu tahun pelajaran dievaluasi. Laporan hasil belajar yang berisi capaian nilai kognitif, ketrampilan, dan catatan sikap tiap siswa dibagikan. Naik kelas atau tidak adalah hasil belajarnya selama setahun. Bisa jadi, libur panjang datang kali ini saat ada yang kecewa ketika banyak yang tertawa gembira. 
Sedikitnya, tulisan ini menjadi semacam refleksi yang bermaksud ikut ambil bagian dalam perasaan beberapa anak bangsa yang mungkin saja tidak naik kelas. Setidaknya, refleksi ini kemudian dipaketkan dengan aksi yang terukur dalam menawarkan perubahan atas praksis yang mungkin saja belum optimal, atau juga perubahan atas praksis yang mungkin saja bersandar pada cara pandang yang cenderung tak utuh, terhadap keberadaan tiap pribadi anak bangsa yang sesungguhnya merupakan sesama kita yang unik dan sama berharga di hadapan Sang Kuasa, meski ‘sangat bodoh dalam kaca mata kita yang masih kabur. 
Dalam penentuan kenaikan kelas, tak jarang, muncul perdebatan panjang antar pemangku sekolah mengenai ‘nasib banyak anak bangsa yang, kadang  kadang, dianggap bermasalah. Yang banyak bolos dan  absen, malas mengerjakan tugas, pembangkang, capaian nilai pada beberapa mata pelajaran tidak memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM), dan sejenisnya, mendapat tempat penting dalam perdebatan itu. Bukan rahasia, sebagian guru kemudian menginginkan semacam ‘penyelamatan agar tak ada yang tertahan kelas. Sebaliknya, sebagian yang lain kukuh mempertahankan keputusan penahanan yang katanya penilaiannya lahir dari sebuah proses panjang yang tentu saja terlalu terhormat untuk dimentahkan.
Hemat penulis, dalam penentuan hasil belajar siswa, sebelum terjebak dalam perdebatan pada hal  hal yang menjadi alasan siswa ditahan kelas, setidaknya, beberapa hal berikut mesti dipertimbangkan oleh setiap guru yang punya kuasa atas ‘nasib banyak anak bangsa di kelasnya. 
Pertama, banyak sekolah kita yang kondisinya masih jauh dari ideal sesuai standar minimal yang ditetapkan pemangku kepentingan (secara Nasional, ada delapan standar) . Yang paling kentara, belum memadainya sarana dan prasarana (sarpras) pendukung pembelajaran di banyak sekolah menjadikan pembelajaran tidak berlangsung optimal. Yang terjadi, warga sekolah tidak hanya susah mengakses konten materi belajar sesuai minat dan bakatnya. Lebih dari itu, praksis pembelajaran yang kontennya melibatkan banyak moda (multimodal text) masih jadi barang mahal. Literasi yang sudah menjadi gerakan nasional selama dua tahun terakhir saja masih setengah hati diintegrasikan dalam praksis pembelajaran di banyak satuan pendidikan akibat minimnya buku bacaan pendudukung. Belum lagi pengadaan sarpras (buku  buku penunjang pembelajaran hingga bacaan fiksi dan karya sastra, alat peraga, bangunan, dsb) menggunakan berbagai sumber anggaran juga ikut ditunggangi kepentingan sempit yang menjadikan sekolah sebagai lahan basah untuk bermain lumpur. 
Kedua, setiap siswa yang menyerahkan dirinya pada sekolah datang dengan latar intelektual yang beragam. Mereka unik. Sedikitnya, sesuai pandangan Howard Gardner, setiap individu memiliki banyak jenis kecerdasan (multiple intelligence) antara lain; kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis  logis, kecerdasan visual  spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestesis, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan eksistensial (lihat Munif Chatib, dalam orangtuanya manusia). Menurut Gardner, setiap siswa memiliki kecerdasan yang jamak dengan kadar yang beragam pada masing  masing jenis kecerdasan yang dimilikinya. Karena itu, kemampuan kognitif dan minat siswa terhadap berbagai mata pelajaran tentu berbeda antar individu.
Ketiga, tiap anak bangsa yang bersekolah memiliki gaya belajarnya sendiri. Masing  masing memiliki caranya sendiri untuk melakukan kegiatan berpikir, mengolah, dan memahami informasi yang disampaikan. Dalam Genius Learning Strategy, mengutip Rita dan Ken Dunn dari St. Johns University, New York, Adi. W. gunawan menyampaikan bahwa gaya belajar tiap individu merupakan kombinasi dari ingkungan (suara, cahaya, temperature, desain), Emosi (motivasi, keuletan, tanggung jawab, struktur), sosiologi (sendiri, berpasangan, kelompok, tim, dewasa, bervariasi), fisik (cara pandang, pemasukan, waktu, mobilitas), dan Psikologis (global/analitis, otak kiri  otak kanan, impulsive/reflektif). Karena itu, gaya belajar yang berbeda antar tiap siswa mesti diakomodasi guru dengan pendekatan yang tepat. Pendekatan yang bisa digunakan antara lain pendekatan yang didasarkan pada preferensi sensori tiap anak, yang membedakan kecenderungan gaya belajar tiap individu pada tipe pebelajar audiotori, visual, dan pebelajar tipe kinestetik. Lebih lanjut, Gunawan menyatakan bahwa terdapat 29 % pebelajar tipe Visual, 34 % tipe Audiotori, dan 37 % pebelajar tipe kinestetik. Beberapa penelitian mengonfirmasi bahwa Siswa yang gaya belajarnya cenderung pada tipe Audiotori dan Visual dapat mengikuti pembelajaran yang disajikan dalam moda apapun. Sebaliknya, pebelajar kinestetik tak akan berhasil mengikuti pembelajaran yang tidak sesuai dengan gaya belajarnya.
Bersandar pada pertimbangan di atas, mau tak mau, mesti ada semacam keberanian untuk berkompromi dengan capaian belajar anak bangsa yang dianggap pantas ditahan kelas jika saja capaian nilai kognisinya tidak mencapai KKM yang ditentukan. Hemat penulis, dari sisi kognitif, mestinya bisa diatur agar tidak ada siswa yang tidak tuntas pada tiap mata pelajaran. Maksudnya, secara teknis, sekolah harus berani menetapkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) pada angka yang ideal didasarkan pada rerata penilaian kemampuan kognitif siswa yang dipadukan dengan pertimbangan terhadap kemudahan akses pada referensi belajar multimoda dan tingkat kesulitan materi yang akan diajarkan dari sisi siswa. Sebagai contoh, indeks pada aspek tingkat kesulitan materi tidak harus tinggi meskipun hasil analisis menunjukkan bahwa konten materi berada pada level kognitif yang rendah sesuai taxonomi level kognitif yang dikembangkan Bloom (maupun yang disempurnakan oleh Anderson), dan pengetahuan yang dipelajari belum mencapai dimensi metakognisi, andai rerata angka yang menunjukkan modal pengetahuan prasyarat yang dimiliki siswa tidak mendukung. 
Dengan kompromi yang demikian, tidak masalah jika angka KKM pada sekolah – sekolah pelosok yang kondisi sarprasnya memprihatinkan berbeda secara ekstrim dengan satuan pendidikan yang kondisi sarprasnya sudah memadai bertahun  tahun sebelumnya. Wajar saja jika kesenjangan sosial yang menjajah sekolah juga mempengaruhi perbedaan ekstrim angka KKM. Juga, menjadi tidak adil jika kemudian ada sekolah yang kukuh pada alasan ketercapaian KKM, padahal, angka keramat itu ditentukan tanpa dasar yang jelas dan minim kemauan untuk  menyelami keragaman latar sosial, budaya, ekonomi, dan intelektual tiap individu yang dididik olehnya. 
Nilai kognisi yang rendah tidak lantas menempatkan siswa sebagai manusia yang bodoh. Kesenjangan sosial yang menjajah sekolah menjadikan potensi kecerdasan tertentu dari  banyak anak bangsa yang tidak terjamah akibat minimnya sarpras pendukung pembelajaran. Banyak dari mereka yang kemudian terjebak dalam rutinitas bersekolah yang memenjarakan bakat, kreatifitas, dan jiwanya. Mereka kemudian dianggap bodoh karena rendahnya nilai kognitif dari mata pelajaran yang tidak mereka minati. Pilihan sekolah yang mestinya beragam sesuai dengan minat, bakat, dan potensi kecerdasan tiap anak bangsa masih jadi barang mahal dinegeri ini ketika tidak sedikit elit bergelimang uang dan fasilitas nikmat dari pajak rakyat. Mau tidak mau, mereka memang harus bersekolah dalam penjara tersebut. Penjara yang oleh Paulo Freire dalam bukunya, Pendidikan kaum tertindas, juga ada praktik penindasan. Apalagi, tidak susah menemukan pembelajaran yang antidialogis akibat keengganan guru mengemas pembelajaran yang kooperatif dan partisipatif dan mengakomodasi keragaman gaya belajar, hingga pendekatan pembelajaran gaya bank akibat kekurangan referensi multimoda dalam praksis bersekolah kita. Tak jarang, banyak siswa yang kemudian lebih senang bolos dan absen untuk menghindari pembelajaran dan berbagai tugasnya karena minat, bakat, dan jiwanya tak tersentuh. Mereka terpinggir, digusur, bahkan ditindas ketika praksis pembelajaran menempatkan mereka sebagai yang bodoh dan layak dihujani ekspresi wajah tak bersahabat, cacian, umpatan, makian, pukulan, dan hinaan.
Sebab itu, bagi penulis, sungguh tidak adil menahan siswa naik kelas hanya karena nilai akademiknya tidak mencapai KKM. Aspek sikap yang seharusnya mendapat tempat terhormat dalam penentuan kenaikan kelas. Sehingga, dibutuhkan kolaborasi yang intens dan terukur antara sekolah, guru, dan orang tua dalam melakukan penilaian terhadap sikap siswa agar bebas dari sentimen yang cenderung subyektif. Sudah saatnya membuang ego dan keengganan sekolah dan guru untuk membangun komunikasi dan kolaborasi dengan orang tua. Idealnya, setiap guru, terutama wali kelas, perlu melakukan kunjungan rumah dan interaksi sosial sejenis pada siswa, terutama siswa yang dianggap bermasalah. Menghakimi anak yang nakal, tidak disiplin, malas belajar, sering absen dan bolos, dan masalah sejenisnya tanpa menyelami latar sosial, budaya, ekonomi, dan intelektual anak akan menghasilkan keputusan yang cenderung subyektif dan tidak adil. Apalagi jika juga tidak ada komunikasi dan kolaborasi bersama orang tua selama tahun pembelajaran.
Hemat penulis, jika aspek afeksi yang dikedepankan dalam penilaian, sekolah menjadi tempat yang subur untuk menyemai, menumbuhkan, dan merawat karakter anak bangsa. Sebab, setiap aktifitas pembelajaran, yang berfokus pada aspek kognitif sekalipun, menjadi media untuk membelajarkan dan membiasakan tindakan moral yang baik. Seperti kata Thomas Lickona  dalam Educating For Character, tampilan sikap yang baik dan bersahabat dalam memperlakukan siswa adalah pelajaran moral yang paling pertama. Dengan begitu, perbedaan nilai kognitif tak akan menggusur siswa yang ‘bodoh, apalagi membuat sedih dan kecewa karena tak naik kelas. Semoga.
Baca Juga  Konsep Pendekatan Saintifik (5M)

Tinggalkan Balasan